SEPANJANG sejarahnya, manusia telah membuktikan diri sebagai produsen penderitaan yang ulung. Semakin maju peradaban, semakin mangkus dan besar penderitaan yang ditimbulkan. Saluran yang dipakai untuk menimpakan penderitaan bermacam-macam, mulai dari politik, militer, hukum, kejahatan, sosial, ekonomi, dan agama.
Sebagaimana yang terjadi bahwa suatu kenyataan yang menyedihkan selama 3400 tahun sejarah tertulis, umat manusia hanya mengenal 250 tahun perdamaian. Perang menjadi salah satu bentuk perwujudan dari naluri untuk mempertahankan diri yang dianggap baik dalam pergaulan antarmanusia maupun antarbangsa.
Selama 5600 tahun terakhir manusia telah menggelar 14.600 perang. Hal ini menandakan bahwa konflik bersenjata atau perang telah ada dan terjadi ribuan tahun yang lalu, meskipun berbeda situasi dan derajatnya dengan konflik bersenjata pada masa kini.
Ketika kita melacak sejarah perang pertama kali, tidak diketahui secara pasti kapan peristiwa tersebut terjadi. Namun, dari sumber buku sejarah perang yang ditulis oleh Sri Wintala Ahmad, dijelaskan bahwa peperangan dilakukan oleh antar-kelompok, suku, atau negara/kerajaan, berujung pada konflik keluarga, benturan kepentingan, kekuasaan, politik dan wanita.
Bila kita merujuk pada riwayat kehidupan manusia, peperangan yang terjadi pertama kali pada fase anak dari Nabi Adam yaitu Qabil dan Habil. Bermula pada konflik Qabil yang tak menerima keputusan Nabi Adam untuk menikahi lubuda sehingga dari konflik ini meregang nyawa dari pada Habil.
Perang memang menjadi suatu hal yang tidak bisa lepas dari kehidupan manusia. Ketika kita melacak sejarah yang ada di tanah Nusantara, runtuhnya beberapa kerajaan yang ada diakibatkan imbas dari perang. Mulai dari runtuhnya kerajaan Salakanagara pada tahun 130 M yang dipimpin oleh Prabu Darmalokapala Aji Raksa Gapura Sagara atau lebih dikenal dengan Dewawarman 1, akibat invasi Jayasingawarman seorang maharesi dari Calankayana India pada fase pemerintahan Dewarman IX.
Nusantara memang tidak terlepas dari beberapa kerajaan yang berdiri tentunya, baik di tanah Jawa, Sunda, Kalimantan, Sumatera, dan Sulawesi. Beberapa faktor yang terurai dari buku “Sejarah Perang”, runtuhnya kerajaan yang ada disebabkan oleh konflik internal keluarga kerajaan, perselisihan antar kerajaan, dan serangan kerajaan di luar tanah Nusantara. Seperti yang diketahui runtuhnya kerajaan Sriwijaya pada fase raja Sangrama Vijayottunggawarman, akibat serangan raja Rajendra Chola I yang berasal dari Dinasti Chola di Coromandel India Selatan dan tentunya runtuhnya kerajaan-kerajaan di bumi Nusantara tidak terlepas dari masuknya bangsa Eropa.
Bahkan perang tidak hanya terjadi pada fase kerajaan, dalam fase bernegara pun kita menjumpai banyak peperangan yang terjadi. Dapat dilihat pada perang dunia 1 dan 2 yang tidak hanya melibatkan satu negara, akan tetapi banyak negara di dalamnya. Peperangan ini terjadi akibat konflik internal, konflik kepentingan, dan tentunya perluasan wilayah yang tak jauh berbeda pada fase kerajaan.
Dengan datangnya bangsa Eropa di tanah Nusantara meruntuhkan zaman fase kerajaan yang ada. Hal ini berpengaruh sangat signifikan, dengan dimulainya zaman penjajahan beberapa pergolakan terjadi untuk mempertahankan kekuasaan dan merebut kekuasaan yang ada.
Realitas yang kita lihat terjadi hari ini tak jauh berbeda dengan apa yang terjadi di masa lalu. Masih banyak beberapa negara yang berperang hanya berorientasi pada kepentingan sekelompok “mereka yang berkuasa”, dan kepentingan kapitalisme global.
Semestinya dengan hadirnya Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang didirikan pasca perang dunia II, dapat mencegah konflik serupa agar tidak terjadi lagi. Namun tidak sedemikian rupa adanya, masih banyak konflik peperangan yang terjadi hingga hari ini.
Bendahara Umum PC PMII Kota Palopo