“Terbinanya insan akademis, pencipta, dan pengabdi yang bernafaskan Islam serta bertanggung jawab atas terwujudnya masyarakat adil makmur yang di ridhoi Allah SWT” (BAB III, Pasal 4, AD HMI).
Sebuah tujuan yang mentereng untuk ukuran organisasi ringkih di umurnya yang ke-77 tahun. Bukan dalam rangka membedah tafsir tujuan, namun mempertanyakan esensi konotasi “Mahasiswa Islam” dari lingkup yang paling fundamental di era modern. Karena berlindung dalam tameng lumrah uang digaungkan banyak kader yaitu “Islam HMI, adalah Islam yang umum dan independen”, maka berimplikasi pada arah berproses kader yang beraturan, namun tidak terikat sebab merasa memiliki kebebasan untuk mencirikan identitasnya sesuai dengan kultur yang berlaku. Artinya, identitas mahasiswa Islam dibuat fleksibel tergantung kondisi, bukan mempenetrasikan nilai-nilai keislaman dalam tingkah laku sehari-hari seperti yang tersirat dalam teks tujuan HMI.
Tidak ada masalah dengan fleksibilitas yang ditonjolkan, akan tetapi dalam konteks identitas kader, nilai-nilai keislaman terasa gagal menjadi ruh perjuangan. Meskipun secara cakap intelektual kader HMI tidak perlu diragukan dan diplomasi politik yang sangat cerdik, namun tindak-tanduk kader yang beragama Islam mulai tergerus karena fleksibilitas mereka memandang nilai-nilai Islam yang menjadi sandaran HMI.
Seperti minimnya kader yang fasih mengaji Alquran dan lebih lancar mengaji filsafat. Budaya kumpul organisasi yang kebablasan, sehingga banyak HMI-Wati menjadi korban pasif. Bobroknya moral kader yang menjadi aib organisasi dan masih banyak lagi yang menjadi 1000 indikator kemunduran HMI.
Bahkan, secara gamblang dan realitas, banyak pelacur kaderisasi yang melangkahi konstitusi HMI sebagai batu loncatan untuk mencapai tujuan pribadi. Hal ini tentu menjadi budaya yang tumbuh subur dan mengakar di HMI, pun yang melakukan adalah Kakanda dan Ayunda petinggi organisasi yang pandai membaca aturan main organisasi. HMI semakin mirip dengan kondisi negara yang carut-marut, konstitusi digunakan sebagai kendaraan menuju kepentingan dan orang-orang yang ideal akan terlempar dari arena pertarungan, meskipun kader tersebut berkualitas.
Maka tak heran jika komisariat menjadi tempat paling steril untuk membentuk karakter kader, meskipun tidak menjadi jaminan nilai-nilai keislaman terintegrasi dengan baik karena waktu berprosesnya yang singkat dan kadangkala tidak optimal.
Kehilangan Arah Tujuan
Dengan problem yang sedemikian kompleks dari tingkat Komisariat sampai Pengurus Besar (PB), aneh jika kader HMI masih tenang dinina-bobokan dengan kebesaran para pendahulunya.
Jika pemimpin dan pemegang kebijakan tertinggi diisi oleh orang-orang yang tidak pandai membaca buku, tidak cerdas membaca kondisi organisasi, tidak bijak mengaplikasikan konstitusi dan tidak tahu membaca Alquran, kemana rotasi perjuangan kader akan diarahkan. Sedangkan komitmen pendirian HMI berasal dari hati yang merdeka dan bersih, bukan euforia politik organisasi belaka.
Mungkinlah embel-embel Mahasiswa Islam hanya menjadi pemanis identitas jika hal fundamental yang mencirikan ‘orang Islam dan bernafaskan Islam’ lalai didoktrin pada kader.
Mahasiswi TI Universitas Annuqayah dan Founder Setara Perempuan
Menyukai ini:
Suka Memuat...