Kepemilikan Frekuensi
Kalau kita flash back bagaimana lembaga-lembaga penyiaran saat Orde Baru berkuasa, kita melihat bagaimana praktek-praktek penguasaan frekuensi oleh kroni-kroni Suharto baik frekuensi radio hingga televisi. Kita bisa mencari tahu siapa pemilik-pemilik radio saat Orde termasuk kepemilikan televisi swasta yang dimotori oleh berdirinya RCTI ditahun1987, dilanjutkan dengan SCTV, TPI dan televisi-televisi lainnya, kepemilikan saham tidak jauh-jauh dari kroni atau keluarga penguasa. RCTI sendiri dimiliki oleh Bimantara Grup, salah satu grup usaha yang dikelola oleh anak Soeharto.
Yang menjadi ironi adalah frekuensi sendiri adalah ranah public yang tidak boleh dimiliki hanya oleh segelintir orang saja. Di era Reformasi akhirnya dibuatlah undang-undang penyiaran yang melegitimasi bahwa frekuensi adalah ranah publik dan tidak bisa diperjual belikan, hal ini membuat penguasaan frekuensi harus melalui uji publik yang cukup ketat apakah lembaga penyiaran itu dapat memberikan manfaat kepada masyarakat atau tidak melalui Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Ketika penguasa frekuensi tidak sanggup menjalankan usaha penyiaran, seharusnya frekuensi tersebut diserahkan kepada Negara melalui KPI, baru setelah itu di serahkan kepada lembaga baru yang telah lolos uji public.
Sayangnya undang-undang ini tidak berlaku surut sehingga kepemilikan frekuensi tidak bisa diubah. Para pemilik lama yang sebagian besar kroni-kroni penguasa Orde Baru yang tidak sanggup lagi menjalankan usaha penyiaran tidak mau rugi“mengakali” penjualan frekuensi dengan penjualan saham perusahaan sehingga tidak menyerahkan frekuensi kepada Negara, dengan begitu KPI pun tidak dapat berbuat banyak. Harga yang diberikan untuk penguasaan frekuensi “yang terselubung penjualan saham” sendiri diluar akal sehat, bisa mencapai puluhan bahkan ratusan milyar Rupiah.
Penguasaan frekuensi dan kearifan lokal
Penguasaan frekuensi saat Orde Baru berdampak sangat besar terhadap lunturnya kearifan lokal diberbagai daerah di Indonesia. Monopoli informasi juga mengacaukan budaya-budaya daerah. Kita bisa melihat bagaimana ketika era Orde Baru bagaiman seluruh daerah dari Sabang sampai Marauke “dipaksa” menerima informasi yang sama dari lembaga-lembaga penyiaran yang ada. Bagaimana kita melihat masyarakat Papua terpaksa menonton ketoprak, sementara mereka tidak punya tontonan yang mengangkat budaya mereka sendiri. Belum lagi ditambah acara-acara doktrinisasi yang dilakukan penguasa. Yang memaksa masyarakat Indonesia Timur menanam padi dan menggerus budaya makan sagu atau jagung disana.
Baca Juga: Prabowo Salah Sasaran Kritik Tentang Infrastruktur Asian Games
Semakin tergerusnya budaya dan kearifan lokal secara sederhana dapat kita lihat bagaimana anak-anak muda diberbagai daerah lebih bangga memakai bahasa “Gue –elo” dibanding dengan bahasa daerahnya, sangat Jakarta sentriis. Bagaimana daerah-daerah yang memiliki kearifan lokal dengan menghargai perbedaan berubah bahkan menjadi kebencian terhadap perbedaan. Ini adalah salah satu “dosa” lembaga penyiaran di era Orde Baru yang tidak menghargai budaya-budaya daerah dengan tidak member porsi masyarakat untuk mengenal budayanya sendiri. Contoh paling jelas adalah bagaimana di Ambon misalnya, bagaimana sebelumnya ada budaya saling menghargai antar umat beragama disana, berubah menjadi kebencian sehingga timbulnya konflik, karena makin lama masyarakat tidak mengenal budaya dan kearifan lokalnya sendiri karena dicekoki dengan budaya lain oleh lembaga-lembaga penyiaran Orde Baru selama puluhan tahun.
Apa yang harus dilakukan saat ini?
Saat ini kita masih sulit berharap televise swasta nasional atau pun Radio-radio grup besar yang ada, sehingga yang bisa dilakukan untuk mengembalikan kearifan dan budaya lokal adalah menguatkan televisi-televisi lokal terutama yang mengedepankan budaya lokal. Pemerintah dan KPI bisa mendorong ini, termasuk dengan melakukan pelatihan agar dapat menayangkan sesuatu dengan kualitas yang tidak kalah dengan tayangan televisi nasional. Termasuk juga mendorong radio-radio lokal untuk memberikan informasi yang berkualitas. Sehingga masyarakat kembalibangga dengan kearifan lokal dan budayanya masing-masing.
Melihat fakta-fakta tersebut diatas, tentu kita tidak mau lagi terjebak dengan orang-orang yang mencoba membangkitkan kembali romantisme Orde Baru, karena Orde Barulah yang harus bertanggung jawab dengan kerusakan budaya di Indonesia.
Selamat Hari Penyiaran Nasional!!!
Pemerhati Politik dan Sepak Bola,
Ketua Umum Paguyuban Suporter Timnas Indonesia (PSTI) 2016-sekarang,
Aktivis Rumah Gerakan 98
Menyukai ini:
Suka Memuat...