Pendahuluan
Tuhan menciptakan manusia dengan sempurna, lengkap dengan akal, kebebasan berpikir dan hasrat. Manusia dapat menentukan apa yang perlu, tidak perlu, benar atau salah setelah melakukan beragam analisis, percobaan, dan penarikan kesimpulan. Hal tersebut yang menyebabkan manusia tidak perlu mengalami kesalahan berulang kali, seperti halnya binatang yang hanya menggunakan insting.
Kelengkapan fitur sebagai manusia juga yang membuatnya dapat menyebabkan kebaikan bagi lingkungan sekitarnya. Sesuai dengan firman Tuhan, manusia diciptakan sebagai hamba-Nya sekaligus khalifah di muka bumi. Namun demikian, manusia suka melupakan hakikat dirinya ketika sudah berkenaan dengan harta, tahta dan wanita. Hal ini terjadi di Indonesia selama berpuluh tahun, dan terus berulang karena sesama manusia lainnya bersikap pasrah atas apa yang sudah dan akan terjadi.
Pemilihan kepala negara, kepala daerah dan anggota legislatif adalah momen-momen penuh keharuan, saat para calon pejabat begitu peduli pada masyarakatnya. Mereka mengemong dan memanjakan setiap telinga dengan janji-janji, mengayomi sepenuh hati, yang sayangnya hanya lima tahun sekali. Kalaupun ada yang memang mendatangi rakyat di tengah masa jabatannya, tentunya itu seremonial, akan tumpah ruah ceritanya dalam lini berita dan televisi.
Lantas bagaimana kita harus menghindari kejadian berulang yang ujung-ujungnya membuat sakit hati dan antipati?
Memilih dengan Logika
Seperti yang telah tersebut di atas, akal pikiran adalah modal manusia untuk dapat menentukan apa yang terbaik untuk mereka. Akal kita yang akan membantu kita dalam memutuskan apa, bagaimana, kenapa, siapa, kapan, di mana, sesuatu terjadi dan bagaimana rangkaian tersebut berlangsung. Maraknya informasi dalam era teknologi dan kebebasan berpendapat membuat kita bisa segera mendapatkan informasi yang kita butuhkan. Siapa seseorang, bagaimana latar belakangnya, apa kasus-kasus yang pernah menghampirinya. Hanya dalam hitungan detik semua fakta keluar dan tinggal memilih yang kita butuhkan untuk membuat rangkaian logis.
Ini bukan tentang cherry picking, yaitu mencari informasi yang kita sukai saja, namun berangkat dari hipotesis, misalkan, apakah orang yang akan kita pilih pernah terlibat dalam masalah HAM atau pelanggaran hukum. Hipotesis ini perlu validasi, dan kita selalu dapat mencarinya dalam berita investigasi. Tidak harus selalu kanal berita mainstream, karena memang dengan kekuasaan informasi mainstream mungkin terbatasi atau terkontaminasi. Bila merujuk pada Indonesia saat ini, kaitan antara penunjukkan satu penanggung jawab informasi dengan kejadian pelarangan berita tertentu, sudah sangat mengafirmasi kecurigaan atas campur tangan penguasa atas pemberitaan, khususnya pada tahun politik belakangan ini.
Gunakan Logika untuk Menemukan Rangkaian Masalah
Dengan menggunakan logika, upaya memaksakan hukum untuk tunduk di bawah kepentingan penguasa harus menjadi sebuah tanda tanya. Kenapa mesti demikian? Apakah yang melatarbelakangi hasrat ini? Bisa saja kita berasumsi bahwa penguasa terkait gila kuasa, narsistic personality disorder, Machiavelian, tapi tentu saja asumsi tersebut belum shahih karena tidak diambil berdasarkan observasi saintifik; boleh jadi benar tetapi harus dianalisis secara ilmiah. Yang lebih penting lagi adalah menarik informasi-informasi yang memvalidasi apakah hal-hal yang membuat seseorang harus bersikap memaksa.
Hipotesisnya adalah apakah yang bersangkutan sedang memiliki kasus-kasus tertentu, sehingga ia harus melakukan perpanjangan kekuasaan dengan berbagai cara? Apakah ada kerugian negara yang tak terhingga terkait dengan pengambilan keputusan dan kebijakan saat pemerintahannya? Siapa-siapa saja yang terkait dan sedang berlindung di bawah kekuasaannya, sehingga ada beban yang sedang merundungnya, sehingga engan untuk lengser keprabon?
Memilih dengan Rasa
Rasa adalah bagian dari sebuah pilihan, preferensi atas apa yang kita sukai dan tidak kita sukai. Preferensi ini bisa berkaitan dengan hal superfisial, seperti tampilan luar yang tampan, menarik, merakyat, atau malah berkaitan dengan idealisme yang sama seperti kepedulian terhadap sesama, keinginan untuk memberantas korupsi. Bukan pemberantasan korupsi yang semata slogan, tetapi malah menjadi alat pengancam atau pemeras bawahan atau pendukungnya.
Terkait pemilihan pemimpin, seyogyanya hal yang mendasari pilihan tersebut adalah untuk Indonesia yang terukur pencapaiannya. Jangan menentukan pilihan hanya karena rasa senasib, karena ternyata rasa tersebut bisa berubah begitu saja. Setelah sang pemimpin dari rakyat jelata memegang tahta kekuasaan, ia jadi lupa untuk siapa dan untuk apa kekuasaan tersebut berada di tangannya.
Menyukai ini:
Suka Memuat...