“Tidak ada salahnya kita menjadi hamba Tuhan yang humanis”
Islam hadir sebagai jalan keselamatan dan kebahagiaan. Ia penuh dengan keagungan, keramahan, kesantunan, dan menebar kasih sayang terhadap pemeluknya untuk hidup bertoleransi, tenggang rasa, tolong menolong, berlaku adil, saling menentramkan, dan menghargai antar sesama muslim maupun lintas agama, khususnya yang menyangkut syiar maupun ajakan terhadap orang untuk menuju ke jalan yang benar yaitu Agama Islam.
Tidak berlebihan jika jargon Islam yang Rahmatan Lil ‘Alamin, sebagai misi Islam sejak awal Muhammad Saw. diutus menjadi Rasul sekaligus obor peradaban bagi seluruh umat dalam realitas kehidupan yang beragam.
Ajaran Islam tidak berisi selipan untuk membenci, menghina, menghujat, mencerca, bertikai, apalagi sampai saling beradu domba di antara makhluk-Nya. Sebagai hamba Allah maupun pembela Rasulullah, kita semestinya malu karena tak luput dari dosa transenden dan horizontal. Justru hari-hari kita seharusnya dipergunakan untuk menggebuk kesalahan dan dosa yang lekat pada diri sendiri.
Namun demikian, jika kata “Rahmat,” “Salam,” dan “Nasehah” merupakan keistimewaan terindah dari sang khaliq untuk seluruh manusia, mengapa suara kebencian tetap berkobar dan tindakan anarkis menjadi biang keladi pada tempat yang dianggap najis serta layak dihakimi tanpa ampun.
Akal yang sehat terdapat pada tubuh yang sehat. Akal sehat akan membuahkan nalar yang sehat. Jika pameo tersebut diresapi sedalam mungkin, tindakan dissosialisasi-humanistis tidak berlaku dalam hidup ini. Seperti yang tertuang dalam sebuah hadis; man roā minkum munkaran fal yughairru biyadihi, tidak difilter dalam kondisi tertentu.
Justru hamba Tuhan yang selalu membuat tindakan anarkisme, radikalisme, dan penodaan kesucian Islam, bisa diarahkan kepada penghakiman oknum yang melanggar prosedur hukum dan hak kebebasan individu jauh dari firman Allah yang berbunyi: Ud’u ilā sabîli rabbika bil hikmati wal mau’idhatil hasanati wajādilhum billati hiya ahsan. Panggillah hamba (insan) ke jalan Tuhanmu dengan penuh kebijaksanaan dan nasehat atau peringatan yang baik, dan sangkallah mereka dengan cara yang baik pula (QS. An-Nahl: 125).
Sebagai hamba Tuhan yang humanis dan banyak menyerap ajaran Islam yang utuh, tahu betul kutipan ayat: Waya’murừna bil ma’rûfi wayanhauna ‘anil munkari wayusâri’ŭna fil khairāti wa ulāika minash-shālihîna (QS. Al-Imran 3 : 114), Addinun Nasîhah (HR. Muslim), dan lafal ayat Lā ikrāha fiddîn (QS. Al-Baqarah: 256), yang lebih cocok tiada koersi serta tindakan anarki bagi mereka yang masih belum mendapatkan hidayah dan petunjuk Allah Swt. Sumber hukum Islam tersebut patut diresapi betapa Allah mewahyukan Alquran kepada Muhammad tidaklah berisi bualan ataupun substansi teks kering makna.
Di lain itu, setidaknya merujuk hadis Nabi agar kita tak gampang menuduh orang lain telah sesat sesesatnya dan kafir sekafir-kafirnya: Lā yarmî rajulun rajulan bil fusūqi walā yarmîhi bilkufri illar taddad ‘alaihi in lam yakun shāhibuhu kadzālik. Tidak sepatutnya kita sebagai manusia menuduh seseorang telah fasik (tidak mentaati perintah Allah dan telah dianggap berdosa besar), dan mengatakan seseorang telah keluar dari Islam (kafir), melainkan tudingan atas kata fasik dan kafir akan terpulang kepada si penuding apabila tudingan itu tidak sesuai dengan apa yang ia sangkakan kepadanya (HR. Bukhari).
Hak Prerogatif Tuhan
Sebagaimana menurut Mahfud MD, bahwa untuk menjalankan syiar Islam, semestinya senafas dengan ketenangan hati serta pikirannya di saat ia menyeru amar makruf nahi munkar (mau’idhoh hasanah), meskipun syiarnya sedikit yang mendengar sekaligus mengikutinya. Namun di malam hari dijadikan alat renungan, atau jadi pertanyaan: apakah ada yang salah dalam seruan syiar yang disampaikannya selama ini? Sebaliknya, orang-orang yang panas dan murah marah di saat dakwahnya tidak didengar adalah mereka yang sakit pikiran dan hatinya.
Oleh karena itu, agama Islam hadir tidak dijalankan dengan dakwah yang intimidatif serta anarki. Ia bukan pula dijadikan landasan untuk penghakiman dan tindakan radikalisme berbaju agama untuk memukul keyakinan orang yang memeluk agama lain.
Di dalam Alquran telah dijelaskan sebagaimana kutipan ayat: Innaka lā tahdî man ahbabta walākinnalláha yahdî man yasyā’u. Wahuwa a’lamu bil-muhtadîna. Sesungguhnya kamu (Muhammad SAW) tiada kuasa untuk memberikan petunjuk terhadap orang yang kamu cintai, akan tetapi Allah swt pemberi petunjuk kepada hamba yang diinginkan-Nya, dan hanya Allah yang tahu hamba-hamba yang memiliki kemauan untuk menerima petunjuk-Nya (QS. Al-Qasash: 56). Berangkat dari hal tersebut, kita tidak bisa melepaskannya dari rangkaian hikayat masa lalu bahwa di saat paman Nabi, Abu Thalib, yang menderita sakit keras, dan menjelang ajalnya, Rasulullah menuntunnya untuk mengucapkan kalimat syahadat. Namun sampai di akhir hayatnya Allah berkehendak lain. Yang jelas hanya Allah yang Maha Mengetahui.
Di lain kisah, senada dengan Antok Agusta, dalam tulisannya berjudul: Hidayah itu Terserah Allah (Alif.id, Senin, 31 Agustus 2020), yang menghikayatkan Habib Quraisy bin Qosim Baharun Cirebon di saat bertemu Annemarie Schimmel (Orientalis asal Jerman) di pesawat terbang. Singkat cerita, keterkaguman Habib membuncah di saat mendengar penjelasan Schimmel yang hafal Alquran, Hadits, dan Kitab-kitab klasik para ulama di luar kepala. Namun demikian, di saat ditanya mengapa Schimmel tidak memeluk Islam, dikarenakan gelar ulama besar layak disandangnya. Schimmel, menjawab bahwa dirinya belum mendapat hidayah dan inayah dari Allah Swt. Betapa kagetnya Habib Quraisy, hingga tak segan meneteskan air mata.
Agama yang Memanusiakan
Meminjam ulasan KH. Ali Yafie (1997: 146) tentang pemahaman ajaran Islam, bahwa kualitas kaum muslimin sejatinya menitik-beratkan pada kehadiran kualitas pribadi muslim yang arif (memahami dan menghayati) serta mengamalkan ajaran Islam sebaik-baiknya. Tanpa ada kepura-puraan dan keterpaksaan.
Islam itu merupakan agama yang suci, dan dijalankan dengan totalitas penghambaan diri seutuhnya. Senada dengan Komaruddin Hidayat, berjudul: Agama untuk Kemanusiaan (Kompas, Rabu, 26/01/1994), bahwa ajaran agama yang diwahyukan Tuhan untuk kepentingan manusia. Dengan bimbingan agama diharapkan manusia mendapatkan pegangan pasti dan yang benar dalam menjalani hidupnya, dan membangun peradabannya. Karena agama diwahyukan untuk manusia, bukan tercipta untuk kepentingan agama.
Akhirnya, marilah kita rawat marwah agama yang senantiasa berjalan dengan baik; hubungan dengan Tuhan dan kemanusiaan. Bukankah menampilkan wajah Islam itu menyenangkan serta menebar keindahan bagi semesta alam? Tidak ada salahnya kita menjadi hamba Tuhan yang humanis.
Alumni Magister Studi Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta