Situasi politik Indonesia menuju Pilpres 2019 semakin memanas. Ibarat permainan catur, langkah-langkah pembuka sudah dimainkan oleh masing-masing kubu untuk menyerang dan mencoba membuka pertahanan lawan. Bahkan kuda hitam sudah mulai digerakkan untuk unjuk gigi ke papan pertandingan.
Dua kubu yang hampir dipastikan akan bertanding dalam Pilpres 2018 adalah koalisi partai yang mengusung Joko Widodo (PDIP, Golkar, PPP, Nasdem, Hanura, Perindo dan PSI), dan koalisi partai yang mengusung Prabowo Subianto (Gerindra dan PKS). Partai-partai lain seperti PAN, PKB, Demokrat masih malu-malu untuk menentukan tujuan. Sikap malu-malu ini bisa diterjemahkan bahwa belum tercapai kompromi dengan dua kubu yang sudah pasti akan bertanding, atau justru akan membuat kubu sendiri sebagai poros tengah.
Baca Juga: Skenario AHY dalam Pilpres 2019
Hitungan di atas kertas, koalisi pengusung Joko Widodo dari partai yang sudah mempunyai kursi adalah PDIP (109 kursi), Golkar (91 kursi), PPP (39 kursi), Nasdem (35 kursi), Hanura (16 kursi), dengan total 290, yang berarti 51,8%. Angka ini sudah lebih dari syarat mengusung pasangan capres-cawapres minimal 20% dari total kursi di DPR.
Koalisi yang kemungkinan besar mengusung Prabowo Subianto adalah Gerindra (73 kursi) dan PKS (40 kursi) dengan total 113 kursi atau 20,2% dari total kursi di DPR. Meskipun paket minimalis, jumlah ini sudah cukup untuk mengusung Prabowo dan pasangannya untuk maju dalam Pilpres 2019.
Sisa partai pemilik kursi di DPR yang belum menentukan pilihannya adalah Demokrat (61 kursi), PAN (49 kursi) dan PKB (47 kursi) dengan total 28% dari jumlah kursi di DPR. Angka ini tentu saja cukup untuk membuat koalisi tersendiri. Faktor penguat lain adalah kedekatan antara Demokrat dan PAN yang cukup special di zaman pemerintahan SBY tentu bisa menjadi pendorong dan pengikat koalisi poros tengah tersebut.
Tentu saja jika Demokrat, PAN dan PKB ingin membangun poros tengah mereka juga harus punya pasangan capres dan cawapres yang siap untuk bertanding melawan Joko Widodo dan Prabowo Subianto. Tidak hanya siap dari jumlah kursi saja tetapi juga menyiapkan jaringan kerja dan logistik.
Calon-calon yang bisa diusung dalam kubu poros tengah sudah mulai bermunculan. Dari internal partai tentu saja Agus Harimurti Yudhoyono (Demokrat), dan Muhaimin Iskandar (PKB) yang berpeluang besar menjadi Capres atau Cawapres untuk kubu poros tengah. Meskipun dalam berbagai peristiwa Muhaimin Iskandar terkesan ingin menjadi cawapres dari Joko Widodo, namun belum ada bukti konkrit dukungan untuk berkoalisi dengan PDIP. Nama lain yang sudah muncul sebelumnya seperti Gatot Nurmantyo, Muhammad Zainul Majdi (Tuan Guru Bajang), Anies Baswedan, bahkan Mohammad Mahfud MD, mempunyai kans yang cukup besar untuk bergabung dengan poros tengah.
Bagi tokoh yang berlatar belakang militer seperti Agus Harimurti dan Gatot Nurmantyo sangat sulit jika bergabung dengan koalisi Gerindra dan PKS untuk menjadi cawapres dari Prabowo Subianto. Kalkulasi politik untuk mengajukan capres-cawapres yang keduanya dari latar belakang militer sangat tidak menguntungkan. Joko Widodo lebih flesibel dalam memilih cawapres, beberapa pilihan seperti dari ekonomi, tokoh agama, maupun militer masih cocok jika disandingkan dengan Joko Widodo yang mempunyai latar balakang nasionalis sipil.
Dari hitung-hitungan kursi, kemungkinan membangun kubu poros tengah bisa dipimpin oleh Demokrat sebagai pemilik kursi paling besar (61 kursi), sementara PAN (49 kursi) dan PKB (47 kursi) dengan kompromi tertentu bisa mengambil peran selain capres. Tidak menutup kemungkinan jika Agus Harimurti- Muhaimin Iskandar maju sebagai pasangan dari poros tengah.
Pasangan poros tengah yang menggunakan kombinasi tokoh dari luar partai dan dari internal partai pengusung masih dimungkinkan. Tentu saja dengan pertimbangan kombinasi capres-cawapres yang menjual seperti latar belakang militer-tokoh agama. Gatot Nurmantyo akan sulit masuk di poros tengah karena pemilik kursi terbesar adalah Partai Demokrat yang tentu saja akan mengusung Agus Harimurti yang mempunyai latar belakang militer.
Tentu kurang menjual jika pasangan capres-cawapres keduanya mempunyai latar belakang militer. Jika kombinasi internal partai pengusung dan dari ekternal partai maka pasangan yang lebih menjual adalah Agus Harimurti dengan Muhammad Zainul Majdi (Tuan Guru Bajang), Anies Baswedan, atau Mohammad Mahfud MD. Kuda hitam dengan peluang terbesar yang muncul pada Pilpres 2019 diperkirakan adalah Agus Harimurti Yudhoyono-Muhammad Zainul Majdi atau Mahfud MD, dengan catatan bisa melakukan kompromi dengan Muhaimin Iskandar (PKB).
Peluang Gatot Nurmantyo saat ini paling masuk akal jika ingin maju dalam Pilpres 2019 adalah bergabung dengan koalisi pengusung Joko Widodo. Peluang Gatot Nurmantyo sangat kecil untuk berpasangan dengan Prabowo Subianto pada koalisi Gerindra-PKS atau berpasangan dengan Agus Harimurti pada kemungkinan koalisi poros tengah (Demokrat-PAN-PKB).
Dinamika politik untuk menentukan koalisi pengusung capres-cawapres masih tinggi ketidakpastiannya selain kubu Joko Widodo yang sudah pasti akan maju dengan beberapa partai pengusungnya dan Prabowo Subianto yang masih menunggu waktu untuk deklarasi maju dengan partai pengusung Gerindra-PKS.
Kompromi bagi para partai yang masih belum menentukan sikap seperti Demokrat, PAN dan PKB tentu akan dilakukan untuk memutuskan bergabung dengan koalisi pengusung Joko Widodo, pengusung Prabowo Subianto atau mengusung sendiri pasangan capres-cawapresnya.
Kualitas demokrasi Indonesia akan diuji pada Pilpres 2019 ini. Apapun yang terjadi pada komposisi koalisi partai pengusung capres-cawapres untuk bertanding pada Pilpres 2019 nanti diharapkan menjadi hasil yang terbaik bagi masyarakat Indonesia. Pilpres 2019 diharapkan menjadi pesta demokrasi yang penuh dengan kegembiraan, yang harus dijauhkan dari potensi perpecahan dan permusuhan. Siapapun pemenangnya nanti diharapkan dapat menjadi pemimpin bagi seluruh warga negara, bukan hanya bagi kelompok pengusungnya.
Pengamat Intelijen, Mahasiswa Doktoral Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia.
Menyukai ini:
Suka Memuat...