“Mengabdi adalah hidup dan kehidupan kita secara utuh.” Kutipan inilah yang menjadi pesan damai bahkan santai dari KH. Ahmad Mustafa Bisri. Dengan demikian pengabdian kepada Tuhan dilakukan dalam setiap langkah dan seluruh gerak kehidupan kita dan untuk menjaga gerak dan langkah kita, Tuhan menyediakan beragam sarana beribadah dan mendekatkan diri kepada-Nya.
Kebanyakan terlalu dangkal menanggapi aspek fikih secara lahir. Padahal Tuhan memberi gambaran kehidupan di dua rumah (daraini) yang manifestonya adalah gerak—laku kehidupan di dunia. Jika ibadah bukan hanya salat, zakat, puasa dan haji, secara praktis maka menghargai dan menghormati sesama juga termasuk dalam konteks ibadah.
Inna salati wa nusuki wa mahyaya wa mamati lillahi rabbil alamin, bahwa salatku, ibadahku, hidup dan matiku hanya untuk (mengabdi) kepada Tuhan. Jika salat dan ibadah praktis yang lain menjadi penekanan, maka hidup adalah ruang terbaik dalam menyucikan ritus-ritus ibadah tersebut. pendek kata, jika ada saudara atau tetangga kita yang sakit maka wajib kita menjenguk, tanpa harus melihat apa agama dan sukunya. Karena Tuhan, melalui hadis nabi (digerakkan hati dan pikirannya) menyatakan kewajiban untuk menjenguk dan mendoakan orang sakit.
Garis besarnya adalah sikap, etos, etika, pola kemanusiaan, bukan keagamaan. Namun suara mayoritas kadang menjadi endemik yang digunakan untuk memobilisasi massa. Dengan alasan agama dan lain sebagainya. prinsip normatifnya ditinggal, yang penting bisa berkuasa. Seperti halnya ekspansi menjarah hak kemanusiaan yang sebenarnya kembali kepada manusia, bukan sekelompok manusia.
Dengan demikian pengabdian kepada Tuhan diwakili oleh sikap santun dan sopan kepada sesama manusia. prinsip yang dicontohkan nabi melalui Piagam Madinah, justru diingkari dan dipolitisir oleh sebagian kelompok yang meyakini bahwa beribadah kepada Tuhan adalah penyatuan ikrar dan agama mayoritas.
Oleh karena itu, penekanan dalam beribadah kepada Tuhan adalah bersikap baik dan saling menghormati sesama manusia. Wa’tasimu bihablillahi jami’a, maka berpegang–teguhlah dengan tali atau cinta kasih Tuhan dengan kebersamaan. Untuk mencapai kebersamaan maka butuh kedamaian, untuk mencapai kedamaian maka butuh sikap saling menghargai, menghormati dan mengasihi (peduli) kepada sesama. Gus dur menekankan, “maka pelajarilah, belajarlah tentang manusia terlebih dahulu, kemudian belajarlah tentang Tuhan, karena dikhawatirkan lupa tentang kemanusiaan ketika sudah merasa paling paham tentang Tuhan.”
Sedang Nyantri di Bayt Al-Karim Gondanglegi dan Bayt Al-Hikmah Kepanjen Malang