Setiap tanggal 8 Maret kita memperingati Hari Perempuan Internasional. Setiap tahunnya kita selalu mengulang isu tentang kesetaraan gender.
Sampai di mana perjuangan kaum “marginal” dalam memperjuangkan kesetaraan hak-haknya dengan kaum laki-laki? Lalu bagaimana dengan pandangan laki-laki terhadap hari perempuan internasional itu sendiri?
Bahkan di pedesaan masih banyak yang belum sadar tentang makna hari perempuan internasional itu sendiri.
Masih sering kita mendapati beban ganda perempuan mewarnai sendi- sendiri kehidupan sebagai ibu rumah tangga dan sebagai buruh. Bahkan sebagai tulang punggung ataupun kepala keluarga.
Lalu siapakah yang perjuangkan hak- hak perempuan jika perjuangan kesetaraan masih jauh? Bahkan regulasi tentang undang-undang perlindungan terhadap kekerasan seksual pada perempuan sendiri belum disahkan.
Butuh sebuah upaya yang kolaboratif antara masyarakat, pemerintah, dan pemangku kebijakan dalam upaya mewujudkan kesetaraan dan keadilan terhadap perempuan. Upaya yang paling efektif dalam perlindungan terhadap perempuan adalah pembentukan mindset bahwa perempuan harus menjadi mahkluk yang “bisa” dan “kuat”.
Bisa mencari jalan keluar terhadap permasalahan yang dihadapi serta “kuat” dalam rangka penyelesaian permasalahan hidup. Tentunya butuh skill dan capasitas building untuk bisa dan kuat. Menggalinya dan terus mengeksplore kemampuan yang ada dalam diri perempuan serta meng-upgrade ilmu pengetahuan dan keterampilan adalah keniscayaan mewujudkan menjadi perempuan mandiri.
Bagaimana perempuan mampu mengoptimalkan kemampuan dalam dirinya bahwa perempuan harus menjadi dirinya sendiri tidak berada dalam bayang bayang seseorang ataupun membayangi seseorang? Sehingga tercipta kemandirian dalam diri perempuan itu sendiri. Banyak tokoh-tokoh nasional perempuan yang dapat kita jadikan contoh, seperti RA Kartini yang memperjuangkan pendidikan bagi kaum perempuan. Selain itu, ada tokoh lain seperti L.A Lasminingrat, Raden Dewi Sartika, Raden Siti Jenab dan Ema Poeradiredja. Keempat sosok tersebut memiliki peran yang tidak biasa di zamannya, mulai sebagai perempuan pribumi pertama yang menduduki kursi anggota parlemen Kota Bandung (1932 –1942) sampai mengenalkan pendidikan secara door to door.
Jika kemudian ditarik dengan zaman sekarang bahwa pemenuhan prosentase 30% keterwakilan suara perempuan dalam legislatif, maka kebijakan yang dihasilkan barangkali akan ramah terhadap perempuan. Butuh sekali kemampuan perempuan untuk bersaing dalam rangka menjabat di jabatan publik lain. Sehingga jelaslah sudah bahwa pendidikan akan menaikkan nilai tawar perempuan karena dengan wawasan yang luas pada perempuan dapat meningkatkan kemandirian serta kesejahteraan dalam hidup perempuan itu sendiri.
Selamat Hari Perempuan Sedunia. Semoga momen ini mampu mengungkit perjuangan perempuan untuk menjadi perempuan yang kuat dan bisa.
Sekretaris Muslimat Gunungkidul