ISTILAH moderasi sering kita dapati dari banyak literasi, dan beberapa menyelaraskan dengan istilah washathiyah. Pengertian moderasi atau washatiyah adalah salah satu cara atau sikap yang mengedepankan keseimbangan di tengah-tengah persoalan atau masalah. Sikap di tengah-tengah kadang sangat sulit dipertahankan ketika yang dihadapkan lebih kuat dari yang ada di tengah.
Moderasi juga menekankan agar dalam kondisi menghadapi dua masalah harus mengambil jalan tengah. Jalan tengah diambil sangat perlu, dengan maksud lebih mengarah pada problem solving ketika menyelesaikan pilihan. Banyak dari manusia jika dihadapkan pilihan, justru menjadi bagian dari salah satunya atau berat sebelah, dan tidak mampu mengambil jalan tengah karena kedua arus pilihan yang begitu kuat.
Contoh, ketika dihadapi masalah ekonomi antara mana yang lebih dulu meraup kepentingan duniawi, atau keuntungan ukhrowi. Meskipun dalam ekonomi Islam diusahakan agar keduanya berjalan, akan tetapi mengutamakan nilai ukhrowi demi kehati-hatian dalam bermuamalah lebih berat dilakukan.
Meskipun kata moderasi secara etimologi dalam Alquran tidak secara spesifik menyebutkan ‘ekonomi’. Namun, kita bisa temukan kata moderasi dalam beberapa surat dan ayat, yang menerangkan kata washatiyah. Pertama, moderasi dalam berteologi ditunjukkan dalam sikap tauhid, yaitu sikap monotheistic sejati (mengakui dan menyembah hanya kepada satu Tuhan). Sikap ini adalah tengah-tengah antara atheisme yang anti Tuhan dan polytheisme yang kebanyakan Tuhan.
Tauhid artinya hanya mengakui Tuhan yang Esa, sebagai Tuhan yang layak untuk disembah. Tauhid juga berarti meyakini bahwa Allah itu zat-Nya tunggal, tidak terdiri dari berbagai unsur atau elemen. Maka, konsep trinitas jelas ditolak dalam Alquran (Q.S. al-Mâ’idah [5]:73 ). Sebab konsep ketuhanan yang mengakui adanya banyak tuhan dinilai sebagai doktrin yang tidak ‘rasional’ dan termasuk sikap ghuluw (berlebihan). Konsep tauhid itulah yang dinilai sangat rasional dalam berteologi.
Kedua, moderasi dalam beribadah. Alquran menegaskan bahwa tujuan jin dan manusia diciptakan adalah untuk beribadah kepada Allah Swt. (Q.S al-Dzariyat: 56). Ibadah berarti sikap tunduk dan patuh kepada Allah Swt, disertai dengan rasa pengagungan kepada-Nya. Sebagian ulama menyebutkan bahwa secara konseptual, segala perbuatan yang mendatangkan rida Allah Swt, dengan niat yang tulus sesuai dengan prinsip-prinsip yang diajarkan oleh Alquran dan Rasulullah dapat disebut sebagai ibadah.
Secara kategori para ulama membagi ibadah menjadi dua kategori. Pertama, ibadah mahdlah (ibadah murni) bersifat ritual-individual. Kedua, ibadah sosial-mu`amalah. Kedua-duanya dimaksudkan untuk membangun kesalehan spiritual dan kesalehan sosial.
Ketiga, moderasi dalam relasi Islam dan budaya. Islam dan budaya sesungguhnya tidak harus selalu dipertentangkan, sebab banyak tradisi dan budaya yang baik, meski mungkin secara tekstual tidak ditemukan nash atau dalil secara tegas. Asumsinya bahwa Islam itu hadir tidak dalam ruang kosong kultural. Ajaran Islam sesungguhnya selalu hadir di tengah-tengah tradisi yang sudah ada, meski kadang harus terjadi proses negosiasi-akulturasi.
Adakalanya Islam akan melarang (tahrîm) budaya tertentu, jika secara tegas bertentangan. Ada kalanya Islam melakukan perubahan budaya atau rekonstruksi (tahmîl), jika ada hal-hal yang perlu disesuaikan dengan ajaran Islam. Adakalanya Islam melakukan akomodasi (tahlîl), jika budaya atau tradisi tersebut tidak bertentangan sama sekali dengan Islam.
Sebagai contoh, tradisi memberikan cincin tunangan kepada calon pengantin perempuan ketika lamaran sebagaimana yang terjadi di Mesir. Tradisi ini sesungguhnya tidak ada dalil hadis secara tegas. Namun, secara substansial hal itu justru memperkuat ikatan tunangan, sekaligus untuk memberi tanda bahwa perempuan telah dilamar. Sehingga bagi laki-laki lain yang hendak melamarnya, ia akan mengetahui bahwa perempuan tersebut telah dilamar oleh seseorang.
Artinya, tradisi tersebut justru memperkuat sunah Nabi yang menyatakan bahwa, “Tidak halal bagi seorang laki-laki melamar perempuan yang masih berada dalam lamaran saudaranya” (HR. al-Bukhari). Sehingga jelas bahwa umat yang dikehendakinya adalah yang kebutuhan kemanusiaannya secara pribadi dan kebutuhan sosialnya diakui dan tidak dipertentangkan.
Keempat, moderasi dalam memperlakukan perempuan. Posisi perempuan dalam pandangan Alquran sangat mulia dan terhormat. Perempuan diletakkan secara moderat (wasathiyah), antara yang merendahkan dan yang meninggikan berlebihan. Secara umum posisi perempuan setara (equal) dengan kaum laki-laki. Ia tidak diletakkan di bawah kaum laki-laki, tapi juga tidak di atas kaum laki-laki.
Ada beberapa argumentasi yang dapat penulis kemukakan. Pertama, dari segi asal-usul penciptaan laki-laki dan perempuan. Dalam teks Alquran redaksi teksnya justru netral gender, sebab Allah Swt. menyebutkan: Ya ayyuha al-nâs ittaqû rabbakum al-ladzi khalaqakum min nafs wâhidah. Artinya, wahai manusia bertkawalah kalian kepada Tuhan kalian yang telah menciptakan kalian dari nafs wahidah (Q.S. al-Nisâ [4]:1).
Penyebutan kata nâs (manusia) jelas mencerminkan kesetaraan, sebab manusia itu mencakup jenis kaum lelaki dan perempuan. Semuanya diciptakan dari nafs wâhidah (sumber yang sama atau jiwa yang satu). Bahkan secara linguistik Arab, kata nafs sebenarnya justru menunjukkan bentuk mu’annas (perempuan), yang dapat terlihat dari sifatnya, yaitu kata wâhidah (yang satu), di situ terdapat tâ’ marbutha yang menunjukkan jenis perempuan.
Frasa nafs wahidah juga dapat berarti bahwa keduanya (laki-laki dan perempuan) baru akan sempurna eksistensinya manakala keduanya mau menyatu, saling tolong-menolong dalam mengemban misi kekhalifahan di muka bumi ini. Itu sebabnya dalam filsafat Jawa suami atau istri disebut dengan istilah garwo yang berarti sigaring nyowo (separoh jiwa), sehingga mengabaikan salah satunya akan menyebabkan kehilangan separuh eksistensinya. Oleh sebab itu, dalam konteks kehidupan ini laki-laki dan perempuan bukan hanya co-existency, tetapi juga pro-existency.
Kelima, moderasi dalam relasi Islam dan negara. Islam memberikan pilihan kepada umat Islam untuk menentukan sistem pemerintahan. Tidak harus negara Islam secara formal. Prinsipnya adalah bagaimana negara itu mampu mencerminkan keamanan (baladan âminâ) (Q.S. Ibrahim [14]: 35-37) dan kemakmuran baldatun warabbun ghafur (Q.S. Saba’ [34]:15). Umat Islam diberikan kebebasan untuk berijtihad secara politik, sesuai dengan kesiapan dan modal sosial masyarakatnya.
Indonesia menurut hemat penulis contoh terbaik dalam menerapkan konsep wasathiyah Islam. Indonesia bukan negara Islam secara formal, tapi juga bukan negara sekuler. Indonesia adalah dar al-salâm (negara damai). Dasar negaranya adalah Pancasila sebagai basis filosofi dalam berbangsa dan bernegara. Pancasila bukan agama, tetapi Pancasila tidak bertentangan dengan agama mana pun. Pancasila is not religion but Pancasila does not contradict to any religions.
Nilai-nilai moderasi di atas terkait bagaimana sikap moderasi dalam persoalan tauhid, ibadah, relasi budaya, dan memperlakukan perempuan, bahkan relasi Islam terhadap negara ini, sangat penting sebagai tolak ukur bagaimana mendudukkan moderasi sebagai bentuk atau sikap ‘jalan-tengah’ dalam menghadapi persoalan. Sehingga, persoalan yang ada dalam teks Suci Alquran juga dapat diambil inti sari bersikap moderat dalam persoalan ekonomi. Maka, perlu kemudian agar seorang muslim bersikap dalam persoalan ekonomi.
Persoalan ekonomi sangat penting dalam kehidupan manusia, bahkan ujung dari segala aspek kehidupan mengarah pada persoalan ekonomi. Manusia mulai dari bangun tidur bahkan, sudah dipastikan yang dicari pertama adalah materi. Apalagi di dunia modern seperti saat ini, materi ‘uang’ menjadi pencarian utama.
Semua orang menginginkan memiliki harta yang berlimpah, sehingga hidupnya lebih berarti dari pada seseorang yang tidak memiliki banyak harta. Inilah yang selama ini diyakini banyak orang, bahwa materi/uang mampu mengubah segalanya. Bahkan ajaran Islam sebagai agama pun terkadang tidak cukup mampu mengubah pola pikir umat agar tidak selalu mementingkan uang.
Umat sudah merasa bahwa kebutuhan akan ‘uang’ itu pun akan membawa sikap keberagamaan yang lebih baik. Seperti, sedekah kalau lebih banyak itu lebih baik, mau naik haji harus berlimpah uang, ke masjid kalau pakai mobil lebih banyak pahalanya dibandingkan pakai motor, dan begitu seterusnya. Akhirnya, seluruh persoalan ibadah kalau mau meningkatkan ibadah selalu pakai tolak ukur ekonomi.
Dari pemahaman di atas, kita bisa sadari betapa pentingnya persoalan ekonomi bagi kehidupan manusia. Manusia mau tidak mau harus menjalani hidup ini dengan sistem ekonomi. Sehingga, kehidupannya dapat dijalankan dengan lebih baik. Namun, persoalan ekonomi yang bagaimanakah, yang mampu memberikan kemaslahatan bagi manusia? Ini tampaknya perlu diperjelas lebih lanjut.
Sebagai tolak ukur umat Islam yang menginginkan keuntungan hidupnya bukan hanya di dunia, tapi juga di akhirat kelak. Maka pentingnya memahami moderasi ekonomi atau ekonomi “jalan tengah”, dalam perspektif Islam. Dengan begitu, umat Islam sebagai khalifah mampu menjalankan perannya di dunia, dan juga untuk akhiratnya.
Dosen FEBI IIQ An-Nur Yogyakarta