SERIKATNEWS.COM – Santri berdasarkan tindakannya adalah orang yang berpegang teguh pada Alquran dan mengikuti sunah Rasullullah Saw, serta teguh pendirian. Ini adalah arti dengan bersandar pada sejarah dan kenyataan yang tidak dapat diubah selama-lamanya dan Allah Yang Maha Mengetahui sesuatu dan sebenarnya.
Mengaji merupakan pendidikan Islam sejak Walisongo, baik di pesantren, madrasah ataupun di langgar-langgar. Di tempat ini, para santri belajar dan mendalami ilmu agama. Sebab, tempat inilah yang memiliki orientasi dakwah dan bisa mengayomi masyarakat menuju kehidupan yang lebih baik. Bukan sekadar mengajarkan pendidikan agama, tetapi juga menjadi kontrol dalam kehidupan bersosial, baik di kota besar maupun di pedesaan.
Inilah yang dicontohkan Kiai Arbidin. Dia memiliki nilai empati besar terhadap masyarakatnya. Ilmu tidak hanya diamalkan secara pribadi, tetapi juga harus disebarluaskan sesuai kemampuannya. Di atas inilah, beliau memiliki inisiatif untuk mengayomi masyarakat dengan mengajarkan Alquran, maka sekitar tahun 60-an beliau membuka ruang kepada masyarakat untuk belajar Alquran.
Selanjutnya, meninjau para santri semakin banyak, maka didirikanlah masjid agar bisa menampung aantri yang belajar Alquran sekaligus masyarakat yang ingin melakukan salat berjamaah. KH Abdul Muin bin Arbidin adalah penerus Kiai Arbidin sebagai pemeran selepas beliau nyantri di Pondok Pesantren Nashatut Tullab Prajjan, Kamplong, Sampang.
Pada tahun 1980 didirikanlah Madrasah Diniyah (MD) Hidayatul Islamiyah. Hal tersebut atas desakan KH Zainal Bbidin. Sebab, semakin banyak antusias masyarakat untuk menitipkan putra-putrinya agar lebih mendalami tentang ilmu agama.
Kiai Abd. Muin awalnya tidak menerima atas usulan ini, karena khawatir akan kelak jika kegiatan madrasah sudah berjalan, kurangnya tenaga pengajar. Karena memang Kiai Zainal Abidin sangat mengiginkan adanya madrasah di Desa Torjunan, beliau berkata pada Kiai Abd. Muin, “Mon kobheter soal ghuruh ekeremah en, dherih geddengan, mayuh la pajhegheh.” Dalam bahasa Indonesianya, “Jangan khawatir kalau masalah guru kami bantu dari pondok Geddengan, ayo dirikan madrasah.”
Barulah Kiai Abd. Muin mengiyakan inisiatif Kiai Zainal Abidin. Maka, berdirilah MD. Hidayatul Islamiyah. Konon, nama Hidayatul Islamiyah ini atas rekomendasi dari Kiai Zainal Abidin. Beliau adalah pengasuh pertama Pondok Pesantren Gedangan Daleman, Kedungdung, Sampang.
Dokter Hidayatul Islamiyah atau yang dikenal dengan sebutan (MDHI) adalah sebuah sistem pendidikan belajar mengajar di kelas-kelas. Berdiri berasaskan salaf yang berkomitmen mendidik masyarakat utamanya santri dengan berakidah, syariat, dan akhlak ahlussunah waljamaah.
Dokter Hidayatul Islamiyah terletak di tengah desa Torjunan, Robatal, Sampang. Tepatnya di Dusun Barak Saba, 50 meter dari jalan raya Desa Torjunan.
Pada tahun 1983 santri semakin membeludak. Sehingga, mau tidak mau harus ada guru bantu yang menangani para santri. Baik pada kegiatan di madrasah atau pada saat pengajian Alquran. Guru bantu ini diambil dari pondok pesantren tersohor di Madura. Salah satunya pondok di mana dulu Kiai Abd. Muin nyantri.
Pada tahun 2017 KH. Abdul Muin menghembuskan nafas terakhirnya. Beliau meninggalkan sejuta kenangan di tengah masyarakat. Meninggalkan santri yang masih haus akan keilmuan. Meninggalkan santri dan masyarakat yang rindu sosok pribadi penyabar dan sederhana.
Waktu demi waktu berlalu, maka agar tetap melangsungkan kegiatan dakwah Madrasah Hidayatul Islamiyah, pada tahun itu pula kepengasuhan berpindah tangan pada Kiai Nashir bin Abd. Muin, sebagai putra keempat KH. Abd. Muin bin Arbidin. Sampai saat ini, Madrasah Hidayatul Islamiyah masih bersahaja.
Sebanyak 370 bukan jumlah yang sedikit untuk sekelas madrasah. Maka dari itu, Kiai Nashir Abd. Muin, selaku pengemban amanah dakwah dari Abahnya terus melakukan pengembangan. Baik sarana maupun pra sarana, demi mencetak santri yang ibadillah assholihin.
Wartawan Serikat News di wilayah Sampang, Madura
Menyukai ini:
Suka Memuat...