Oleh: Muhammad Arif (Alumnus Pondok Pesantren al-Falah dan Dosen Aqidah dan Filsafat Islam UIN Sunan Kalijaga)
RUNTUHNYA sebuah bangunan pesantren adalah tragedi nyata: korban jiwa, luka fisik, dan trauma kolektif. Namun ia juga segera menjelma menjadi peristiwa wacana: bagaimana musibah ditafsirkan, disebarkan, dan diperdebatkan. Dalam hitungan jam, publik digital bergerak, dan suara-suara “rasional” mendominasi: ini soal kelalaian, soal konstruksi yang asal, soal kiai yang bersembunyi di balik kata takdir.
Di titik inilah kita melihat pertarungan epistemologi antara tradisi lokal dan rezim rasionalitas modern. Klarifikasi kiai, “ini takdir, kita harus sabar,” dalam horizon iman adalah bentuk meaning-making yang wajar. Ia bukan dalih, melainkan cara religius untuk menanggung beban duka. Tetapi di hadapan logika publik modern, kata takdir terdengar sebagai pengingkaran tanggung jawab. Publik segera menuntut rasionalisasi, laporan teknis, bukti konstruksi, investigasi hukum.
Di sinilah logika visual rationality menampakkan dirinya. Gambar reruntuhan yang viral di televisi dan media sosial bekerja sebagai bukti empirik. Foto tembok yang patah, beton yang menimpa, santri yang dievakuasi—semua dikonsumsi publik sebagai tanda nyata bahwa ada yang salah secara teknis. Di sini berlaku hukum tak tertulis bahwa apa yang tampak (runtuhan) segera dibaca sebagai bukti, dan dari bukti itu diambil kesimpulan moral, kiai lalai.
Padahal, yang hilang dalam logika visual semacam ini adalah konteks yang lebih luas. Keterbatasan dana, kultur swadaya, lemahnya perhatian negara pada infrastruktur pesantren. Pesantren sering dibangun dengan sumbangan ala kadarnya, dengan niat baik tapi tanpa pengawasan teknis yang memadai. Maka, kelalaian seorang kiai tidak bisa dilepaskan dari kelalaian sistemik, yaitu negara yang absen, ormas besar yang lamban, masyarakat yang baru tergerak setelah musibah.
Kiai yang menyebut musibah sebagai takdir sebenarnya menandai posisi lain dalam epistemology, bahwa tidak semua keruntuhan bisa diurai tuntas oleh kalkulasi teknis. Ada dimensi misteri, ada keterbatasan manusia. Tetapi jika takdir dijadikan satu-satunya bahasa, ia menutup ruang kritik dan pembelajaran. Di sisi lain, jika rasionalitas teknis menjadi satu-satunya bahasa, ia menutup ruang empati dan solidaritas.
Maka, apa yang kita butuhkan bukan sekadar menuntut siapa salah dan siapa benar. Yang kita perlukan adalah sebuah horizon baru, yaitu melihat musibah ini sebagai cermin rapuhnya sistem kita. Negara harus hadir dengan pendanaan memadai dan pengawasan yang ketat untuk bangunan pendidikan. Masyarakat, alumni, dan ormas Islam besar harus terlibat secara kolektif, bukan hanya menjadi komentator.
Seperti dalam teori Talal Asad (antropolog Arab-Amerika) tentang ritual, musibah ini memperlihatkan bagaimana sebuah praktik (membangun pesantren) bukan hanya aktivitas teknis, tapi juga disiplin moral. Seperti juga Boaventura de Sousa Santos (sosiolog dari Portugal) mengingatkan, ada peristiwa epistemicide (pemenggiran epistemologi non rasional), dalam kasus ini. Epistemologi iman kiai yang berbicara tentang takdir direduksi sebagai kelalaian, sementara epistemologi teknis modern diposisikan sebagai satu-satunya rasionalitas sah.
Jika kita terus membiarkan ketegangan ini tanpa sintesis, kita akan terjebak dalam siklus lama. Musibah datang, publik menghakimi, sistem tetap rapuh. Sebaliknya, jika kita berani melihat bahwa iman dan rasionalitas bisa berjalan Bersama, takdir sebagai horizon makna, rasionalitas sebagai horizon tindakan, maka tragedi ini bisa menjadi titik balik. Reruntuhan pondok bukan sekadar puing, melainkan panggilan untuk membangun sistem yang lebih adil, lebih aman, dan lebih manusiawi.
SerikatNews.com adalah media kritis anak bangsa. Menyajikan informasi secara akurat. Serta setia menjadi platform ruang bertukar gagasan faktual.
Menyukai ini:
Suka Memuat...