Oleh: Wafiruddarroin
PEMILIHAN kepala daerah (Pilkada) adalah momentum penting yang tidak hanya menentukan pemimpin baru, tetapi juga mencerminkan dinamika sosial politik di tingkat lokal. Kabupaten Sumenep, yang terletak di ujung timur Pulau Madura, dikenal tidak hanya karena kekayaan budaya dan tradisinya, tetapi juga karena dinamika politik lokal yang kompleks. Pilkada menjadi ajang tarik menarik antara dua kekuatan utama: politik uang yang didorong oleh pragmatisme politik, dan kekuatan kolektif masyarakat yang berbasis pada nilai-nilai budaya lokal. Kedua kekuatan ini tidak hanya memengaruhi hasil Pilkada, tetapi juga masa depan Sumenep sebagai sebuah entitas sosial, ekonomi, dan politik.
Dalam tulisan ini, saya mencoba menganalisis bagaimana benturan antara politik uang dan kekuatan kolektif masyarakat memengaruhi nasib Kabupaten Sumenep pasca Pilkada, dengan menggunakan perspektif sosiologi sebagai alat analisis.
Politik Uang: Cerminan Pragmatisme Sosial di Sumenep
Politik uang adalah fenomena yang sering kali menjadi bagian dari proses Pilkada, terutama di wilayah dengan tingkat ketimpangan ekonomi yang tinggi seperti Sumenep. Dalam konteks ini, pemberian uang atau barang oleh calon kepada pemilih bukan hanya strategi politik, tetapi juga cara memanfaatkan kerentanan ekonomi masyarakat untuk meraih suara. Secara sosiologis, hal ini mencerminkan adanya hubungan patron-klien yang masih kuat dalam masyarakat Madura.
Max Weber, dalam teorinya tentang rasionalitas instrumental, menjelaskan bahwa tindakan masyarakat yang menerima uang atau imbalan dalam proses politik didasarkan pada kalkulasi rasional tentang keuntungan jangka pendek. Dalam masyarakat Sumenep, kondisi ekonomi yang tidak merata sering kali membuat tawaran materi dari calon pemimpin lebih menggoda dibandingkan janji politik yang abstrak. Politik uang menjadi mekanisme untuk memenuhi kebutuhan mendesak, meskipun hal ini dilakukan dengan mengorbankan kepentingan jangka panjang, seperti kualitas pemerintahan dan pembangunan daerah.
Namun, politik uang tidak hanya berdampak pada individu yang menerima, tetapi juga pada struktur sosial secara keseluruhan. Dalam perspektif sosiologi konflik, seperti yang dikemukakan oleh Karl Marx, politik uang mencerminkan upaya kelompok elite untuk mempertahankan dominasi mereka dengan cara mengeksploitasi kerentanan masyarakat. Hasilnya adalah penguatan ketimpangan sosial dan melemahnya kapasitas masyarakat untuk berpartisipasi secara kritis dalam proses politik.
Melihat Sumenep dalam kondisi yang seperti ini sungguh sangat miris, akar rumput yang seharusnya menjadi kekuatan tak terkalahkan oleh pola politik bagaimana pun, justru dalam hal ini cenderung hanya dijadikan komoditas politik para elite. Tentu hal ini menjadikan posisi masyarakat hanya sebagai objek yang sangat murah harganya dan bahkan terkesan sangat gampang dibodohi. Bahkan ironisnya, kondisi semacam ini terus berulang dari tiap periode. Politik uang tak terkalahkan seolah menjadi tuan bagi kekuatan kolektif masyarakat. Jika diperhatikan lebih lanjut, Sumenep selalu menjadi langganan sebagai kabupaten dengan tingkat kemiskinan dan ekonomi yang mengkhawatirkan. Kemiskinan struktural tentu yang menjadi akar dari pemasalahan ini. Kemudian kenapa setiap periode tetap demikian, tidak ada perubahan, stagnan? Atau kalaupun ada perubahan, mengapa Sumenep tetap menjadi objek yang menerima predikat termiskin ketiga di Jawa Timur? Tentu kondisi semacam ini menimbulkan prasangka bahwa hal itu memang sengaja dikonstruk agar sekuat apa pun pendidikan politik diberikan, namun kondisi ekonomi tetap dibiarkan stagnan tentu pola pikir masyarakat akan tetap materialistik dan pragmatis dalam urusan politik.
Kekuatan Kolektif Masyarakat: Harapan untuk Perubahan Sosial
Di sisi lain, masyarakat Sumenep memiliki tradisi kolektif yang kuat, yang dapat menjadi modal sosial untuk melawan politik uang. Tradisi gotong royong ghibah dan solidaritas berbasis nilai-nilai agama dan adat masih menjadi karakteristik utama masyarakat, terutama di wilayah pedesaan. Kekuatan kolektif ini, jika dimobilisasi dengan baik, dapat menjadi alat untuk menciptakan kesadaran politik yang lebih kritis dan mendorong partisipasi masyarakat yang berbasis pada nilai-nilai moral.
Émile Durkheim, melalui konsep solidaritas mekanik, menjelaskan bahwa masyarakat yang berbasis pada nilai-nilai bersama memiliki kapasitas untuk menjaga kohesi sosial, bahkan dalam situasi yang penuh tekanan. Dalam konteks Pilkada, kekuatan kolektif masyarakat di Sumenep sebetulnya sudah dilaksanakan oleh salah satu pasanagn calon. Tujuannya sangat jelas mendorong pemilih agar memilih berdasarkan visi dan misi kandidat, bukan sekadar imbalan materi. Hanya saja mayoritas sumber daya manusia di Sumenep masih terlampau jauh terlena oleh rayuan manis politik uang.
Padahal pada praktiknya kekuatan kolektif ini sudah diperkuat melalui pendidikan politik yang berbasis pada nilai-nilai lokal. Misalnya, forum keagamaan, seperti pengajian atau diskusi di pesantren. Namun sekali lagi, hal itu tak terlampau berdampak pada pengurangan pola negatif politik uang. Padahal sudah sangat jelas dengan cara ini, masyarakat tidak hanya diberdayakan secara politik, tetapi juga secara moral dan intelektual.
Selain politik uang, oligarki juga menjadi fenomena dominan di Sumenep. Keberadaan keluarga-keluarga berpengaruh atau kelompok elite tertentu di Sumenep sering kali mendikte arah politik lokal. Sebagaimana teori elite dari Vilfredo Pareto dan Gaetano Mosca menjelaskan, kekuasaan cenderung terkonsentrasi pada segelintir individu atau kelompok yang mampu mengendalikan struktur sosial, ekonomi, dan politik. Oligarki merujuk pada kekuasaan yang terkonsentrasi di tangan sekelompok kecil elite politik dan ekonomi yang memiliki akses besar terhadap sumber daya strategis. Polanya pun sangat beragam, mulai dari mobilisasi melalui orang yang sangat berpengaruh di masing-masing objek, sampai berdasarkan pengakuan kawan penulis ada pula yang melalui pola tindakan “abuse of power” beberapa oknum pemerintah desa menggiring masyarakat untuk condong pada calon pilihan oligarki.
Dalam analisis sosiologi struktural, seperti yang dijelaskan oleh Max Weber dan Vilfredo Pareto, kekuasaan oligarki dipertahankan melalui legitimasi sosial, jaringan politik, dan kontrol atas sumber daya ekonomi. Para elite ini memanfaatkan posisi mereka tidak hanya untuk mempertahankan kekuasaan, tetapi juga untuk membatasi partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan. Akibatnya, masyarakat sering kali menjadi objek pasif yang hanya menerima dampak dari keputusan elite.
Namun, dominasi oligarki dan politik uang tidak sepenuhnya menghilangkan kekuatan masyarakat. Dalam perspektif sosiologi budaya, masyarakat Sumenep memiliki modal sosial yang dapat menjadi benteng melawan dominasi elite. Tradisi musyawarah, gotong-royong, dan nilai kekeluargaan yang kuat memberikan mereka daya tahan terhadap infiltrasi politik uang.
Teori Pierre Bourdieu tentang habitus dan modal sosial relevan dalam menjelaskan dinamika ini. Habitus masyarakat yang terbentuk dari tradisi lokal memungkinkan mereka untuk mempertahankan nilai-nilai bersama di tengah tekanan eksternal. Modal sosial berupa kepercayaan antaranggota komunitas juga menjadi landasan bagi resistensi terhadap dominasi politik.
Beberapa gerakan masyarakat sipil di Sumenep telah menunjukkan potensi untuk membangun kesadaran politik warga. Melalui forum-forum informal seperti pengajian, diskusi komunitas, dan kegiatan adat, masyarakat mulai memahami pentingnya kedaulatan suara mereka. Dengan akses informasi yang semakin terbuka, terutama melalui media sosial, gerakan ini dapat diperkuat untuk menantang praktik politik uang dan oligarki.
Benturan antara Politik Uang dan Kekuatan Kolektif: Implikasi Sosiologis
Pasca Pilkada, benturan antara politik uang dan kekuatan kolektif masyarakat sering kali meninggalkan jejak yang memengaruhi struktur sosial-politik lokal. Jika politik uang lebih dominan, kemungkinan besar akan terjadi fragmentasi sosial, di mana masyarakat terpecah berdasarkan aliansi politik dan kepentingan pragmatis. Dalam konteks ini, solidaritas sosial yang selama ini menjadi ciri khas masyarakat Sumenep dapat melemah, digantikan oleh hubungan yang lebih transaksional.
Sebaliknya, jika kekuatan kolektif masyarakat berhasil mendominasi, hasilnya adalah proses politik yang lebih inklusif dan demokratis. Dalam perspektif Anthony Giddens, masyarakat sebagai agen memiliki kapasitas untuk memengaruhi struktur politik lokal melalui tindakan kolektif yang terorganisir. Dengan kata lain, nasib Kabupaten Sumenep pasca Pilkada sangat bergantung pada sejauh mana masyarakat mampu memobilisasi kekuatan kolektif mereka untuk melawan politik uang.
Selain itu, keterlibatan pemuda dalam organisasi masyarakat sipil dapat memperkuat gerakan anti-oligarki. Sebagaimana teori interaksionisme simbolik dari George Herbert Mead menjelaskan, interaksi simbolis antara pemuda dan masyarakat dapat menciptakan perubahan makna tentang politik dan kekuasaan dalam komunitas lokal. Namun celakanya, ada pemuda yang mengartikan insteraksi simbolis pada makna yang lain. Alih-alih untuk memberikan pendidikan politik mewakili kaum muda bagi orang yang masih awam dalam politik, justru mereka terlena dan berselingkuh dengan kekuasaan.
Nasib Kabupaten Sumenep Pasca Pilkada
Pasca Pilkada, Kabupaten Sumenep menghadapi beberapa kemungkinan skenario yang sangat dipengaruhi oleh dinamika antara politik uang dan kekuatan kolektif masyarakat. Jika politik uang terus mendominasi, Sumenep berisiko mengalami stagnasi dalam pembangunan sosial dan ekonomi. Pemimpin yang terpilih melalui politik uang cenderung fokus pada kepentingan pribadi atau kelompoknya, daripada kebutuhan masyarakat secara keseluruhan. Dalam jangka panjang, hal ini dapat memperburuk ketimpangan sosial dan memperlemah partisipasi politik masyarakat.
Sebaliknya, jika kekuatan kolektif masyarakat berhasil mengatasi dominasi politik uang, Sumenep memiliki peluang untuk menciptakan pemerintahan yang lebih transparan dan responsif terhadap kebutuhan masyarakat. Hal ini membutuhkan kerja sama antara masyarakat, pemimpin lokal, dan organisasi masyarakat sipil untuk memperkuat pendidikan politik dan mendorong akuntabilitas dalam pemerintahan.
Salah satu alasan utama mengapa politik uang begitu efektif di Sumenep, karena kerentanan ekonomi masyarakat dan pola pikir jangka pendek dan resistensi yang terus dirawat.
Nasib Kabupaten Sumenep pasca Pilkada sangat ditentukan oleh interaksi antara politik uang dan kekuatan kolektif masyarakat. Jika masyarakat mampu memobilisasi nilai-nilai tradisional seperti gotong royong dan solidaritas untuk melawan dominasi politik uang, Sumenep memiliki peluang untuk menciptakan pemerintahan yang lebih inklusif dan responsif. Namun, jika politik uang terus mendominasi, daerah ini berisiko terjebak dalam siklus stagnasi yang merugikan masyarakat.
Dalam perspektif sosiologi, perubahan sosial tidak terjadi secara instan, tetapi membutuhkan upaya kolektif yang konsisten. Dengan memadukan pendidikan politik, pemberdayaan ekonomi, dan penguatan nilai-nilai lokal, seharusnya Sumenep dapat menjadi contoh bagaimana masyarakat lokal dapat mengatasi tantangan politik dan sosial untuk menciptakan masa depan yang lebih baik. Namun nahasnya, gurita politik oligarki rasa-rasanya terlalu mendominasi dan kesadaran kolektif masyarakat tak cukup kuat melawan itu. Maka sampai kapan pun, kekuasaan akan terus berada pada lingkaran elite yang sama, dan masyarakat Sumenep akan terus menjadi perantau sebab keprihatinan ekonomi lokal yang tak bisa menjadi pijakan.
Pesan penting untuk siapa pun yang memimpin Sumenep, mengutip sepenggal kalimat yang disampaikan oleh Kyai Faizi: “Jabatan itu bukan warisan tinggi, esok mungkin kau terhempas sunyi. Jangan lupa siapa yang memberi kuasa (rakyat), dan untuk siapa (rakyat) amanahmu dipelihara.” Rakyat adalah sumber legitimasi, dan hanya dengan menghormati kedaulatan mereka, demokrasi yang sejati dapat terwujud di Sumenep.
SerikatNews.com adalah media kritis anak bangsa. Menyajikan informasi secara akurat. Serta setia menjadi platform ruang bertukar gagasan faktual.
Menyukai ini:
Suka Memuat...