Robert kembali masuk hutan pagi itu untuk mencari burung kacamata yang hanya tinggal seekor di hutan, ya hanya tinggal seekor di hutan, bahkan di dunia yang ramai ini, burung itu tinggal sebatang kara, teman-temannya sudah punah, dan manusia yang diwakili oleh Robert sedang berusaha untuk menyelamatkan hidupnya.
Burung kacamata merupakan burung yang sangat banyak dulunya, mereka hidup berkoloni, hidup berkolompok bahkan sampai puluhan ekor ketika terbang. Mereka biasanya hinggap di pohon yang tidak terlalu tinggi, sambil mencari serangga, atau buah-buahan. Bahkan ketika musim panen padi tiba mereka berbaris di setapak sawah.
Namun semua keramaian burung tersebut sirna setelah perburuan besar-besaran. Mereka ditangkap karena suaranya yang nyaring dan merdu. Tubuh mungil dan bulu keemasannya juga menjadi daya pikat tersendiri bagi pecinta burung. Burung kacamata menjadi marak di pasar lokal bahkan juga diekspor ke luar negeri. Mungkin karena populasinya yang masih banyak, pihak pemerintah belum memantau ke habitatnya langsung.
Di hutan burung kacamata diburu dengan berbagai cara, ada yang memakai ketapel, diambil sarangnya, dijebak memakai lecang, ditembak, bahkan cara yang paling banyak digunakan yaitu menggunakan jaring besar. Jaring biasanya diletakkan diantara dua pohon besar yang biasa dihinggapi burung kacamata, lalu ketika burung itu lewat di siang hari akan tersangkut dan tidak bisa lepas.
Belum lagi habitat aslinya yang mulai digerogoti oleh manusia, hutan lebat tempat makanan mereka disulap menjadi hutan produksi. Hutan tropis diganti tanaman karet, sawit, atau lahan pertanian. Menyusutnya hutan turut mengambat perkembangbiakan burung kacamata.
Robert sudah satu tahun memantau perkembangan burung kacamata, ia kaget melihat populasi burung kacamata yang semakin menurun. Pertama kali ia melihat burung kacamata itu waktu kecil, dulu sangat banyak, bahkan sering hinggap di teras rumah, sarangnyapun bisa kita temui di pagar dekat rumah, kata Robert.
“kurang lebih satu atau dua tahun belakangan, burung kacamata diburu secara brutal, bukan hanya soal burungya, tapi habitat asli burung itu, habis, sungguh ironis, bagaimana mungkin kita bisa kehilangan salah satu fauna endemik negeri ini dalam kurung waktu yang sangat singkat”.
Sekarang tinggal beberapa ekor saja di alam lepas, tidak sampai sepuluh ekor, Robert dan tim pelindung hutan berusaha untuk menangkarkan burung tersebut, tapi sepertinya menemui titik buntu. Burung kacamata terlanjur stress dan tidak mau bertelur, dua ekor di penangkaran BKSDA mati begitu saja setelah satu minggu dirawat. Burung kacamata sebenarnya stress karena bertemu dengan manusia.
Robert memantau langsung perkembangan burung kacamata yang ada di hutan berharap mereka dapat berkembang biak lagi, dan menjadikan tempat terakhir burung itu menjadi tempat konservasi. Manusia dilarang beraktivitas di daerah tesebut, tempat itu luasnya kurang lebih 6 KM, terbilang sempit untuk sebuah penangkaran alam, mau bagaimana lagi, tempat lain sudah menjadi hutan produksi.
Usaha mengkhianati hasil, itulah kata paling tepat untuk menggambarkan kerja keras Robert. Semakin hari burung kacamata semakin sedikit, kini tinggal sepasang saja di alam. Dua burung itu sepasang dan selalu terbang bersama, tetapi keduanya tidak mau berkembang biak.
Suatu hari si betina jatuh sakit, Robert sudah tahu akan hal tersebut, ia kemudian menghubungi tim konservasi lainnya untuk menangkap burung betina itu, ia menangkap menggunakan jaring besar, rencana itu berhasil, tapi menimbulkan bencana yang lebih besar.
Burung kacamata betina dibawa ke kantor konservasi, ia terkena penyakit di bawah pelatuknya, penyakit itu disebabkan karena inveksi jamur. Meskipun tim sudah berusaha sekeras mungkin tapi burung betina tidak bisa diselamatkan.
Tinggallah sang jantan sendirian, ia berkicau sepanjang hari, suaranya menembus lebatnya hutan, kicaunya yang nyaring dan merdu, seolah menyanyikan lagu kehilangan. Robert yang berada di dekatnya hanya menatap, serta mengabadikannya dengan kamera.
Sang jantan yang kesepian terus memanggil sang betina, sayang kekasihnya itu tidak akan pernah menemuinya lagi, selamanya. Berhari-hari setelah kejadian itu, sang jantan tidak mau makan, ia hanya berkicau sepanjang hari, sampai akhirnya ia membenturkan diri ke pohon, sambil terbang lalu menabrakkan diri, hingga kepalanya berdarah, sebelum menemui ajalnya ia berkicau sangat merdu, seolah itu nyanyian terakhir di dunia. Suaranya semakin pelan, dan akhirnya burung kacamata jatuh dari atas pohon, dan mati.
Robert yang menyaksikan saat saat terakhir burung kacamata itu menangis, betapa kejamnya dunia yang telah merenggut makhluk mungil dan indah. Suarnya yang pernah menghiasi pekarangan sekarang sirna untuk selamanya.
“Selamat jalan, semoga nyanyianmu yang merdu bisa menghibur penduduk surga,” ucap Robert sambil menguburkan jasad burung kacamata.
Menyukai ini:
Suka Memuat...