Namaku Sinji Murakawa, seorang jurnalis perang asal jepang dan bekerja di surat kabar mingguan Nikkei. Sebagai penulis, keseharianku sudah biasa mengamati kebijakan politik jepang di Hindia, terutama Jawa. Tahun 1943 aku datang ke Jawa bersama seorang Antropolog yang cerewet, Arima Wakatsuki. Meskipun dia menyebalkan dan banyak omong tetapi dia cukup tekun, detail dalam meneliti, dan dia datang ke sini karena tertarik pada serat dan keraton Jawa.
Setelah beberapa bulan mengelilingi jawa, aku dan Arima memutuskan untuk menetap di Surakarta, salah satu daerah istimewa atau kochi dalam masa Jepang. Kota yang indah, namun perpolitikannya tidak stabil. Kota yang dulunya besar namun dipisah-pisah oleh sejarah, kata Arima dulu disini ada penyair besar sekaligus raja, namanya Susuhunan Pakubuwono. Sekarangpun orang dari kota ini punya pengaruh besar dalam politik, seperti Wongsonegoro, Wiryaningrat, dan Radjiman.
Jepang memberi janji kemerdekaan bagi Hindia atau Indonesia, tetapi mengeksploitasi alam dan manusia sangat brutal, begitulah cara fasis bekerja, kejamnya sama, Cuma lebih halus, lebih diplomatis, kalau terus begitu, negeri ini akan tetap menjadi boneka, tapi kenyataan itu tak akan aku tulis dan berikan pada redaktur koran Nikkei, karena jepang harus menjadi cahaya Asia.
Begitu juga elite politik negeri ini, sepertinya mereka terjebak janji manis jepang, yang katanya sedang menyiapkan kemerdekaan indonesia, tapi, tapi bagiku, kemerdekaan itu harus direbut oleh tangan sendiri, oleh keringat sendiri, jangan bergantung pada mulut bangsa lain.
di Surakarta Arima lebih banyak menghabiskan waktu di keraton, meneliti Serat Wulangreh, sedangkan aku keluyuran tidak jelas, di kota ini sangat berbeda dengan dengan kota tempatku tinggal, Kyoto. aku merindukan Kyoto yang dingin, mengunjungi kuil bersejarah, atau berkunjung ke rumah Geisha.
Sebenarnya aku ingin pindah dan menetap di Jakarta, karena disana lebih muda mencari informasi, dan dekat dengan kantor perwira Jepang. Tapi aku terkendala bahasa, belum fasih bahasa melayuku, sedangkan Arima sudah lumayan mahir, dan di Surakarta inilah kadang-kadang aku menyuruh Arima untuk menjadi penerjemahku.
Di sela-sela kesibukanku membuat berita, seringkali aku ikut Arima ke keraton, bertemu para seniman dan budayawan, itung-itung dengan mengunjungi keraton hidupku tidak membosankan. Apalagi ketika nontong wayang, itu mengingatkanku pada kabuki di jepang, waktu aku kecil, nenek sering mengajakku menonton teater kabuki.
Selain melihat pertunjukan wayang aku juga suka pada tarian, menurutku tarian jawa lebih erotis dan mistis. Mungkin karena paduan alat musik dan syairnya yang menyihir otak, terkadang kalau mau tidur aku masih terngiang bunyi gamelan yang dipukul.
Pernah suatu hari aku melihat penari berlatih sendiri di aula keraton, tariannya lembut, gerakannya sangat indah, aku mengamati penari tersebut dari serambi aula, memperhatikan sampai penari tersebut selesai. Lalu penari itu menghampiriku dan menyapa dengan bahasa jawa.
“sinten nggeh” “siapa ya?”
Lalu aku menjawab memakai bahasa inggris “I can’t speak java”
Penari itu ternyata bisa bahasa inggris dengan fasih, kemudian kita mengobrol lumayan lama, dan ternyata tarian yang sedang ia pelajari ialah tarian sakral dan akan dipertunjukkan dalam acara keraton.
Sejak pertemuan pertama itu aku jadi terngiang tentang penari perempuan keraton, gerakan yang lembut, sorotan matanya yang sayu, dan tentu kecerdasannya dalam bahasa asing. Sayang aku tidak sempat lagi bertemu dengan dia, kabar terakhir yang aku dengar dari Arima ialah dia pergi ke belanda dalam acara kesenian, dan dia menari di tengah bangsa eropa.
Januari 1945, aku ke Jakarta atas permintaan kantor Nikkei, tugasku lebih banyak dan hampir setiap hari meliput isu politik, sebentar lagi negeri ini akan merdeka, akan terbebas dari penjajahan, petinggi perwira jepang sudah membentuk panitia untuk merumuskan dasar filosofis negeri ini.
Tapi fikiranku tidak bisa lepas dari keraton Surakarta dan penari yang sudah ku ketahui identitasnya, dia adalah putri raja, Gusti Raden Ayu Kamaril, tapi aku sudah punya panggilan khusus untuknya, Kazumi Geisha dari Jawa.
Kazumi mengingatkanku pada Geisha jepang yang sangat dihormati dan diimpikan banyak lelaki, keahlian geisha dalam bidang seni pertunjukan seperti bermain shamisen dan alat musik tradisional hampir sama dengan Gusti Kamaril yang pandai menari serimpi dan menulis puisi, betapa beruntunnya takdirku bertemu Geishaku di tanah jawa.
September 1945, aku kembali ke Jepang setelah Hiroshima dan Nagasaki di bom oleh Amerika, jepang kalah perang dan terpuruk, banyak korban jiwa berjatuhan, aku memutuskan kembali dan menjadi guru di kotaku, Kyoto.
Aku menulis catatan singkat autobiograf ini untuk mengabadikan kisahku di tanah jajahan jepang, di tanah jawa dan pertemuanku dengan Geisha dari keraton Surakarta, Kazumi.
Menyukai ini:
Suka Memuat...