Kontestasi Pemilihan Kepala Desa (Pilkades) serentak, yang digelar di 84 Desa dan 27 Kecamatan di Kabupaten Sumenep berlangsung hari ini. Sebelum pencoblosan dan penghitungan suara ditutup dan selesai, kesempatan menang di antara para calon masih terbuka. Manuver terus dilakukan. Segala kemungkinan akan terjadi.
Kalau dalam sepak bola ini masuk pada injuri time. Menit-menit rawan bagi masing-masing tim kesebelasan. Selama peluit panjang, tanda pertandingan berakhir belum ditiup, sepanjang itulah kedua tim akan bermanuver dan terus berusaha melesakkan gol ke gawang lawan, demi menggapai kemenangan.
Berbagai racikan strategi dijalankan. Ada yang bertahan, dan ada pula yang menyerang. Bagi yang merasa ada di atas angin acap kali bertahan, mengamankan skor. Sedangkan bagi yang merasa terancam kalah, terus menggalakkan serangan demi melesakkan gol sebanyak-banyaknya. Dan begitu juga sebaliknya.
Maka dalam situasi seperti ini, netralitas wasit amat urgen. Sebagaimana Panitia Pelaksana Pilkades, ia harus benar-benar menjadi penentu kualitas suatu kontestasi politik. Tak boleh ia memihak pada salah satu calon, dan tindakan-tindakannya menguntungkan atau merugikan salah satu pihak. Soal kepada siapa ia akan melabuhkan pilihannya, itu adalah hak masing-masing individu.
Ihwal siapa memilih siapa, itu adalah hak demokrasi setiap warga negara. Yang terpenting adalah menghormati setiap pilihan orang lain. Jangan saling memaksa dan mencela di antara satu dengan yang lain. Itu menciderai nilai-nilai demokrasi yang selama ini kita agungkan.
Setiap kita bebas melabuhkan pilihan kepada siapa pun yang kita mau. Berbeda pilihan dilindungi undan-undang. Yang mempertengkarkannya menciderai undang-undang.
Sebagaimana kita mafhum, meski Pilkades adalah level terendah dalam kontestasi lima tahunan demokrasi kita, karena lingkupnya lokal, tetapi dampak buruknya bagi keutuhan hubungan antar tetangga, kerabat dan sanak saudara adalah yang paling terasa. Lebih terasa daripada Pemilu, meskipun harus diakui polarisasinya lebih kuat.
Konflik Horizontal
Sejak ditetapkannya Calon Kepala Desa oleh Panitia Pilkades, benih-benih perselihan sudah mulai tumbuh. Perlahan ia akan tumbuh membersemai dinamika kontestasi. Semakin sengit dinamikanya, semakin kuat pulalah akar benih-benih perselihan itu tertancap dalam kehidupan sosial di akar rumput kita.
Di antara tetangga yang satu dengan tetangga yang lain suasana mulai tidak saling tegur sapa dan bercengkerama. Jarak mulai tercipta di antara mereka. Bahkan dinding pemisah mulai sengaja diciptakan, untuk mempertegas ke-Aku-annya masing-masing.
Dalam Pilkades haruslah jelas, siapa mendukung siapa. Sebab jika tidak, ia akan dianggap penjilat. Tipe orang macam ini ke depan tidak akan dihargai orang, karena dianggap tak punya komitmen dan tak berpendirian, meski kadangkala tujuannya baik, demi menjaga perasaan masing-masing calon.
Bom Waktu
Benih-benih perselihan itu perlahan akan tumbuh menjadi bom waktu, yang siap meledak kapan ia dikehendaki. Biasanya, bom waktu itu akan meledak dan menghancur leburkan setiap sendi kehidupan sosial kita pasca Pilkades.
Setelah pungut hitung selesai, dan sang pemenang sudah diumumkan, konflik-konflik itu akan berledakan meluluhlantakkan kehidupan sosial kita, yang dahulu hangat dan harmonis.
Seberapa dahsyat ledakan bom itu bergantung pada riuhnya euforia kemenangan calon terpilih beserta para pendukungnya. Biasanya, yang menang berpesta pora, dan ketersinggungan-ketersinggungan kian menebal, mengaburkan penglihatan, sehingga keterbelahan antar calon dan para pendukungnya semakin melebar.
Saling lempar hinaan dan cemoohan menghiasi kehidupan sosial di antara sesama. Dan tauran ocehan acap kali menjadikan suasana semakin memanas, dan tak jarang berujung pada kekerasan fisik. Sungguh ironis!
Pilkades itu berbeda dengan Pemilu, Pilpres, dan Pilkada. Jika Pilres misalnya, berakhir di meja perundingan dan bagi-bagi jabatan, maka Pilkades seringkali berakhir di meja pertikaian. Dan ironinya, pertikaian itu menahun, serupa penyakit kronis yang menakutkan dan akut. Konflik itu akan terus tumbuh, bahkan berkembang biak, beranak pinak hingga Pilkades tahun-tahun berikutnya.
Maka, konflik horizontal efek Pilkades semacam ini tidak hanya menjadi tugas dan tanggung jawab tokoh dan ulama semata untuk meredamnya, tetapi menjadi tanggung jawab bersama, setiap individu untuk menahan diri dari segala bentuk resah dan kecewa karena kekalahan yang diderita dan menahan diri dari berbagai macam euforia atas kemenangan yang diperolehnya. Dengan begitu, benih-benih kebencian tidak akan tumbuh subur dan beranak pinak.
Menyukai ini:
Suka Memuat...