Setelah resmi purna tugas dari TNI, Gatot Nurmantyo yang sebelumnya pernah menduduki jabatan sebagai Panglima TNI, mulai melirik dunia politik. Langkah Gatot Nurmantyo terjun ke dunia politik tentu tidak mudah. Gatot Nurmantyo tidak bisa hanya bermodalkan popularitas. Hal yang harus dimiliki Gatot Nurmantyo untuk mewujudkan niat politiknya adalah mempunyai partai politik pengusung, serta logistik pendukung.
Saat ini koalisi partai politik yang mempunyai kursi di DPR sudah mulai terbentuk. PDIP (109 kursi), Golkar (91 kursi), PPP (39 kursi), Nasdem (35 kursi), Hanura (16 kursi), dengan total 290 kursi atau 51,8% sepakat untuk mengusung Joko Widodo sebagai capres pada Pilpres 2019.
Koalisi kedua adalah Gerindra (73 kursi) dan PKS (40 kursi) dengan total 113 kursi atau 20,2% dari total kursi di DPR. Meskipun belum deklarasi secara resmi, kedua partai ini kemungkinan pertama akan mengusung Prabowo Subianto sebagai capres. Kemungkinan kedua Prabowo Subianto akan menjadi king maker dan mengusung calon lain.
Partai lainnya adalah Demokrat (61 kursi), PAN (49 kursi) dan PKB (47 kursi) dengan total kursi 28% dari jumlah kursi di DPR. Ketiga partai ini jika berkoalisi dan membuat kubu tersendiri masih dimungkinkan, mengingat jumlah kekuatannya memenuhi syarat untuk mengusung pasangan capres-cawapres.
Dengan arah koalisi yang sudah ada maka Gatot Nurmantyo mempunyai beberapa pilihannya untuk dapat mengikuti Pilpres 2019. Peluang pertama bagi Gatot Nurmantyo adalah menjadi capres dari koalisi partai dibawah komando Prabowo Subianto. Peluang kedua menjadi cawapres dari koalisi partai yang telah sepakat mengusung Joko Widodo sebagai capres. Peluang ketiga adalah Gatot Nurmantyo memanfaatkan peluang partai-partai yang belum menentukan arah koalisi yaitu Demokrat, PAN, dan PKB.
Dari ketiga peluang tersebut, peluang yang paling tinggi bagi Gatot Nurmantyo untuk mendapatkan tiket adalah dengan menjadi capres dari koalisi di bawah komando Prabowo Subianto. Arah ini semakin kuat dengan indikasi hingga saat ini Prabowo Subianto belum melakukan deklarasi capres. Indikasi kedua adalah kalkulasi politik selama ini yang kurang berpihak kepada Prabowo Subianto. Dengan kompromi tertentu maka kemungkinan Prabowo Subianto untuk memilih menjadi king maker dan mengusung Gatot Nurmantyo sebagai capres dari koalisi Gerindra-PKS cukup realistis.
Kompromi tersebut akan menguras logistik yang cukup besar. Logistik ini diperlukan untuk menggerakkan perahu Gerindra-PKS sebagai partai pengusung dan logistik untuk menggerakkan massa pada saat pilpres. Jika Gatot Nurmantyo dalam peluang tersebut di atas memilih cawapres seperti Tuan Guru Bajang atau Mahfud MD, maka koalisi partai pengusung Joko Widodo layak untuk cemas dan khawatir.
Gatot Nurmantyo dan cawapres Tuan Guru Bajang atau Mahfud MD adalah kombinasi capres-cawapares yang nilai jualnya cukup tinggi di masyarakat. Hambatan dari komposisi ini Tuan Guru Bajang adalah kader Partai Demokrat, partai yang belum tentu mau berkoalisi dengan Gerindra atau PKS. Sementara Mahfud MD adalah tokoh yang tidak mempunyai partai politik.
Peluang kedua bagi Gatot Nurmantyo adalah bergabung dengan Joko Widodo. Meskipun dalam akhir karir militernya Gatot Nurmantyo terlihat berbeda arah politik dengan Joko Widodo, namun peluang untuk bergabung dengan Joko Widodo tetap masih ada. Tentu saja konsekuensi bagi Gatot Nurmantyo adalah akan kehilangan sebagian besar dukungan dari masyarakat, yang sudah menjadi rahasia publik bahwa pendukung Gatot Nurmantyo sebagian besar adalah oposisi dari pemerintah.
Secara politik pasangan Joko Widodo-Gatot Nurmantyo akan menguntungkan karena akan mengurangi basis massa yang selama ini menjadi oposisi Joko Widodo. Hambatannya adalah resistensi dari kubu Joko Widodo terhadap Gatot Nurmantyo. Resistensi ini sangat kuat mengingat dinamika politik yang sudah terjadi sebelumnya menunjukkan Gatot Nurmantyo cenderung berbeda arah dengan Joko Widodo. Hal tersebut pasti akan diingat sebagai catatan negatif bagi Gatot Nurmantyo dari partai koalisi pengusung Joko Widodo.
Peluang terberat bagi Gatot Nurmantyo adalah membangun koalisi dari partai Demokrat, PKB dan PAN. Hal ini dinilai berat karena Gatot Nurmantyo akan berhadapan dengan kepentingan Agus Harimurti dan Muhaimin Iskandar. Selain itu ketiga partai ini masih mempunyai kemungkinan untuk akhirnya bergabung dengan koalisi yang sudah ada. Seandainya ketiga partai ini membentuk koalisi dan mengusung Gatot Nurmantyo sebagai capres, maka konsekuensi politik dan logistik yang akan ditanggung oleh Gatot Nurmantyo cukup besar.
Peluang Gatot Nurmantyo untuk maju pada Pilpres 2019 masuk cukup realistis, dengan catatan Gatot Nurmantyo mampu meyakinkan koalisi partai untuk mengusung dirinya. Tahapan mencari koalisi partai ini dapat dikatakan hampir sama beratnya dengan tahapan untuk kampanye dan pemungutan suara pada Pilpres 2019 nanti.
Semakin banyak tokoh-tokoh politik baru yang muncul dalam Pilpres 2019 nanti tentu saja semakin menunjukkan bahwa ada regenerasi dalam demokrasi Indonesia. Meskipun demikian, kesinambungan pembangunan berkeadilan yang sudah dilakukan pemerintah saat ini tetap perlu dijaga. Hal tersebut sangat penting mengingat orientasi pembangunan yang sudah membaik perlu dipertahankan. Selain itu kepercayaan warga negara Indonesia di berbagai penjuru kepada pemerintah yang semakin membaik harus tetap dipertahankan.
Pengamat Intelijen, Mahasiswa Doktoral Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia.
Menyukai ini:
Suka Memuat...