Oleh Wasanti*
Dalam sejarah peradaban Nusantara, Indonesia tercatat sejak zaman kerajaan, yakni abad ke 9 Masehi telah berlayar mengarungi lautan ke Barat Samudra Hindia hingga Mandagaskar dan ke Timur hingga pulau Paskah. Dua kerjaan bersar di Indonesia yaitu kerajaan Sriwijaya dan Kerajaan Majapahit mempunyai kehebatan armada niaga, memiliki manajemen transportasi laut dan armada militer yang mempuni tercatat dalam sejarah disegani di Asia Tenggara bahkan Dunia. Hal ini lazim terjadi karena Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia, 70% atau 2/3 luas wilayahnya merupakan lautan. Namun semangat sebagai negara maritim tersebut menjadi luntur ketika Indonesia mengalami penjajahan oleh kolonial, dimana pola hidup dan orientasi bangsa menjadi tergeser dari Orientasi Negara Maritim menjadi Orientasi Negara Agraris.
Di era Orde Lama ingin mengembalikan Indonesia sebagai negara maritim terlihat jelas dengaan deklarasi Juanda pada tanggal 13 Desember 1957 menyatakan kepada dunia bahwa laut Indonesia adalah termaksud laut sekitar, di antara dan di dalam kepulauan Indonesia menjadi satu kesatuan Wilayah NKRI. Bahkan dalam pidato Peresiden pertama Republik Indonesia Ir. Soekarno dalam pidatonya di tahun 1953 menegaskan, “Usahakanlah kita menjadi bangsa pelaut kembali. Ya, bangsa pelaut dalam arti seluas-luasnya. Bukan sekedar menjadi jongos-jongos di kapal, bukan. Tetapi bangsa pelaut dalam arti kata cakrawati samudera. Bangsa pelaut yang mempunyai armada militer, bangsa pelaut yang kesibukannya di laut menandingi irama gelombang lautan itu sendiri.”
Sangat jelas secara tersirat bahwa Bung Karno ingin mengembalikan kejayaan Indonesia sebagai negara martim. Kebijakan berbeda terjadi setelah Orde Lama runtuh dan Orde baru menjadi penguasa. Hilangnya orientasi pembangunan maritim bangsa Indonesia semakin jauh dari penguasaan maritim tetapi lebih digeser pada kebijakan pembangunan ke arah berbasis daratan yang dikenal dengan agraris, bahkan Indonesia dideklarasikan sebagai negara agraris. Hal ini kembali kepada jaman kolonial Belanda dimana negara agraris lebih diidentikan dengan produk rempah-rempah dan produksi pertanian yang melimpah. Bahkan di era Orde Baru Indonesia pernah mengalami swasembada beras.
Di era pemerintahan Jokowi gaung Indonesia sebagai negara maritim kembali di dengungkan. Ini terlihat dari kelembagaan setingkat kementrian koordinator telah dibentuk, dengan nama Kementrian Koordinator Kemaritiman dan Sumber Daya Republik Indonesia. Selain itu ada beberapa program prioritas pemerintah yang akan menunjang Indonesia sebagai negara maritim, salah satunya adalah pembangunan tol laut.
Tol laut yang akan dibangun jalur pertama dari tanjung Oriok-Natuna-Anambas, jalur ke 2 yaitu pertama melewati selatan ke Timur, Surabaya-NTT-Rote-Moa-Saumlaki-Dobu-Merauke. Trayek ke 3, Surabaya-Namlea-Fak-Fak,Timika, Jalur ke 3 adalah Makassar-Maluku Utara-Tauman-Morotai-Tobelo-Ternate-Babang. Manfaat dari pembangunan tol laut sangatlah besar salah satunya agar ketimbangan ekonomi di Indonesia bisa diminimalisir karena dengan adanya tol laut maka akses pendistribusian barang-barang lebih cepat dan merata. Selain itu pembangunan tol laut juga akan berdampak pada percepatan dan pemerataan pembangunan di seluruh Indonesia.
Tetapi perlu diingat bahwa pembangunan tol laut akan membuka kran idustrialisasi di Indonesia. Selain itu kekayaan biota laut akan sulit ditemukan di Indonesia karena pencemaran dan kerusakan lingkungan ketika alat transportasi yang digunakan tinggi emisi. Hal ini pastinya berpengaruh pada hasil tangkapan nelayan yang semakin menyusut karena ikan-ikan serta kekayaan laut lainnya ikut menjadi tercemar, serta tidak menutup kemungkinan Indonesia akan impor ikan laut dari negara lain. Pencemaran serta Kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh pembangunan tol laut akan berpengaruh pada hasil tangkapan ikan nelayan, hal tersebut menjadi permasalahan yang langsung berpengaruh pada ekonomi para nelayan.
Ketika kerisis tangkapan ikan terjadi maka yang paling sangat merasakan dampak dari itu adalah perempuan-perempuan nelayan, karena selain berprofesi sebagai ibu rumah tangga perempuan nelayan ikut serta dalam alur distribusi hasil tangkapan ikan. Perempuan nelayan-lah yang menjual ikan hasil tangkapan langsung ke pasar sampai pada pedagang atau pada konsumen langsung. Selain membantu dalam alur distribusi para perempuan nelayan juga melakukan usaha – usaha produksi sederhana dalam meningkatkan nilai jual ikan hasil tangkapan dengan melakukan usaha pengeringan ikan dengan produk ikan asin, ikan asap dan packaging yang dilakukan secara sederhana. Dengan usaha inilah para perempuan nelayan dapat meningkatkan hasil pendapatan rumah tangga nelayan dalam bentuk added value.
Bukti keterlibatan perempuan dalam meningkatkan kesejahteraan rumahtangga nelayan yang belum mendapat perhatian khusus dari pemerintah dilihat dari data tahun 2012 Food And Agriculture Organization (FAO) yang mencatat “saat ini rantai perdagangan ikan dunia belum memihak masyarakat pelaku perikanan sekala kecil, khususnya di negara-negara berkembang, padahal perempuan nelayan berkontribusi sebesar 40% dari total produksi perikanan tangkapan global”. Permasahalan ini tentunya menjadi pekerjaan rumah yang harus diselesaikan oleh pemerintah ditengah kebijakan mereka tentang pembangunan tol laut sebagai bentuk pembangunan infrastruktur untuk meningkatkan pertumbuhan masyarakat nelayan.
Pada tahap pembangunan yang dilaksanakan oleh pemerintah harus berdasar pada ekosistem alam dan haruslah sustainable. Pembangunan yang raham lingkungan bedasarkan ekosistem dapat berpengaruh pada jumlah tangkapan nelayan karena ketika tangkapan ikan berkurang dan cenderung sulit berakibat pada tingkat pendapatan nelayan yang berkurang atau biaya produksi yang membengkak. Dari permasalahan hasil tangkapan yang berkurang menjadikan masyarakat nelayan terjerumus pada jurang kemiskinan karena tingkat pendapatan mereka tidak mampu untuk memenuhi biaya hidup sehari – hari.
Pembangunan yang sustainable juga menjadi dasar pembangunan dimana pembangunan yang berkelanjutan baik secara fisik yang mengedepankan ekosistem alam tapi juga melakukan pembangunan manusia diwilayah sekitar. Akibat dari pembangunan yang tidak berkelanjutan dan bertumpu pada ekosistem alam ini mengakibatkan banyak masyarakat pesisir yang pastinya meninggalkan mata pencaharian karena tingkat pendapatan yang rendah sedang kebutuhan semakin tinggi. Dari dasar inilih maka para masyarakat nelayan merubah haluan dalam mata pencaharian dari nelayan menjadi buruh karena kebutuhan hidup sehingga meningkatkan arus urbanisasi kekota karena didesa mata pencaharian menjadi nelayan tradisional tidak cukup untuk membiayai kebutuhan hidup. Permasalahan lain juga muncul ketika tingkat lapangan kerja dikota – kota besar terbatas dan tingkat pendidikan rendah terbatas maka masyarakat nelayan akan melakukan segala cara untuk mereka dapat hidup dengan layak dengan menjadi buruh – buruh migran diluar negeri menjadi TKI dan TKW.
Inilah pemasalahan yang timbul akibat dari pembangunan infrastruktur yang dipaksakan tanpa melihat ekosistem alam dan kerifan lokal masyarakat sekitar. Dan bagi para perempuan nelayan tentunya menjadi permasalahan yang besar karena mereka juga harus mencari sumber pendapatan lain akibat dari rusaknya ekosistem alam dan pembangunan yang tidak sustainable. Dan pekerjaan yang dapat dilakukan untuk membantu suaminya dalam memenuhi kebutuhan hidup rumah tangga adalah menjadi buruh pabrik atau buruh migran yaitu TKW.
Dari permasalahan yang telah diuraikan sangat sulit kiranya apabila pemerintah mencanangkan pembangunan infrastruktur tol laut tetapi tidak menyiapkan sumber daya manusianya menjadi cerdas untuk menghadapi arus industrialisasi dan liberalisasi perekonomian. Seharusnya pemerintah memberikan pendidikan kepada nelayan sehingga mereka dapat mengerti dan bijak dalam menggunakan peralatan melaut yang berbasis teknologi. Karena dengan adanya tol laut adalah keniscayaan bahwa harus ada pembahuruan teknologi yang dapat meningkatkan tangkapan ikan dalam usaha memenuhi kebutuhan ikan nasional pada wilayah – wilayah sentra produksi ikan dan alat – alat tangkap nelayan yang sifatnya tradisional harus beralih menjadi alat tangkap nelayan yang berbasis teknologi. Selain peningkatan teknologi dan pendidikan bagi nelayan pemerintah juga harus melakukan kerja – kerja untuk meningkatkan soft skill perempuan nelayan dalam melakukan upaya produksi dan distribusi hasil tangkapan ikan para nelayan dengan cara pemerintah juga harus memberikan pendidikan pengelolaan hasil tangkapan ikan kepada perempuan nelayan agar mampu berinovasi dalam mengelola hasil tangkapan ikan serta menyediakan pasar secara fisik untuk para nelayan yang dijalankan oleh para perempuan untuk menjaga stabilitas harga dan memotang rantai distribusi yang dilakukan oleh tengkulak.
Dengan menigkatnya kemampuan soft skills perempuan nelayan maka secara otomatis masyarakat nelayan mampu bersaing di tengah arus liberalisasi dan globalisasi perekonomian dunia. Dengan pelaksanaan program pembangunan yang ramah lingkungan dan sustainable yang didasarkan pembangunan TOL laut ini maka tingkat kesejahteraan masyarakat pesisir dapat mengkat dan julukan Indonesia sebagai negara maritim yang disegani oleh dunia, dengan menjadikan masyarakat nelayan sebagai manusia yang berdaulat atas diri mereka, atas pekerjaan mereka, adalah sebuah keniscayaan sehingga keadilalan sosial bagi seluruh masyarakat Indonesia bukanlah uthopia belaka. Dengan cara – cara inilah negara hadir untuk melindungi hak – hak rakyat sehingga tidak terjadi exploitation de l’homme par l’homme tidak ada di bumi Pertiwi ini.
Merdeka!!
Wasanti, Penulis adalah Ketua Komite Sarinah Presidium Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia.
SerikatNews.com adalah media kritis anak bangsa. Menyajikan informasi secara akurat. Serta setia menjadi platform ruang bertukar gagasan faktual.
Menyukai ini:
Suka Memuat...