Penulis: Serikat News
Minggu, 7 Mei 2017 - 03:42 WIB
Sumber : pixabay.com
Sumber : pixabay.com
Oleh: Retnoningsih, S.Pd., M.Pd*
Representasi perempuan dalam bidang politik boleh dikatakan masih jauh dari apa yang kita harapkan. Pendidikan politik merupakan salah satu aktivitas yang bertujuan untuk membentuk dan menumbuhkan orientasi-orientasi politik pada setiap individu maupun kelompok. Proses pendidikan politik dilakukan agar masyarakat luas dapat menjadi warga negara yang sadar dan menjunjung tinggi akan hak dan kewajibannya dalam kehidupan bermasyarakat berbangsa, dan bernegara, serta memperhatikan keadilan dan kesetaraan gender.
Perempuan perlu melakukan pembongkaran terhadap pemahaman tentang makna politik sebagaimana tersebut di atas. Tentu saja pembongkaran itu menurut kaca mata perempuan. Perempuan perlu membangun pemahaman tentang politik perempuan yang sederhana, terjadi setiap hari, dan berangkat dari pengalaman perempuan sebagai sumber pengetahuan yang autentik. Oleh karena itu, dalam berpolitik, perempuan perlu membangun prinsip-prinsip politik yang memperjuangkan keadilan gender dengan menyadari bahwa perempuan mengalami ketertindasan (mengalami opresi) sehingga perlu bereaksi untuk membebaskan diri dari ketertindasan tersebut.
Prinsip-prinsip dimaksud adalah nilai-nilai dan sifat-sifat yang secara budaya dihubungkan dengan perempuan, seperti: saling ketergantungan (interdependensi), komunitas, hubungan kemanusiaan, berbagi (share), emosi, tubuh, kepercayaan, tidak mengenal tingkatan dan kedudukan (ketiadaan hierarki), alami, imanensi (berada dalam kesadaran atau dalam pikiran), menghargai proses, kesukariaan, perdamaian, dan kehidupan. Prinsip-prinsip politik ini tidak akan mengorbankan siapapun, termasuk perempuan dan kaum yang terpinggirkan lainnya.
Menurut, sumber yang diolah dari data berbagai sumber (KPU, WRI dan Puskapol UI). Jumlah Anggota Legislatif Perempuan DPR RI 1955-2004Periode Perempuan Laki-laki 1955-1956 17 (6,3persen) 272 (93,7persen) Konstituante 1956-1959 25 (5,1persen) 488 (94,9persen)1971-1977 36 (7,8persen) 460 (92,2persen)1982-1987 29 (6,3persen) 460 (93,7persen)1987-1992 65 (13persen) 500 (87persen)1992-1997 62(12,5persen) 500 (87,5persen) 1997-1999 54 (10,8persen) 500 (89,2persen)1999-2004 46 (9persen) 500 (91persen)2004-2009 61(11,09persen) 489 (88,9persen)2009-2014 103(18persen) 457 (82persen).
Hal ini tentunya sangat bertolak belakang dengan kondisi tahun 1999 yang membayangi Indonesia kala itu. Era kebebasan yang meluas ternyata tidak diikuti dengan peningkatan keterwakilan perempuan demi
mewujudkan kesamaan hak antara perempuan dan laki-laki di bidang politik. Hal ini disebabkan masih, tingginya praktek oligarki parpol sebagai warisan dari masa Orde Baru. Belum terbukanya daftar calon legislatif (caleg) dianggap menyebabkan masih
terbatasnya hak perempuan untuk dipilih dalam pemilu. Sedangkan pada tahun 2004 dan 2009, meskipun sistem pemilihan umum diubah menjadi proporsional terbuka, namun penetapan sistem urut menjadi kendala utama. Meskipun daftar caleg yang
diajukan parpol telah memenuhi kuota 30 persen, namun banyak caleg perempuan yang tidak berada pada nomor urut jadi sehingga perolehan suara tidak mampu menyentuh caleg perempuan yang masuk dalam daftar.
Berbagai upaya yang dilakukan pemerintah dan organisasi perempuan untuk meningkatkan keterwakilan perempuan di parlemen, tetapi hasilnya belum sesuai yang diharapkan. Proporsi anggota legislatif perempuan yang terpilih gagal mencapaiaffirmative action 30 persen pada Pemilu 2014, justru proporsi tersebut mengalami penurunan dari 18,2 persen pada tahun 2009 menjadi 17,3 persen di tahun 2014. Padahal, kandidat perempuan yang mencalonkan diri dan masuk dalam daftar pemilih dari partai politik mengalami peningkatan dari 33,6 persen tahun 2009 menjadi 37 persen pada 2014.
Pada Pemilu Legislatif tahun 2014, ternyata hanya mampu menghasilkan keterwakilan perempuan di legislatif sebanyak 97 kursi (17,32 persen) di DPR, 35 kursi (26,51 persen) di DPD, dan rata-rata 16,14 persen di DPRD serta 14 persen di DPRD kabupaten/kota. Besar harapan kepada perempuan anggota DPR periode 2014-2019 mempunyai komitmen politik yang tinggi untuk mendorong percepatan pembangunan pemberdayaan perempuan, perlindungan anak, dan pelaksanaan pengarusutamaan gender sebagai strategi mengatasi kesenjangan gender guna mewujudkan kesetaraan gender di berbagai sektor pembangunan tahun 2025.
Setiap anggota DPR periode 2014-2019, tanpa kecuali perempuannya terutama yang baru terpilih seharusnya dapat memahami isu-isu strategis dalam pembangunan lima tahun kedepan.
Seluruh perempuan anggota DPR diharapkan dapat bersatu dalam menyamakan persepsi dan visi tentang prioritas pembangunan agar dapat merealisasikan aspirasi sebagian rakyat yang masih di bawah garis kemiskinan. Data menunjukkan angka kemiskinan pada 2013 mencapai 28,55 juta jiwa (11,47 persen). Kemiskinan tersebut sebagian besar dialami perempuan yang menjadi kepala keluarga.
Ditulis dalam Bahasa Inggris oleh: Mohammad Fajrul Falaakh* Diterjemahkan oleh: Makdum Ali Robbani** Pengantar Nahdlatul Ulama (NU) adalah organisasi Islam
Oleh: Robiatil Hurriyah (Mahasiswi PAI STIT Al-Ibrohimy) Di era digitalisasi yang sudah sangat canggih, teknologi komunikasi dan informasi sudah berkembang
Oleh: Wafiruddarroin PEMILIHAN kepala daerah (Pilkada) adalah momentum penting yang tidak hanya menentukan pemimpin baru, tetapi juga mencerminkan dinamika sosial
Oleh: Isna Asaroh (Ketua Kopri PMII Jember) Korps Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia Putri (KOPRI) merupakan sayap organisasi Pergerakan Mahasiswa Islam
“Terbinanya insan akademis, pencipta, dan pengabdi yang bernafaskan Islam serta bertanggung jawab atas terwujudnya masyarakat adil makmur yang di ridhoi