Laporan Serikat News
Kamis, 4 Mei 2017 - 10:10 WIB
Oleh Ratu Dian Hatifah, M. Pd.*
Jumlah penduduk Indonesia tahun 2014-2015 menurut hasil SUSENAS berpenduduk sebesar 254,9 juta jiwa dengan persentase sebagai berikut: Perempuan 49,70% (126.8 juta jiwa) Laki-laki 50,30% (128,1 juta jiwa) jumlah penduduk Indonesia di perdesaan 128.5 juta jiwa; di perkotaan 126.3 juta jiwa dengan posisi yang hampir berimbang antara laki laki dan perempuan maka keberadaan perempuan memiliki hak yang sama di negara yaitu bagian yang tak terpisahkan dari pembangunan bangsa yang berorientasi pada keadilan serta kesetaraan. Oleh sebab itu negara memiliki kewajiban untuk melindungi seluruh warga negaranya dalam berdemokrasi.
Ketika Instruksi Presiden no : 9 tahun 2000 terkait Pengarus Utamaan Gender dalam Pembangunan Nasional dan Undang Undang Pemilu No. 8 tahun 2012 di sahkan dalam Paripurna DPR serta pembahasan RUU Penyelenggaraan Pemilu Legislatif, Pemilu Preiden dan Wakil Presiden 2019 sedang di bahas, ada misi yang harus diperjuangkan dalam meningkatkan eksistensi perempuan di politik yaitu memperkuat posisi perempuan serta mewajibkan partai politik secara struktural memberikan kesempatan yang sama agar dapat mengaktualisasikan diri serta pemikirannya terkait pembangunan bangsa dalam berdemokrasi dapat diimplementasikan secara adil.
Praktik tindakan khusus sementara yang telah dilakukan ini bukan sesuatu yang mudah untuk dijalankan bagi kepentingan perempuan, karena jika para pengambil kebijakan tidak sensitif atau tidak responsif terhadap kesetaraan, maka sulit untuk dijalankan. Terbukti masih ada pernyataan terlontar dari para politisi laki-laki yang tidak mendukung, semisal ada ungkapan bahwa “Peran perempuan belum maksimal di akar rumput dan cenderung belum terukur kinerjanya”, padahal sesungguhnya pernyataan tersebut berlaku untuk para laki-laki juga.
Meski demikian peran dan posisi perempuan menjadi hal yang sangat menentukan dalam perkembangannya, terlebih jika kapasitas politisi perempuan dapat memberikan warna dan dinamika berpolitik secara baik, menurut penelitian bahwa perempuan masih belum bisa beraktualisasi secara bebas untuk menentukan haknya, hal tersebut terjadi dalam politik karena masih kuatnya dominasi patriarki, yaitu mengenai terbungkamnya sebuah kelompok karena ada kuasa yang lebih dominan yang datang dari kelompok lain. Teori ini disebut sebagai the muted group theory.
Teori ini berfokus pada keberadaan kelompok minoritas atau subordinat sebagai kelompok yang terbungkam atau terbisukan, yang tak dapat menyuarakan kepentingan karena disepelekan bahkan dianggap tidak ada. Kelompok ini merasa tak punya kuasa sebab kekuasaan dipegang oleh kelompok yang dominan. Di tengah dominasi kelompok yang berkuasa kelompok ini memilih untuk diam atau bungkam, sehingga mereka menjadi kelompok yang terabaikan dan tak terlihat. Hal ini sebagaimana dikatakan oleh Edwin Ardener (Griffin, 2006:495) dan diperkuat teori Shirley Ardener (West dan Turner, 2010) menyatakan bahwa kebisuan perempuan adalah akibat dari ketulian telinga laki-laki.
Meskipun perempuan berbicara, tetap saja perkataannya membentur telinga yang tuli. Hal itu mengakibatkan perempuan akhirnya menyerah dan mulai berhenti untuk menyuarakan suara mereka, bahkan mulai berhenti juga untuk berpikir bahwa mereka memiliki hak pasti untuk mengeluarkan pendapat. Menurut Kramarae (West dan Turner, 2010:481), ada tiga asumsi penting dalam teori Muted Group ini. Pertama, perempuan merasa bahwa dunia mereka berbeda dengan laki-laki karena dasar pengalaman dan aktivitas pekerjaan yang berbeda. Kedua, dominasi politik laki-laki membuat sistem persepsi laki-laki pun dianggap dominan, sehingga menghalangi kebebasan berekspresi perempuan. Ketiga, dalam keikutsertaannya berpartisipasi di masyarakat perempuan kemudian harus bertransformasi model atau gayanya sendiri dan menukarnya dengan sistem berekspresi laki-laki.
Dominasi politik laki laki sepertinya menjadi hal yang sulit ditembus. Yang pada akhirnya perempuan berusaha memahami laki-laki sebagai individu dan kemudian membandingkannya dengan dirinya sendiri, sehingga ia dapat membuat identifikasi sempurna atasnya. perempuan mengerjakan rencanarencananya dan merawat yang dimilikinya dengan cara yang tidak dapat ditiru oleh laki-laki. Perempuan bekerja menurut caranya dan dengan gayanya sendiri.
Persoalan atau tantangan yang dihadapi oleh seorang perempuan yang berperan atau berkarir, sebagai politisi, pejabat, kader partai dan atau pencari nafkah berbeda dengan segala sesuatu yang dihadapi oleh seorang lelaki dengan posisi serupa. Yaitu masalah Stereotipe Nilai Gender dan Relasi Gender Peran politik bagi politisi perempuan baik di parlemen maupun perempuan aktifis dalam struktur partai serta pejabat publik merupakan hal yang terpenting untuk melakukan pergerakan politiknya. karenanya perempuan harus cerdas dan memiliki integriras yang tinggi.
Sebagaimana kita ketahui bahwa praktik strategi politik tidak mengenal aspek “pemberian” semuanya harus dilakukan melalui mekanisme dan kebijakan partai diambil secara suara mayoritas bagi kepentingan elit atau pimpinan partai, jika kebijakan tersebut menguntungkan partai maka partai akan senantiasa memperjuangkan pemikiran tersebut. Oleh karenanya posisi perempuan dalam partai memiliki arti yang sangat penting. Hal tersebut harus menjadi focus perhatian dalam perkembangan dan kemajuan bangsa Indonesia karenanya keberadaan perempuan secara teoritis merupakan investasi, asset dan potensi bangsa yang dapat memberikan kontribusi yang sangat besar bagi kehidupan berbangsa dan bernegara serta berpolitik, misalnya dalam hal komunikasi politik maka peran perempuan menjadi sangat berpengaruh jika pesan yang disampaikan mampu memberikan sumbangsih positif bagi partai dan kemajuan untuk kemenangan partai tersebut.
Jika merujuk UU Pemilu no 8 tahun 2012 bahwa negara sudah menjamin keberadaan perempuan dalam akses dan kesempatannya menjadi kandidat anggota legislatif dan praktek affirmasi telah dilakukan tetapi masih saja komentar miring yang tidak mendukung, Jika dukungan elit partai maupun para stake holder mampu memberikan warna maka peran dan posisi perempuan menjadi hal yang utama yang sangat menentukan dalam perkembangannya dan terlebih jika kapasitas politisi perempuan saat berkomunikasi dapat memberikan warna dan dinamika berpolitik.
Kebijakan yang dikeluarkan oleh Partai, dinilai masih cenderung setengah hati dan sebaagian besar partai tidak memiliki platform yang jelas bagi perempuan, bahkan ketika para aktifis memunculkan angka 30% keterwakilanpun dianggap “manja” padahal jika belajar dari negara negara lain ada negara yang menerapkan “reserved seat” misalnya Partai politik dapat memiliki kebijakan untuk kuota secara informal. Contohnya, ANC di Afrika Selatan (30 persen), Partai Buruh di Australia), PJ dan UCR di Argentina. Di Inggris daftar untuk partai buruh tahun 1997 berganda dari 60 menjadi 119 (Karam) agar perempuan bisa bersaing dengan para kandidat laki laki dalam hal kesempatan menjadi anggota legislative, Oleh karenanya Indonesia perlu belajar dari mekanisme dan cara yang dilakukan oleh negara lain untuk hal penerapan affitmative action, maka jika ini dilakukan dan berhasil Indonesia akan menjadi role mode bagi kemajuan berdemokrasi.
Dinamika politik kekinianpun mengharuskan perempuan pada posisi siap siaga dalam menghadapi berbagai pergulatan opini yang muncul dari partai politik yang terkadang sulit dicerna oleh akal sehat yang mau atau tidak mau suka atau tidak suka harus ditaati dalam setiap kebijakan yang dikeluarkan oleh elit partai.
Posisi perempuan harus banyak terlibat dalam proses pengambilan kebijakan baik kebijakan secara umum maupun kebijakan yang khusus untuk menyelesaikan persoalan perempuan, karenanya peran strategis perempuan dalam penentu kebijakan serta pembuatan UU dan berkontribusi secara pemikiran menjadi point penting dalam memasukan unsur unsur serta misi yang pro kepada perempuan karena hanya dengan UU lah perempuan terjamin keberadaannya, lain halnya dengan laki laki yang secara umum selama ini telah banyak terlibat dalam penyusunan UU maupun peraturan perundang undangan lainnya, dicontohkan bahwa politik kehadiran perempuan dari pemilu ke pemilu tidak menunjukkan persentase yang meningkat baik pada pemilu 2004, 2009, 2014 cenderung menurun hal tersebut terjadi karena affirmasi yang dilakukan oleh partai politik tidak menunjukkan sesuatu yang bombastis dalam implementasiya dan secara umum partai politik yang ada di Indonesia peserta pemilu pun masih berjalan ditempat jika partai lain juga menerapkan hal yang sama.
Melihat proporsi penurunan dari 18,2 % pada tahun 2009 menjadi 17,3 persen di tahun 2014. Padahal, kandidat perempuan yang mencalonkan diri dan masuk dalam daftar pemilih dari partai politik mengalami peningkatan dari 33,6% tahun 2009 menjadi 37% pada 2014. Pada Pemilu Legislatif tahun 2014, ternyata hanya mampu menghasilkan keterwakilan perempuan di legislatif sebanyak 97 kursi (17,32 %) di DPR, 35 kursi (26,51%) di DPD, dan rata-rata 16,14% di DPRD serta 14% di DPRD kabupaten/kota. Meskipun masih belum mencapai 30 persen, tentunya diperlukan perbaikan, evaluasi dalam penguatan kapasitas perempuan anggota legislatif terpilih agar memiliki komitmen yang kuat dalam perancangan legislasi untuk kemajuan perempuan Indonesia Oleh karenanya keberhasilan dari perempuan politik di Indonesia perlu kerja keras yang sangat panjang dengan memperhatikan ritme dan gaya berpolitik yang tersajikan selama ini. maka misi yang harus dikuatkan dalam perjuangannya adalah tetap terus berperan secara aktif dan memberikan konsep konsep yang terbaik dalam keterlibatannya di partai maupun di luar partai, serta keterwakilan perempuan dalam struktur harian partai harus mejadi komitmen yang di realisasikan, karenanya suksesi atau forum pergantian kepengurusan semacam Musyawarah Nasional/MUNAS, Musyawarah Daerah/MUSDA dalam tubuh partai perlu menjadi agenda khusus perempuan untuk mengisi dan berkandidasi secara sehat dalam meraih dukungan dan posisi puncak dalam partai politik, sehingga keberadaan perempuan tidak lagi menjadi pelengkap.
*Penulis adalah Wakil Sekjen Pemenangan Pemilu Wilayah Jawa I DPP Partai GOLKAR, Sekjen PP KPPG (Kesatuan Perempuan Partai Golkar) serta Dewan Kehormatan PP KPPI (Kaukus Perempuan Politik Indonesia)
Oleh: Mauzun Visioner (Pegiat Literasi) PEMILIHAN Gubernur Jawa Timur sedang mencuri perhatian publik. Pasalnya, Pilgub kali ini menampilkan tiga figur
FIGUR kyai masih menarik untuk dilibatkan atau terlibat pada kontestasi pilkada 2024. Pernyataan tersebut setidaknya sesuai dengan kondisi proses pilkada
PERNYATAAN Sekretaris Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi, Prof. Tjitjik Sri Tjahjandarie tentang “pendidikan tinggi adalah tertiary education, bukan