Pada pembahasan kali ini penulis akan sedikit mencurahkan gagasan dan pemikiran, mungkin hanya sekedar asumsi penulis saja, berangkat dari keresahan-keresahan yang penulis rasakan berdasarkan apa yang telah dilihat di lingkungan publik, khususnya di media sosial. Beberapa waktu yang lalu, tepatnya pada saat liburan semester dua kemarin, story WhatsApp digencarkan oleh fenomena pernikahan muda, dengan dalih untuk menghindari adanya zina (katanya), banyak kaum muda yang melakukan pernikahan di usia dini, tapi di sini penulis melihat ada yang aneh, kebanyakan anak muda tersebut mengusung tema yang begitu cukup menggelitik, yaitu “Pemuda Hijrah” yang orientasinya mengacu untuk lebih taat pada agama Islam dalam menjalankan perintah dan menjauhi larangan Tuhan.
Pernikahan merupakan ibadah yang dilakukan oleh seorang laki-laki dan perempuan dengan diawali akad atau persetujuan oleh orangtua agar memperoleh kehidupan yang damai (sakinah), saling kasih sayang dan cinta (mawaddah), dan kehidupan yang penuh kerelaan dari Allah (rahmah). Menurut (QS. An-Nur:32), pernikahan adalah perintah firman Alloh SWT yang ditujukan kepada kaum laki-laki dan perempuan ketika jasmani dan rohaninya sudah mampu untuk melakukan pernikahan. Ada beberapa teman mahasiswa yang sekarang duduk di bangku semester lima pun sudah berstatus kawin. Penulis agak sedikit tidak interest melihat hal-hal yang berkaitan dengan “pernikahan dini”. Tapi di sisi lain, usia mahasiswa memang sudah pantas untuk membangun rumah tangga karena usianya yang sudah diatas 17 tahun, dalam artian kondisi fisiknya sudah siap untuk menikah. Belum lagi yang belum usai persoalan tentang banyaknya pernikahan ‘kecelakaan’ atau istilahnya Marriged By Acident yang dialami oleh remaja-remaja saat ini, tak lain karena pergaulan bebas serta kurangnya controlling dari orangtua.
Kebanyakan dari remaja-remaja tersebut masih dalam taraf labil psikis dan hatinya. Belum paham betul apa makna dari sebuah pernikahan. Kemudian penulis juga heran dengan fenomena yang dialami oleh mahasiswa sekarang ini, ada sebuah meme atau timeline yang mengatakan “Gak kuat hidup karena tugas banyak, ingin cepet-cepet nikah aja”, terkadang muncul pertanyaan dari penulis, kenapa sih mereka (anak muda) dengan gampang dan dengan tegasnya mengucapkan sebuah ‘akad pernikahan’. Padahal, pernikahan adalah sebuah hal yang sakral dan bukan hal yang dapat dianggap sebagai tindakan main-main, tidak mudah menyatukan dua keluarga yang berbeda latar belakangnya, dari orang yang baru kita kenal atau temui. Pernikahan memiliki konsekuensi tanggungjawab yang besar, bagaimana hak dan kewajiban sebagai suami atau istri itu dapat ditunaikan dengan baik secara seimbang yang nantinya diharapkan tidak menimbulkan konflik ataupun boomerang yang berujung pada perceraian dalam rumah tangga yang dibangunnya. Pada umumnya pernikahan dini yang hanya dilandasi rasa cinta tanpa kesiapan mental dan materi akan berdampak buruk dalam rumah tangga.
Usia yang masih terlalu muda, banyak keputusan yang diambil berdasar emosi atau mengatasnamakan cinta yang membuat mereka salah dalam bertindak. Dan lagi-lagi di sini anaklah yang menjadi korban, anak mendapat pengalaman yang dirasa begitu pahit yaitu perpisahan orangtuanya (broken home). Negara juga mengatur tentang urusan pernikahan, yakni dalam UU No. 1 tahun 1974, pasal 7 ayat (1) yang berbunyi bahwasanya pernikahan diperbolehkan jika pihak laki-laki sudah berumur 19 dan perempuan berumur 16 tahun, terjadi rencana perubahan pasal 7 tahun 1974 ayat (1) dengan usia minimal laki-laki dan perempuan pada 19 tahun, pada ayat (2) untuk melakukan pernikahan jika calon laki-laki maupun perempuan yang masih dibahawah usia 21 tahun harus meperoleh persetujuan orang tua sesuai dengan ketentuan Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) menyatakan bahwa usia penikahan apabila pihak laki-laki telah berusia 21 tahun dan wanita berusia 20 tahun. Jelas UU tersebut mengatur bahwa pernikahan sebaiknya dilakukan dalam usia yang matang dan dalam kondisi psikis yang sudah stabil. Kemudian, penelitian yang dilakukan oleh IPADI (Ikatan Peminat dan Ahli Demografi Indonesia) melalui lembaga kependudukan dan BKKBN tahun 2003 menunjukkan saat ini jumlah usia remaja (12-24 tahun) di Indonesia 42 juta (sekitar 20% dari penduduk Indonesia yang berjumlah 213 juta jiwa). Dari angka ini 35% sudah menikah, dan dari angka ini sekitar 52% perempuan telah menikah. Rata-rata usia perkawinan pertama di Indonesia adalah usia 19 tahun bagi penduduk yang sekarang berusia 20-24 tahun. Bagi penduduk usia 25-29 tahun menikah pada usia 15 tahun adalah 11%, menikah pada usia 18 tahun adalah 18% dan pada usia menikah 20 tahun sebesar 51%.
Selanjutnya penulis menyimpulkan beberapa faktor yang melatarbelakangi adanya pernikahan dini, di antaranya yaitu; pertama, faktor ekonomi, kebanyakan dari orangtua dari pelaku pernikahan muda berasal dari keluarga yang kurang mampu, sehingga orangtua menyerahkan anak putrinya kepada oranglain (calon suami) agar tidak terbebani lagi dengan kebutuhan-kebutuhan putrinya. Kedua, faktor pendidikan, yaitu kurangnya kesadaran bahwa pendidikan itu adalah hal yang penting dimana urgensinya cukup berpengaruh, baik dari pihak orangtua juga dari si anak (pelaku pernikahan dini). Ketiga, faktor pergaulan yang kurang terkontrol dengan baik. Menurut Abu Al-Ghifari (2004: 40) dinyatakan, bahwa hampir 80% remaja melakukan seks dengan pacarnya di luar nikah dalam jangka waktu kurang dari satu tahun. Sesuai dengan pernyataan di atas, maka akibatnya banyak remaja yang hamil di luar nikah sehingga untuk menutupi aib pelaku, maka sebagai alternatifnya adalah segera dinikahkan. Keempat, faktor konstruksi sosial-budaya, yakni kebanyakan orang tua berfikir bahwa anak perempuan kodratnya hanya berada pada tiga kata, yaitu dapur, kasur, sumur. Sehingga menikah dini maupun menikah nanti sama saja akan kembali pada kodrat itu. Dan yang kelima adalah faktor biologis, bahwa anak perempuan mempunyai batas kesuburan di usia tertentu, sehingga orangtua khawatir bahwa anaknya kelak melampui batas kesuburan tersebut yang menyebabkan kemandulan dan akhirnya ingin sesegara mungkin untuk dinikahkan.
Jadilah orangtua yang cerdas, terutama untuk ibu-ibu dan calon ibu dimasa mendatang. Begitu beratnya menjadi seorang perempuan, karena nantinya akan menjadi pendidik pertama (madrasatul ula) bagi anak-anaknya. Konstruksi pemikiran bahwa perempuan tidak perlu sekolah tinggi-tinggi harus dimusnahkan. Kembali menyikapi persoalan pernikahan dini, menurut penulis bukanlah solusi, masih banyak hal-hal yang lebih produktif yang dapat kita lakukan di usia remaja transisi dewasa kini. Mencari ilmu sedalam-dalamnya, berkarya dan berinovasi, meluaskan jaringan dan lain sebagainya. Berdasarkan pernyataan-pernyataan itu diharapkan agar menghindari pernikahan dini demi terciptanya stabilitas lingkungan, baik untuk diri sendiri dan keluarga maupun untuk bangsa dan negara. Pernikahan bukan perkara mudah, maka dari itu harus direncanakan sedemikian rupa dengan pola pikir yang dewasa. Kepada perempuan, balas budilah terlebih dahulu kepada orangtua yang telah merawat dan membesarkan hingga sampai detik ini sebelum kau menjadi hak suamimu, bahagiakan dulu orangtuamu sebelum kau membahagiakan calon suamimu.
Pernikahan dini atau muda memiliki dampak positif dan negatif. Dampak positifnya adalah supaya terhindar dari pergaulan bebas sehingga terjerumus dalam lembah perzinahan atau seks bebas, meringankan beban hidup salah satu pihak dari keluarga, belajar bertanggung jawab terhadap keluarga. Sedangkan dampak negatifnya adalah secara biologis berakibat resiko kehamilan organ reproduksi terhadap perempuan, dan psikologis berupa trauma psikis berkepanjangan dalam jiwa anak yang sulit disembuhkan, serta sosiologis yakni cara berpikir yang belum matang sehingga mengurangi harmonisasi dalam keluarga, dan dalam skala makro secara kependudukan akan mengalami kepadatan penduduk terhadap pasangan usia subur (PUS).
Saran yang dapat penulis berikan adalah: pertama, penegakkan semua hukum syar’iat (agama) dan hukum negara yang berkaitan dengan pernikahan secara sungguh-sungguh. Kedua, menumbuhkan semangat pendidikan bagi generasi muda, khususnya perempuan. Ketiga, kepada lembaga-lembaga kemasyarakatan agar menghimbau tentang dampak dan resiko bahaya yang ditimbulkan dari perkawinan usia muda dan sebisa mungkin menghilangkan budaya kawin muda. Keempat, bagi para orang tua alangkah lebih baiknya jika anak perempuannya diberi kesempatan untuk mengenyam pendidikan setingi-tingginya, sehingga dapat memperoleh ilmu pengetahuan dan pengalaman yang mampu membentuk kepribadian yang luhur. Dan kelima, bagi para pemuda sebaiknya sebelum memutuskan untuk menikah harus mempertimbangkan terlebih dahulu kematangan fisik, mental, finansial, dan segala hal yang dapat memenuhi kebutuhan dalam menjalankan kehidupan rumah tangga.
*Penulis adalah mahasiswi Sosiologi Agama UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan aktif di organisasi Pramuka dan Komunitas Kampoeng Hompimpa Yogyakarta.