Ada sebuah pilihan yang saya rasa penting untuk dilihat bagi siapa saja yang beragama, dan itu tak lain bagaimana kita melihat Tuhan dan bagaimana melihat sesama manusia. Di mana menempatkan Khalik (pencipta), di mana menempatkan makhluk (hasil ciptaan Tuhan). Manusia bagian dari makhluk,yang punya kelemahan, punya keterbatasan, dan berbagai macam kekurangan. Saya pribadi selama ini menempatkan diri di posisi membela sesama manusia saja.
Itu adalah kerangka pikiran yang kemudian menjadi prinsip bagi saya, mengalir dari tulisan, dan terkadang hanya dicurahkan lewat cuitan-cuitan pendek di Twitter. Sepekan lalu, salah satu cuitan itu meledak, dan sebuah label pun diberikan kepada saya, “Penista Ulama”. Hasilnya lumayan serius, saya diserang kiri kanan, diteror, lengkap dengan berbagai caci maki terutama di media sosial.
Semua caci maki itu bermunculan karena muncul sebuah anggapan bahwa jika seseorang melempar kritikan keras kepada ulama yang sedang sangat memesona mereka, itu adalah sebuah dosa yang tak kurang dari menghina agama, atau bahkan menghina Tuhan. Ada spirit “membela Tuhan” muncul di tengah lautan caci maki dan penghinaan itu, karena saya dipandang telah menghina seorang ulama.Berlebihankah jika saya sebut caci maki kepada saya sudah terasa layaknya air di lautan? Mungkin. Namun seperti itulah ibaratnya, karena caci maki sampai teror memang datang hampir tanpa henti.
Adakah ketakutan saya rasakan? Ada. Namun saya masih berpegang kepada sebuah prinsip, bahwa tak perlu menampik ketakutan hanya agar disebut berani, melainkan bagaimana dapat menguasai ketakutan itu. Jangan sampai ketakutan menguasai saya. Kenapa? Tak lain karena jika ketakutan telah menguasai, maka akan sangat sulit untuk dapat melihat dengan jernih dan bagaimana bersikap secara pantas.
Beberapa orang memang ada yang memuji bahwa saya berani mengkritik seseorang yang sedang sangat dielu-elukan massa. Namun lagi-lagi saya kerap mengatakan bahwa saya bukan pemberani, karena toh saya juga memiliki perasaan takut itu. Hanya saja saya memilih untuk menjadi penakut yang mampu menguasai ketakutan. Maka itu saya menemukan momen, untuk berbicara lebih jauh dan saya rasakan sangat penting di “tsunami” caci maki, hujatan, hingga teror.
Bahwa, siapa saja yang gagal menangkap esensi beragama, maka cenderung akan terkuasai oleh keinginan menghancurkan daripada membangun. Siapa saja dapat terjebak oleh waham bahwa Tuhan sedang tertawa gembira ketika mereka bahu-membahu, beribu-ribu orang, hanya untuk menghantam satu orang. Ah, ini agak berbau membela diri, ya? Namun begitulah adanya, karena lahir gerakan lewat media sosial yang dapat diibaratkan sebagai senapan serbu yang digunakan untuk menembak mati seekor kutu. Di situ, sayalah kutu itu, yang dianggap telah mengganggu dan membuat banyak orang dibuat gatal-gatal.Namun kutu itu sendiri tidak mati, hanya terlempar dari kenyamanan lembutnya rambut saja.
Terjatuh itu menyakitkan? Mungkin. Itu juga tak perlu ditampik. Apakah lantas saya menuduh Tuhan terlalu kejam kepada saya? Ya, tidak juga. Saya selama ini melihat-Nya ramah-ramah saja kepada saya. Soal bahwa saya dihantam dan tumbang dari sebuah pekerjaan, tapi toh tak lantas saya betul-betul tak bisa bekerja lagi? Sebab saya percaya saja, Tuhan itu tak pernah miskin dan takut kehabisan harta, sehingga ia tetap saja memberikan rezeki dengan pekerjaan yang boleh jadi berbeda dari sebelumnya.
Ini menjadi persoalan jika saya sendiri lupa apa yang menjadi motif saya, dan apa alasan saya melemparkan sebuah kritik berisiko terhadap selebritas baru berbau reliji. Bahwa kritikan itu saya lemparkan dengan menerima semua risiko, hanya karena berharap agar sebuah ancaman sangat berbahaya yang berpotensi menjadi tragedi, menjadi perhatian jauh lebih banyak orang.
Apakah itu? Soal sentimen yang menjurus pada diskriminasi pada ras tertentu. Sentimen itu masih terus dimainkan oleh sekelompok orang yang sangat terorganisasi, dan saya simak tidak mendapatkan antisipasi memadai dari pihak terkait di pemerintahan. Membaca terbangunnya propaganda yang berkaitan dengan sentimen itu, kemudian muncul sebuah pemberitaan hampir tanpa henti soal pemuka agama yang ditolak sebuah negara yang identik dengan etnis tersebut, membuat insting saya menyalakan alarm. Ini sangat bahaya jika dibiarkan, sebab akan membuat sentimen itu semakin menggurita, dan dapat saja menjadi bahaya sangat besar kepada etnis tersebut.
Itulah kemudian kenapa saya melemparkan kritikan yang dinilai sebagai penghinaan atas tokoh tersebut. Sebab saya sangat menyadari bahwa ada kekuatan yang sebenarnya sangat benci dengan kritik-kritik saya lewat artikel atau media sosial seputar pluralisme. Mereka punya mesin yang membuat sebuah serangan di media sosial menjadi sangat menakutkan bagi sebagian orang. “Mesin” inilah yang bahu-membahu melakukan provokasi, hasutan, ajakan, untuk menyerang saya lewat narasi; adanya seorang penista ulama.
Syukurlah mereka merasa menang karena menghantam saya. Namun Tuhan juga adil, sebab Dia juga memberikan kemenangan itu kepada saya. Apakah kemenangan itu? Bahwa saya dapat memperlihatkan dengan lebih jelas bagaimana jika tak ada sebuah upaya dari pihak terkait yang punya kekuasaan, untuk menangkal dengan serius berbagai propaganda politik keji yang berpotensi membahayakan etnis tertentu, maka yang kelak menjadi korban bukan sekadar “seekor kutu”. Melainkan, mereka dapat menghantam apa saja, tak sekadar di dunia maya bernama media sosial, tapi juga bisa terjadi di dunia nyata.
Bukan “si Kutu” itu lagi yang dapat menjadi korban, melainkan juga setiap kelompok yang mereka anggap berada di luar mereka dan diimani sebagai pihak yang seharusnya dihabisi. Saya berharap kekejian itulah yang jangan sampai terjadi karena jika kebencian itu makin menggurita, cerita yang terjadi bukan sekadar ada “kutu terlempar dari rambut di kepala”, tapi bisa saja berisiko hingga pembantaian manusia sebenarnya. Apakah ini hanya halusinasi? Anda bisa membuka lagi sejarah seputar pembantaian manusia dan apa saja yang kerap melatarinya. Ini tak kalah penting diperhatikan daripada membela selebritas.
Oya, soal “halusinasi” ini membuat saya akhirnya mendapatkan label sebagai penista ulama bagaimana? Label itu hanya datang dari sesama manusia, bukan dari Tuhan. Toh, mereka juga tidak tahu, bahwa sekarang Tuhan pun tersenyum seraya bercanda dengan saya, “Rasain lu!”
*Penulis Adalah Pekerja Kemanusiaan
Menyukai ini:
Suka Memuat...