Dunia dikepung milenial. Kini tak hanya ekonomi, sosial, politik, bisnis, dan budaya, bahkan ruang paling privat individu bernama rumah tanggapun tak ketinggalan dari invasi milenial. Merujuk pada kategorisasinya, rumah tangga milenial melibatkan (salah satu atau keduanya) mereka yang lahir dalam rentan tahun 1980-1999, atau pada kisaran usia 18 hingga 35 tahun. Rumah tangga ini secara kaffah mempraktekkan kemajuan tekhnologi dan sosial media dalam kehidupan sehari-hari, persis seperti karakteristik milenial pada umumnya.
Tak hanya piawai menangkap informasi dan memanfaatkan teknologi untuk keperluan rumah tangga-belanja bulanan online via aplikasi dan pengamanan rumah via cctv yang bisa dipantau via mobile, misalnya-rumah tangga ini juga cukup terbuka dalam mengekspresikan kehidupan privat mereka di depan publik.
Beberapa bahkan sengaja mengkomersilkan kemesraan bersama pasangan lewat sosial media dan mendapatkan kesempatan untuk menjadi endroser bagi kebutuhan pemasaran sebuah produk, dan kemudian mendapat predikat #marriedgoals oleh ribuan pengikutnya. Hashtag atau tagar tersebut menembus sekat-sekat domestic, pasar, privat dan publik. Setiap individu bisa bertindak bebas keluar masuk menukar perannya sebagai individu, kelompok atau korporasi dengan berbekal sebuah hashtag.
Setelah dream wedding, tahapan selanjutnya adalah proses kehamilan dan perenting. Sama seperti sebelumnya, beberapa pasangan milenial yang bersepakat go public akan aktif membagi tiap fase kehamilan mulai dari minggu pertama hingga minggu-minggu jelang kelahiran. Dalam hal ini, tak hanya si calon ibu dan calon bayi saja yang selalu dipamerkan, namun sang calon ayah juga memiliki peran yang tak kalah pentingnya untuk dimunculkan guna membentuk image suami ideal. Proses seperti ini akan berlangsung sama hingga kelahiran si anak, mulai dari anak pertama dan berikutnya.
Sekilas, kehidupan ideal yang ditampilkan pasangan milenial di sosial media ini memang sangat menjanjikan dan menginspirasi. Berbagai tips yang dibagi memberi pengetahuan dan semangat yang positif bagi pasangan milenial lainnya untuk meniru. Misalnya seperti kampanye pemberian ASI eksklusif, bubur rumahan, makanan sehat kepada bayi, juga peran serta ayah dalam lingkup domestik yang kerap diasosiasikan hanya untuk kaum perempuan saja. Tentu ini hal yang baik. Namun akankah berhenti sampai disini? Tentu tidak.
Sejenak mari menengok penyanyi Andien yang mendedikasikan sebagian fase kehidupannya kepada publik, mulai dari healthy lifestyle, pernikahan hingga kegiatan parentingnya. Andien adalah seorang selebriti yang terbiasa dengan spotlight, dimana ia dituntut tampil ideal atas nama pekerjaan. Namun seperti yang kita tahu bahwa media sosial ibarat pedang dengan dua mata pisau yang bisa memberi kita ribuan positivisme, tapi pada saat yang sama adalah juga hutan belantara dimana cyber crime dan bullying tumbuh subur.
Menurut Dehue, 2013; Langos, 2012; Vandebosch & Van Cleemput, 2008: “Cyberbullying diidentifikasi sebagai kebiasaan yang berulang, berupa serangan yang menyakitkan dengan tujuan melukai orang lain dengan menciptakan kekuatan yang tidak seimbang (seperti yang dikutip Triantoro Davaria dalam: Prevalence and Impact of Cyberbullying in a Sample of Indonesian Junior High School Students). Bullying memberi dampak yang dalam dan berkepanjangan, bahkan mengganggu kesehatan mental korbannya. Meski banyak selebriti yang tidak terima dengan komentar-komentar keji warganet, namun mereka yang terbiasa dengan spotlight telah terlatih dengan berbagai macam komentar pedas dan memiliki kesadaran bahwa hal itu adalah resiko pekerjaan.
Baca Juga: Mendamba Politik Milenial
Pertanyaannya kemudian: apakah pasangan milenial lain yang bukan kalang publik figur, yang mencoba peruntungan di sosial media dengan detail membagi seluk beluk kehidupan pribadinya bisa tahan dengan cyber bullying? Lebih buruk lagi, apakah sebagai orang tua kita bisa tinggal diam jika yang diserang adalah bayi kita sendiri? Setidaknya itulah yang dialami Rachel Vennya dan suaminya (pasangan milenial biasa yang menjelma menjadi seleb media sosial dengan perjalanan hidup sesuai penjabaran di atas) yang sedih dan mengamuk ketika bayinya dibully ramai-ramai oleh warganet.
Melihat kian banyaknya subjek yang tak memberi sekat antara ranah privat dan ranah publik kehidupannya, maka beragam pula permasalahan sosial yang muncul. Tak ada yang salah dengan ‘go public’ karena tiap pasangan memiliki kesepakatan dan keputusan masing-masing, namun yang saya cermati adalah pola relasi seperti ini kerap berbanding lurus dengan cara pasangan milenial menghadapi konflik internal yang cenderung over exposed.
Viralnya video Bu Dendy adalah contoh bagaimana permasalahan internal rumah tangga ditelanjangkan pada publik secara habis-habisan. Fenomena ini sekaligus mengafirmasi bahwa mereka yang memiliki kecenderungan menjadi korban bullying, juga bisa menjelma menjadi pelaku yang tak kalah kejinya. Adalah Bu Dendy dan videonya yang baru-baru ini menjadi trending topik dunia di berbagai platform sosial media. Dalam video tersebut ia dengan sengaja mempermalukan sahabatnya yang diduga berselingkuh dengan suaminya.
Melihat laman facebook Ovie atau Bu Dendy, perempuan muda yang berprofesi sebagai pengusaha minuman cokelat di daerah Tulung Agung Jawa Timur ini rajin mengunggah kehidupannya di sosial media. Pola ini sebenarnya menjadikannya rentan menjadi korban bullying warganet dengan berbagai macam alasan. Namun demikian, terlepas dari kasus yang menimpanya, ia justru menjadi pelaku persekusi dengan cara mempermalukan orang lain secara live di facebook.
Baca Juga: Menjadi Milenial, Salahkan?
Tentu tak relevan jika mengaitkan kedewasaan dengan umur seseorang, pun kematangan usia perkawinan dengan cara mereka menghadapi persoalan. Namun cepat dan derasnya arus informasi di sosial media pada zaman milenial ini turut mempengaruhi kondisi psikologi pasangan. Hal inilah yang menjadi faktor utama mengapa marak persoalan internal rumah tangga menjadi konsumsi publik. Entah untuk mendulang simpati warganet dan berebut dukungan, atau sebagai bagian dari ekpresi dan pelampiasan emosi semata.
Berbeda dengan konten jurnalistik yang memiliki kode etik serta etika yang menjadikannya kontrol, mayoritas konten yang tersebar di sosial media adalah opini pribadi yang tak memiliki nilai universal. Maka dari itu, kontrol pada tiap pesan yang tersebar dan berserakan di sosial media ada pada setiap individu itu sendiri. Setiap dari kita harus membekali diri dengan pengetahuan dan kedewasaan yang mumpuni dalam berinteraksi di dunia maya. Tak hanya itu, negara dan penyedia platform sosial media dituntut untuk menyempurnakan fitur penyaringan guna menciptakan perlindungan. Tentu saja perlindungan yang tidak mengurangi sedikitpun makna kebebasan berekspresi juga tanpa mereduksi makna kemesraan antar pribadi. Karena kemesraan bukan sekedar tagar.
Video Journalistic and Communication Enthusiast. Former News Presenter, part time freelancer and full time Millennial Mom.
Menyukai ini:
Suka Memuat...