Menarik jika memperhatikan geliat organisasi mahasiswa Islam terbesar di Indonesia ini. Baru-baru ini, Pengurus Besar Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia melalui akun @pbpmii_official di Instagram meneken pakta integritas bagi seluruh pengurusnya, yang poin utamanya ialah tidak akan berpolitik praktis dengan mencalonkan diri dalam agenda politik apapun. Pakta integritas tersebut saya pahami sebagai bentuk afirmasi bahwa PMII berkomitmen pada fungsinya sebagai power control terhadap negara.
Sejak kelahirannya dari rahim Nahdlatul Ulama, telah banyak aksi PMII dalam berhadapan dengan kekuasaan negara. Terkadang romantis beriringan, kadang pula kritis bersebrangan. Bermula dari kepemimpinan Mahbub Djunaidi sebagai pendiri dan ketua umum pertama sekaligus terlama dalam sejarahnya, ia memainkan peran “cantik” dihadapan Soekarno.
Mahbub sendiri seorang pengagum Soekarno. Dan peran “cantik” yang ia mainkan serta kecerdasannya sebagai Pendekar Pena membikin juga Sang Pemimpin Besar Revolusi itu kesengsem kepada Mahbub. Ia bahkan pernah mengatakan, “kalau kamu pemuda, jadilah seperti Mahbub!”. Namun, di akhir kekuasaannya, orde lama ditumbangkan juga oleh kader PMII pada masa kepemimpinan sahabat Zamroni bersama Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) yang ia dirikan.
Sedikit amtsal dari masa lalu itu, PMII secara organisasi tidak memiliki “pandangan penuh nafsu” terhadap kekuasaan. Meski tidak berarti bahwa kader PMII akan menolak jika ia ditawari suatu jabatan politik dalam pemerintahan. Di era Jokowi-JK saat ini saja, tidak kurang dari lima menteri Kabinet Kerja berasal dari PMII. Tanpa perlu disebutkan satu persatu.
Sebagai kelompok yang lahir dalam lingkungan kampus, PMII mendasarkan argumentasi aksinya dengan perangkat-perangkat keilmuan yang populer di dunia civitas akademika. Dengan tanpa menghilangkan latar ideologis lahirnya dari NU, PMII mengadaptasi pemikirannya dari tradisionalisme Islam khas pesantren.
Suatu fase saat PMII mengkonsepsikan gerakannya berdasar argumentasi “kiri” pernah terjadi. Terutama saat republik ini dibawah kekuasaan Orde Baru. Dekonstruksi dan rekonstruksi pemahaman ajaran agama, aswaja sebagai manhaj al-fikr, ide pribumisasi Islam, pluralisme, hingga konsep antropomorphisme-transendental adalah beberapa item yang akrab dalam kawah intelektualisme di lingkungan PMII.
Nama-nama seperti Mahbub Djunaidi, Muhammad AS Hikam, Masdar F. Mas’udi, Fajrul Falakh, Mun’im DZ, Ahmad Baso, Imam Aziz, hingga lingkaran-lingkaran pemicu progresifitas intelektual semacam LKiS, Elsad, Kajian 164 dan lainnya, adalah segilintir dari banyak nama pemikir baru Indonesia yang lahir dan dibesarkan oleh kultur aswaja yang kawin dengan narasi keilmuan di kampus.
Menilik dari gerakannya, aksi-aksi yang dilakukan PMII di seluruh sektor kemasyarakatan bertumpu-tujuan pada upaya-upaya humanisasi. Dalam bahasa Jawa yang gampang, “nge-wongke”. Inilah fungsi dan bentuk ideal-nya PMII ditengah-tengah masyarakat dan dalam berhadapan dengan kekuasaan. Pembelaannya pada kelompok yang termajinal, terdiskriminasi, dan perlawanannya terhadap kesewenangan dan ketimpangan yang diakibatkan kekuasaan. Meminjam istilah Gramsci “intelektual organik”, PMII selalu mencoba mewujudkan dirinya sebagai eksponen bangsa yang berkecimpung dalam intelektualisme dan aktifisme. Tolok ukurnya ialah kapasitas pengetahuan dan komitmennya berpihak pada humanisme.
Memang kita tidak dapat menutup mata bahwa sebagian kader PMII tentunya secara praktis ada yang berkecimpung di dunia politik. Baik itu sebagai kandidat, hingga yang turun ke medan kampanye sebagai tim sukses. Baik itu yang sudah nyemplung disana, maupun yang baru ancang-ancang. Yang demikian itu bukan berarti tak ideal sebagai kader PMII, hanya kembali ukurannya kepada kapasitas intelektual dan keberpihakan pada nilai-nilai humanisme. Kapasitas ini melampaui ungkapan-ungkapan dan ekspresi jargonik semata. Ia haruslah mewujud menjadi prestasi yang mampu dirasakan oleh masyarakat umum.
Sebagai gagasan akhir, saya ingin mengungkapkan bahwa mana saja kader PMII yang memandang realitas sosial tanpa semangat intelektualisme dan aktifisme, ia menjadi kader PMII yang buta arah. Jika demikian, jangankan tepat memilih arah saat dipersimpangan jalan, pada jalan yang lurus sekalipun ia akan mengalami kemandegan.
Atas sikap afirmasi yang dilakukan PB PMII saat ini, patut kita apresiasi. Sambil selalu “sawang-sinawang” dengan maksud menjaga dari pada sahabat-sahabat yang dapat saja buta arah. Terlebih dalam cuaca panas ditahun-tahun politik mendatang.
Dan seperti ritus-ritus formal yang biasa kita lakukan. Marilah kita berdoa seperti kita memohon dalam sholat: Ihdina ash-shirath al-mustaqiem.
Oleh: Mauzun Visioner (Pegiat Literasi) PEMILIHAN Gubernur Jawa Timur sedang mencuri perhatian publik. Pasalnya, Pilgub kali ini menampilkan tiga figur
FIGUR kyai masih menarik untuk dilibatkan atau terlibat pada kontestasi pilkada 2024. Pernyataan tersebut setidaknya sesuai dengan kondisi proses pilkada
PERNYATAAN Sekretaris Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi, Prof. Tjitjik Sri Tjahjandarie tentang “pendidikan tinggi adalah tertiary education, bukan
Penulis: Gloria Rigel Bunga (Mahasiswa Universitas Kristen Indonesia) KITA pasti suka bertanya-tanya, untuk apa ya sebuah perusahaan atau organisasi sering