Kepada Nihalda Yang Tak Pernah Alpa
Apa kabar Nihalda…
Sudahkah engkau mentakrir rupa hari-hari puisi kita
Canda tawa yang kemarin sempat kubungkus dalam kantong WA
Semoga saja Tuhan membacakannya
Sampai mereka melihat kita, dalam satu sajadah
Kini, aku rasa sesuap kata tak pernah kunikmati lagi
Dari senyum narasi, yang biasa dan setia kau hidangkan di meja pagi
Bersama cericit para burung
Memanggil gigil namamu dalam dada palung yang telah patung
Nihalda…
Asal kau tahu? Aku adalah satu-satunya penyair yang galau
Dalam dingin hatimu yang surau
Dan Tuhan pun dengan suka rela
Mengutukku menjadi seekor Impeesa
Agar malam punya teman canda
Mengikis cahaya dari tubuh lilin tak berdosa
Ini semua hanya demi namamu yang kuimankan
Pagi-siang-petang kusimpan dalam dompet saku malam
Atau bahkan kugadaikan pada ruang remang
Agar segala yang menerang terang
Memelukmu dalam tenang angan
Nihalda…
Esok, mari kita berjumpa dan bersulam kembali di Baitul Kalam
Rumah di mana puisi kita bersembahyang
Annuqayah Mata Pena, 2021
Doa Sangkawi
Ya Tuhan…
Lindungilah hambamu ini dari godaan dan kutukan
Janda atau perawan
Dengan menyeruput hangat asma kasihnya
Yang maha puisi lagi maha penerang
Segala perih bagi yang tawa
Segala parah bagi yang mudah
Semoga saja,
Hamba jauh
Dari kerumunan celaan
Yang menyengat bau
Pada setiap penciuman
Ya Tuhan…
Aku ingin ia
Memeluk aroma asmara
Yang sedang bersulam malam
Lalu mengetuk pintu atau jendela rumah
Hingga masuklah ia
Menjeput hamba
Dalam rongga doa
Annuqayah Mata Pena, 2021
Di Wajah Layar Kaca
Di wajah layar kaca
Aku menemukan seorang perempuan
Berselendang kata memuja-muji Tuhan
Dan mengecup kening tuan-tuan
Dengan emoji bibir yang masih perawan
Di wajah layar kaca
Raut wajah bahasa tak lagi utuh sempurna
Dari huruf per huruf hingga kata per kata
Tak lagi berpadu indah dalam satu wadah
Seolah-olah membabat cita rasa tatanan bahasa
Di wajah layar kaca
Aku disuguhkan hidangan siang dan malam
Olahan tanpa garam tanpa pemanis buatan
Rasa lapar terasa terbayar kenikmatan
Sampai-sampai waktu pun ikut tertelan
Di wajah layar kaca
Seorang perempuan yang tak pernah alpa
Melempar senyum ke ruang palung dada
Dan sesekali ia menitip pesan
Tentang hujan yang akan datang tiba-tiba
Sebagai tanda, bahwa relung hatinya telah singgah
Di wajah layar kaca
Aku pun bersaksi
Selain aku, tiada lagi penyair
Yang berani menafsir atau mentaksir
Segala bentuk molek surga
Di lekuk elok tubuhnya
Annuqayah Mata Pena, 2021
Detak Detik Jantung Waktu
Pada detak detik jantung waktuku
Paras wajahmu berlayar di pulau kalbu
Menjala rindu terlihat masih putih abu-abu
Meraba luka dengan kata yang tak pernah lusuh
Pada detak detik jantung waktuku
Dunia menjadi akun IG, FB dan WA Tuhanmu
Panorama indah di mana kita sesekali berseru aduh
Dan juga ada wajah-wajah dari yang gundah hingga yang gaduh
Pada detak detik jantung waktuku
Kau pelihara aku sebagai penyair lugu
Penyair yang tak pernah alpa mengabsenmu
Karena aku takut kau izin atau sakit dari ilmu penaku
Pada detak detik jantung waktuku
Maka aku sengaja membungkus segala yang surga di tubuhmu
Sebagai oleh-oleh dari Tuhan untuk Ayah dan Ibu
Agar mereka tahu bahwa kau juga bagian detak detik dari jantung waktuku
Annuqayah Mata Pena, 2021
Seberkas Kata
Jika memang senyum yang kau tanam di setiap tembok ruang Tuhan
Maka dengan hal itu, jangan sampai kau buat aku baper tujuh turunan
Jika segala yang indah mekar bunga, masih perawan dari noda kata
Maka engkau satu-satunya bunga yang jandah sudah di mata pena
Jika puisi ini memang benar-benar anak yang lahir dari rahim cinta atau sedih
Maka sepantasnya kau adalah kehidupan dan kematian dari puisi itu sendiri
Annuqayah Mata Pena, 2021
MH. Dzulkarnain nama pena dari Noer Moch. Yoga Zulkarnain. Pemuda kelahiran Sumenep, Santri PP. Annuqayah Daerah Lubangsa, Siswa kelas akhir MA 1 Annuqayah. Salah satu Masyarakat ‘Majelis Sastra Mata Pena’ (MSMP). Buku Antologi puisi bersamanya yang baru terbit: Antologi Puisi DNP 11 KHATuLISTIWA (KKK Jakarta, 2021).