UMUMNYA pondok pesantren yang ada madrasah atau sekolahnya itu biasanya hari Senin melaksanakan upaca bendera. Dalam upacara apel bendera tersebut yang paling berkesan adalah pengibaran bendera merah putih, pembacaan teks UUD 45, dan pembacaan teks Pancasila oleh pembina upacara atau inspektur upacara. Ini sudah jadi tradisi khas setiap hari Senin adanya upacara apel bendera sejak zaman Orde Baru hingga sekarang.
Begitupun, di sekolah-sekolah umum baik negeri maupun sekolah swasta. Tradisi yang diharapkan untuk terus menumbuhkan jiwa patriot dan jiwa nasionalis bagi kalangan pelajar.
Ternyata, apel bendera di hari Senin itu kita dapati hikmahnya luar biasa. Ada rasa bangga akan keindonesiaan kita. Semakin tumbuh cintanya atas negeri sendiri, dan bangga atas dasar serta lambang negara yang dimiliki.
Saat apel tersebut yang paling disorot adalah membaca ulang Pancasila setelah dibacakan oleh pembina upacara, ada kebersamaan, ada pula rasa kecintaan atas Pancasila. Pancasila dari dulu hingga kini kita sebut sebagai dasar negara, sebagai ideologi negara, sekaligus sebagai philosopische gronslag (dasar falsafah) bangsa kita.
Dalam kaitan upacara apel bendera, sebagai santri tak jarang ada yang nyeleneh, nakal dan jail. Terkadang sang santri yang ditugasi untuk bawa map yang isinya teks Pancasila ketika disodorkan ke pembina upacara itu terbalik, hingga tanpa diperhatikan oleh pembina map terbalik dibaca sambil menahan jengkel, sebab pastinya pembina sudah hafal Pancasila. Jengkel atas jail dan nakalnya santri. Mungkin ketidaksengajaan, dan itu spontanitas. Bisa jadi memang santri kadang ingin “ngerjain” pembina, meski pembina itu adalah ustadznya atau kiai pengasuhnya.
Membedah ingatan, saat masih belajar di bangku sekolah atau madrasah bahwa Pancasila dipahami secara sederhana, yakni Pancasila adalah dasar negara. Guru yang mengajarkan PMP (era 1980-an dan awal dekade 1990-an) atau PPKn (era 1990-an ke atas) terkait Pancasila itu jelas dan rinci. Mulai dari bahasan sejarah, sila-sila, butir dari Pancasila, hingga penerapannya di kehidupan seharinya sebagai warga negara. Dalam hal ini guru tidak pernah mempermasalahkan antara mana Pancasila sebagai dasar negara dengan Islam sebagai keyakinan agama. Keduanya terdapat konsep dikhotomis, namun keduanya pula ada unity (kesatuan) dalam pola hidup berbangsa dan bernegara.
Para kiai terutama di NU, sejak khittoh NU tahun 1984 di Situbondo jelas menerima Pancasila sebagai asas tunggal, tidak sebagai asas agama. Namun, asas tunggal dalam kehidupan berbangsa dan bernegara karena perkembanganya kemudian Pancasila sudah diposisikan sebagai staats fundamental norm (dasar normatif bagi hukum positif) hingga Pancasila relasinya dengan negara, merupakan dasar dari staatsregeling (hukum tata negara). Sementara ajaran agama menjadi sistem nilai tersendiri yang dianut oleh masing-masing umatnya. Baik pelaksanaanya secara inklusif maupun eksklusif.
Pancasila dalam perspektif Islam, dalam setiap silanya terdapat kesesuaian dengan beberapa nash Al-Qur’an, antara lain sila pertama ketuhanan yang Maha Esa ini sama dengan kandungan ayat 1 dari surat al-Ikhlas. Sila kedua Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab ini sangat diprinsipi oleh ayat 135 surat an-Nisa. Sila ketiga persatuan Indonesia juga telah diprinsipi oleh ayat 13 surat al-Hujurat. Sila keempat Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan itupun diprinsipi oleh ayat 38 surat Assyuro. Sedangkan sila kelima ternyata diprinsipi oleh ayat 50 surat al-Nahl.
Itu, bukan klaim sepihak bahwa seolah hanya satu-satunya Islam yang memprinsipi lima sila tersebut, jawabnya tidak. Pada agama yang non Islam pun bisa jadi terdapat dan telah memprinsipi Pancasila. Sebab Bung Karno, dalam proses menggali Pancasila ini hidup di Ende Flores Nusa Tenggara Timur sebagai tahanan politik pemerintah kolonial Hindia Belanda, yang secara mayoritas masyarakat Flores adalah Katolik atau Kristen. Dalam pergumulannya dengan para Pastur Jesuit kala itu, Bung Karno banyak belajar memahami cara pandang seorang agamawan Katolik dalam soal-soal kemasyarakatan, baik tradisi, budaya, bahasa dan adat istiadatnya.
Menjelang sidang BPUPKI tanggal 1 Juni 1945 di gedung Volksraad bilangan lapangan Banteng Jakarta Raya. Bung Karno mengutus seorang utusan untuk meminta restu kepada Hadrotusyaikh KH. Hasyim Asy’ari di pesantren Tebuireng Jombang Jawa Timur (Rois Akbar PBNU) terkait Pancasila yang akan dijadikan dasar bernegara dan berbangsa. Maka selama 3 hari dengan proses seperti puasa, menghatamkan 1 hari 30 juz Al-Qur’an, medzikirkan surat Thoha ayat 17-21 sebanyak 444 kali, serta mendzikirkan Ya Jabbar Ya Qohhar sebanyak 4444 kali dengan istikhoroh yang rutin, hingga kemudian utusan Bung Karno tersebut, diberi restu dan izinnya oleh Hadrotusyaikh KH. Hasyim Asy’ari bahwa Pancasila baik dan tepat sebagai dasar negara Republik Indonesia.
Senang dan yakinlah Bung Karno ketika didapati konsep menegara-nya ini direstui sang Rois Akbar NU. Hal itu disampaikanlah dengan sujud syukur yang dilakukan oleh Bung Karno setelah menerima restu tersebut. Pada hari yang ditentukan tanggal 1 Juni 1945 sidang BPUPKI membahas tentang dasar negara sekaligus bentuk negara. Saat mendapat giliran yang kelima dari sambutan di hadapan sidang, Bung Karno mengenalkan Pancasila sebagai dasar negara, sebagai falsafah bangsa juga sebagai ideologi bangsa.
Ini adalah fakta sejarah, bahwa 1 Juni 1945 untuk pertama kalinya dikenalkan ke sidang BPUPKI dan disepakati bersama seluruh pendiri negara (founding father) bahwa dasar negara adalah Pancasila.
Sementara, santri seperti halnya saya sedikit pun tidak ada keraguan bahwa Pancasila sudah benar dijadikan sebagai dasar dan ideologi negara. Jikapun ada klompok anak bangsa ini meragukan atau cenderung menolak Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara, itu artinya mereka melupakan sejarah. Sungguh di dalam proses menjadikan Pancasila sebagai dasar itulah ada banyak peran ulama yang tentunya sudah sangat paham tentang kekitaan, tentang kebangsaan, tentang multikultural, tentang heterogenitas bangsa-bangsa Nusantara ini. Menetapkan Pancasila sebagai ideologi negara adalah ijtihad politik. Bahkan di dalam proses tersebut ada rahmat Allah yang maha kuasa.
Wakil Ketua PW Ansor Banten
Menyukai ini:
Suka Memuat...