Laporan M. Ghufran
Jumat, 13 Oktober 2017 - 22:10 WIB
Sumber : inspiratorfreak.com
Kejahatan yang terorganisir akan mengalahkan kebaikan yang tak terorganisir. Begitulah kata seorang Khulafa al-Rasyidin Sayyidina Ali yang bisa kita kenang saat ini dalam prihal Organisasi yang sangat penting bagi kita. Dengan adanya suatu organisasi kita dapat mencapai suatu tujuan bersama untuk cita-cita agung yang diimpikan bersama, utamanya dalam urusan yang sekiranya begitu rumit begi kita. Pada umumnya Organisasi lahir berupa kelompok-kelompok kecil yang didirikan oleh masyarakat karena ada beberapa fenomena yang melatarbelakanginya (baca. Sosiolgi kelas I).
Organisasi yang didirikan itu diharapkan dapat mencapai tujuan tertentu sesuai dengan keinginan dan cita-cita fanding fathernya terdahulu. Dari ini dapat didefinisikan bahwa organisasi adalah kesatuan (entity) yang dikordinasikan secara sadar dengan sebuah batasan yang relatif dapat diidentifikasi oleh sekelompok orang. Toh walaupun rasa ketertarikan ini—orang-orang tersebut—tentunya bukan merupakan keanggotaan paten dalam organisasi tersebut. Sebab suatu Organisasi pasti mengalami perubahan yang konstan di dalam keanggotaanya. Meskipun pada saat mereka menjadi anggota di dalam organisasi tersebut berpartisipasi secara relatif dan teratur. Lebih dari itu Astrit Susanto (1979: 59) menegaskan bahwa pembentukan organisasi oleh masyarakat biasanya didasari oleh tiga hal yaitu, pertama, keyakinan akan adanya pengelompokan berdasarkan kesamaan tujuan. Dua, harapan yang dihayati bersama oleh anggota kelompok. tiga,Ideologi yang mengikat semua anggota.
Sejatinya keberhasilan suatu Organisasi tidak akan pernah terlepas dari pengaruh kader yang mempunyai jiwa militansi, jiwa heroisme, semoga pengabdian yang membaja dan semangat perjuangan pada organisasi yang dikutinya, semangat yang menggebu-gebu pada organisasi tersebut. Hal ini tentu perlu ditanamkan terhadap kader suatu organisasi sejak dini, guna menumbuhkan identitas organisasi yang sejati, keberhasilan dalam memecahkan suatu masalah yang rumit. Namun melihat realita yang terjadi pada saat ini organisasi telah kehilangan identitasnya. Sebab para pembesar Organisasi lebih-lebih kader sudah tidak lagi mempunyai jiwa militansi yang tinggi. Melihat situasi organisasi yang demikian sungguh sangat memperihatinkan. Hal ini yang Astrid maksudkan dengan ungkapan “militansi kaderlah yang menentukan berhasil tidaknya suatu organisasi”.
Minimnya Kesadaran
Pembaitan yang tak ter-eksplor menjadikan kader lupa bahwa mereka berjanji akan menjadi seorang kader yang mempunyai sifat dedikasi tanpa pamrih. Pembaitan merupakan suatu hal yang sangat penting, betapa kader telah berjanji setia dengan menyebut lafalz Tuhan untuk senantiasa dan selalu peduli pada organisasi tersebut. Kader organisasi harus mengamalkan isi pembaitan tersebut agar suatu organisasi betul-betul mencapai cita-citanya. Pembaitan yang tak ter-eksplor dengan dilandasi sikap hedonisme dalam diri kader memang menjadikan suatu organisasi yang seakan tidak berbanding lurus dengan tujuan dan harapan.
Di era metropolitan saat ini organisasi dalam perkembangannya mengalami perombakan yang cukup besar. Hal ini dilatarbelakangi minimnya kesadaran kader yang berkecimpung di dalam organisasi. Melihat realita yang sudah berkacamuk ini, tak lain disebabkan kurangnya kesadaran kader untuk ikut sebuah organisasi, kesadaran mereka telah menjadi sebuah tanda tanya besar. Apakah mereka yang ikut organisasi hanya terpaksa atau malah hanya ikut-ikutan saja ketika melihat teman sebayanya masuk dalam sutu organisasi? Kader saat ini lebih mementingkan hal-hal yang bersifat praktis. Hal ini dipengaruhi oleh mind side mereka untuk tidak mempunyai semangat miitansi berorganisasi yang tinggi, bahkan yang ada ungkapan “apa yang saya dapatkan dari organisasi?”. Sikap hedon ini jangan sampai tertanam dalam diri seorang kader karena pengaruh besar suatu organisasi untuk mencapai titik hadirnya pada mereka yang mepunyai rasa hormat dan ta’dzim yang tinggi pada organisasi, sehingga tak ada alasan untuk meninggalkan organisasi tersebut dalam situasi dan kondisi bagaimana pun juga. Tentunya kader harus sadar bahwa mengikuti suatu organisasi banyak manfaat yang akan kita dapatkan walau manfaat tersebut tidak nampak di depan mata kepala saat ini ibarat menanam sebuah pohon yang buahnya akan dinikmati beberapa tahu kemudian setelah kita menjaga dan merawat pohon tersebut. Namun akhir-akhir ini semangat seorang kader sangat minim dikarenakan mereka terlalu sibuk dengan sikap hura-hura belaka. Hal ini yang perlu dibuang jauh-jauh dalam sebuah organisasi agar organisasi menemukan makna sejatinya.
Organisasi telah menyediakan begitu banyak nuansa surgawi bagi kita yang patut kita apresiasi, sebut saja organisasi yang menampung potensi-potensi yang ada dalam diri kader. Kemudian potensi –potensi ini dikembangkan di dalam organisasi tersebut. Hal ini dapat kita temukan ketika sudah berada di tengah-tengah publik. Dengan adanya suatu organisasi kita dapat menghadapi suatu berubahan budaya akibat ketidaksiapan menghadapi suatu perubahan (culture shock) secara pribadi. Menurut Kurt Lewin untuk menciptakan suatu perubahan yang berdampak positif perlu adanya jangka waktu lama dan proses (Baca, Pembinaan organisasi Toha Miftah).
Dedikasi Tanpa Pamrih
Dedikasi tanpa pamrih merupakan suatu pengorbanan terhadap suatu organisasi. Pengabdian yang tulus terhadap suatu organisasi dan tanpa mengharap apa yang bisa dipetik dalam suatu organisasi serta meluangkan waktunya demi kepentingan organisasi dan tidak mementingkan pribadinya adalah satu-satunya cara berorganisasi yang dibenarkan oleh kultur organisatoris. Mengorbankan segala hal dalam organisasi baik itu berupa pemikiran atau pun materi. Sikap yang demikian ini yang pertama kali harus ditanamkan dalam jiwa kader orgaisassi (organisatoris).
Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) yang merupakan sekumpulan orang dalam mengentaskan rakyat Indonesia dari penjajahan Belanda terbentuk dari adanya semangat dan dediksi para pahlawan untuk membebaskan Indonesia dari penindasan Belanda. Hal ini tidak terlepas dari semangat para pahlawan yang mumpuni jiwa militansi. Pada saat itu pahlawan di Indonesia mempunyai sikap dedikasi yang tinggi terhadap Indonesia (red. Kontowi Joyo). Agar bagaimana Indonesia mengalami puncak kejayaan, mereka rela mati di tangan Belanda hanya untuk tanah air kita ini, hanya untuk Indonesia agar terlepas dari penjajah (merdeka).
Dari hal ini patut kita jadikan refleksi dalam semangat berorganisasi. Sebagaimana terbukti bahwa semangat perjuangan para pahlawan dengan dedikasinya telah mengantarkan Indonesia merdeka. Tentu yang mereka berikan bukan hanya berupa waktu, tenaga dan pikiran saja. Namun juga materi dan jiwa mereka persembahkan demi kemerdakaan yang mereka perjuangkan. Buah kerja pahlawan yang demikian dapat kita rasakan hari ini. Hal ini dapat dijadikan acuan bahwa dalam meperjuangkan suatu hal harus dengan sifat dan sikap dedikasi yang tingggi, begitu pula dalam memperjuangkan kejayaan Ikstida. Seperti dikutip dari teori pesikologi organisasi the colaboorative class room (kegiatan kerja sama antara dua orang atau lebih untuk tujuan yang telah dsepakati bersama terlebih dahulu).
Dari pemaparan di atas bahwa di dalam bekerjasama mempunyai dua unsur utama, yaitu bekerjasama dan saling ketergantungan yang positif. Kekompakan di dalam organisasi dapat terwujud bila setiap anggota atau pun kader mempunyai perasaan bahwa dirinya merupakan bagian dari organisasi tersebut. Dan perasaan tersebut harus berdasarkan pada kepercayaan dan keyakinan. Sangat perlu kiranya bagi kita adanya suatu integritas dan dedikasi yang ditanamkan dalam jiwa kita dalam memperjuangkan Ikstia. Tokoh besar Islam seperti K. H. Hayim Asy’ari, salah satu pendiri Nahdlatul Ulamak (NU) dengan semngat pengabdian tanpa pamrih dan jiwa militansi yang begitu mulia telah mengantarkan perubahan wajah Indonesia.
Oleh: Mauzun Visioner (Pegiat Literasi) PEMILIHAN Gubernur Jawa Timur sedang mencuri perhatian publik. Pasalnya, Pilgub kali ini menampilkan tiga figur
FIGUR kyai masih menarik untuk dilibatkan atau terlibat pada kontestasi pilkada 2024. Pernyataan tersebut setidaknya sesuai dengan kondisi proses pilkada
PERNYATAAN Sekretaris Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi, Prof. Tjitjik Sri Tjahjandarie tentang “pendidikan tinggi adalah tertiary education, bukan
Penulis: Gloria Rigel Bunga (Mahasiswa Universitas Kristen Indonesia) KITA pasti suka bertanya-tanya, untuk apa ya sebuah perusahaan atau organisasi sering