Lini masa media sosial diramaikan oleh postingan salah seorang pengguna angkutan umum, perempuan berhijab yang menerima tawaran duduk orang lain, namun harus bertanya dulu apakah orang yang menawarkan tempat duduk itu seorang muslim. Jika dia non muslim, maka perempuan itu tidak mau menerima tawaran tempat duduknya. Banyak komentar yang merespon postingan itu, pro dan kontra mewarnai perdebatan. Intoleransi sudah sampai pada tingkat yang paling meresahkan, ketika berbeda agama saja, masyarakat awam tidak bisa duduk bersama. Maka tidak menutup kemungkinan akan merambah pada lini kehidupan yang lain. Bahaya sikap eksklusivisme ini akan membahayakan keberagaman dan keragaman Indonesia, yang sudah menjadi ciri khas karakter bangsa.
Sebagai orang yang masih berpikir waras, hal itu menurut penulis sudah di luar batas kewajaran, bagaimana kita mampu menghargai keberadaan dan perbedaan orang lain. Jika identitas agama masih disalahgunakan saat berinteraksi sosial. Seperti harus bertanya dulu apa agama orang lain sebelum melakukan relasi. Padahal negeri ini didirikan oleh para founding fathers dengan tekad persatuan dan kesatuan yang berdiri di atas semboyan Bhineka Tunggal Ika, berbeda-beda tapi tetap satu juga. Berbeda dalam soal keyakinan Beragama. Bahkan sudah 6 agama yang diakui negara diantaranya Islam, Katolik, Protestan, Budha, Hindu, Konghucu dan terakhir agama lokal atau aliran kepercayaan juga sudah mendapat pengakuan. Tentu ketika para pendiri bangsa tersebut membuat konsep awal tentang bentuk bangsa dan negara tidak mudah begitu saja. tetapi telah melewati proses panjang, pergumulan sejarah sejak era Nusatara Jaya masa kerajaan Sriwijaya dan Majapahit yang terkenal pada masanya, disegani bangsa-bangsa lain di seluruh dunia, hingga masa kolonialisme penjajahan Belanda dan Jepang.
Menjadi agama mayoritas di Indonesia, bukan berarti harus menguasai segala hal yang ada. Karena negeri ini telah sama-sama diperjuangkan oleh seluruh elemen bangsa dari semua tingkatan. Mereka juga berhak atas setiap jengkal nusantara ini. Baik itu kekayaan alamnya, struktur pemerintahannya, hingga semua akses layanan publik. Bahkan merupakan bagian dari Hak Asasi Manusia yang paling asasi, yakni kebebasan beragama dan menentukan keyakinan. Sehingga jika meminjam kalimat Gus Mus dalam buku Gusdur dalam Obrolan Gus Mus karya KH. Husein Muhammad, bahwa “Hendaklah kalian menjadi menjadi manusia, artinya mengerti bahwa dirinya adalah manusia, mengerti tentang manusia lain, dan bisa memanusiakan manusia”.
Baca Juga: Ujaran Kebencian Bukan Ajaran Islam
Konsep memanusiakan manusia juga seringkali didengungkan Gusdur sebagai Bapak Pluralisme Indonesia, bahwa “Tidak penting apa pun agama atau sukumu. Kalau kamu bisa melakukan sesuatu yang baik untuk semua orang, orang tidak pernah tanya apa agamamu”. Iya agama hanya perangkat, bungkus, wadah, ruang, tempat dimana kita bernaung. Yang lebih esensi adalah isi dari agama itu yang mengajarkan tentang kebaikan dan kebenaran, tetapi bukan berarti merasa paling benar lantas mau menang sendiri. jika ada yang salah dalam beragama, bukan ajaran agamanya yang harus dihakimi, tetapi perilaku orang-orangnya yang telah mabok agama sehingga tidak mampu lagi berpikir jernih, mudah menghasut, menghina, caci maki hingga berujung pada kekerasan atas nama agama, melukai dan menyerang orang lain yang berbeda pandangan serta keyakinan.
Problem Toleransi di Indonesia
Indonesia terlampau besar jika hanya menjadi permainan sekelompok golongan, yang menginginkan mayoritas menguasai minoritas. Indonesia terlalu berharga jika hanya dijadikan sebagai komoditas pembakuan agama di semua aspek kehidupan. Karena keragaman yang ada merupakan anugerah kehidupan yang harus dijaga agar tak menjadi perpecahan dikemudian hari. Tinggal peta Negara Indonesia akan hilang dari sejarah dunia. Hilang tanpa makna. Sehingga nilai-nilai toleransi jangan sampai mati di Indonesia, agar kelak di esok hari kita takkan malu ketika ditanyakan generasi penerus, apa yang sudah kita lakukan untuk menjaga dan merawat NKRI. Sehingga toleransi bukan hanya sekedar kalimat basa basi di ruang-ruang diskusi, atau pembahasan kalangan elite tertentu.
Masyarakat dilapisan bawah yang justru paling merasakan dampak intoleransi. Seperti pada tulisan pembuka di atas, sebagai salah satu contoh. Atau banyak kejadian serupa yang tidak terekspose media. Maka sebagai sebuah sikap untuk melawan tindakan intoleransi, baik dalam kehidupan nyata maupun interaksi di dunia maya, sudah waktunya lagi untuk tidak mengalah pada tindakan anarkisme, kekerasan verbal maupun fisik. Sikap ini kemudian dikenal dengan “Sing Waras Aja Ngalah”, artinya yang masih punya kesadaran toleransi agar tidak mengalah pada situasi seperti ini. Karena siapa lagi yang akan menjaga Indonesia yang Bhineka Tunggal Ika jika bukan kita sebagai anak-anak yang dilahirkan dari Rahim Ibu Pertiwi.
Toleransi jangan sampai mati di negeri ini. kerukunan antar umat beragama harus terus dijaga, dirawat dan dipupuk dengan saling percaya antar element bangsa. Saling menghormati dan menghargai perbedaan yang ada, karena Indonesia dibangun tidak dalam waktu singkat. Menjadi Indonesia itu telah melewati proses panjang yang melelahkan, perang antar saudara sebangsa dan se-agama, pertikaian berdarah, dan kerusuhan demi kerusuhan sepanjang sejak kemerdekaan hingga masa reformasi. Catatan hitam itu cukup sebagai pelajaran, ke depan tak usah lagi kita mewariskan konflik pada generasi mendatang, setidaknya berupaya meninggalkan jejak sejarah dan peradaban yang dikenang baik hingga bertahun-tahun kemudian. Karena Indonesia adalah kita.
Penulis Adalah Aktivis Perempuan, Penggila Baca, Penyuka Sastra dan Hobi Menulis. Tinggal di Indramayu
Menyukai ini:
Suka Memuat...