Tinggal menghitung hari, tahun 2017 akan segera kita akhiri. Beragam peristiwa telah mewarnai sejarah perjalanan kehidupan berbangsa dan bernegara di tahun 2017. Tidak dapat disangkal oleh siapapun munculnya dinamika yang diwarnai unsur konflik intoleransi muncul kepermukaan sepanjang tahun 2017. Diskriminasi berbasis intoleran, kopar- kapir, dan pribumi diungkat ungkit. Belum lagi Masjid sebagai rumah ibadah dijadikan ajang kampanye, seraya mengkafirkan Sang Liyan.
Semua mewarnai sepanjang tahun 2017. Tanpa pengakuan rasa bersalah, dari peserta kontestan. Bagaimana bisa berbicara tentang rekonsiliasi tanpa pengakuan bersalah dan permintaan maaf dari para politisi dan tim sukses yang telah memprakasai dan melakukannya dengan sangat jelas dimata masyarakat melalui proses PILKADA DKI? Dimana Jakarta yang merupakan respresentatif dari miniatur kebangsaan Indonesia? Energi bangsa menjadi terkuras oleh politik sektarianisme. Sebab jika mimbar rumah ibadah digunakan sebagai corong diskriminasi, berbasis intoleransi atau fitnah kampanye hitam, maka secara tidak langsung kesucian rumah ibadah menjadi ternodakan ketitik paling rendah.
Dalam situasi buruk demikian ini akhirnya negara hadir, sebagaimana terlihat ada langkah maju dari kepemimpinan Jokowi ditahun 2017 dengan upaya membubarkanormas HTI. Sebab tanpa ketegasan membubarkan kelompok- kelompok garis keras yang terang terangan berupaya untuk makar, maka berbicara tentang merajut Kebhinnekaan dan rekonsiliasi hanya sebatas pada musim PILKADA, PILPRES padahal dari hari ke hari hasutan dan ajakan intoleransi terus meningkat secara masif.
Perbedaan sebenarnya adalah hakikat kodrati dari kemanusiaan. Kita selalu saling berbeda. Beda tubuh, gender, wajah, kepribadian, kemampuan, selera dan 1001 lagi perbedaan lainnya. Sesungguhnya dengan adanya perbedaan lebih memperkaya kehidupan ini, yaitu jika kita saling memahami dan menghargai. Sebaliknya perbedaan akan membuat kita sebagai bangsa terpuruk jika menjadi sumber adanya kebencian.
Sila- sila dalam Pancasila menjawab dengan jelas permasalahan tersebut. Pancasila yang sarat dengan nilai- nilai Visioner. Sebab kita tidak dapat mempertahankan kemerdekaan jika kita tidak bersatu. Kita sebagai anak bangsa menghargai proses membumikan Pancasila serta memberikan apresiasi tentunya kepada Presiden Sukarno yang telah mengambil langkah cepat lewat BPUPKI.
Upaya yang baik ditahun 2017 telah dilakukan, namun tidak cukup serta harus lebih ditingkatkan dalam konteks “SATUNYA KATA DENGAN PERBUATAN” Negara perlu menegakkan hal- hal kecil seirama dengan nilai- nilai Pancasila. Keadilan sosial, dimana DPR harus berhenti dengan segala upaya dan kebijakan untuk ” merampok uang rakyat!”. Hukum para koruptor seberat- beratnya! Sebab ancaman terhadap masa depan bangsa dan tanah air akibat korupsi, setara dengan ancaman radikalisme agama.
Sama- sama menghancurkan bangsa dan negara. Hukum harus ditagakkan tanpa tebang pilih.Tangkap segera aktor penyiraman Novel Baswedan. Berhentilah para politisi maupun tim sukses mengkafirkan orang. Rakyat membutuhkan keteladanan para pemimpinnya. Kenyataan membuktikan bahwa isu intoleransi dan anti Kebhinnekaan bukan dari rakyat. Melainkan muncul dan dihembuskan dari para politisi, dan tim suksesnya. Narasi- narasi Anti Kebhinnekaan tersebut lahir dari isi kepala politisi busuk yang menghalalkan segala cara untuk menang dan berkuasa!
Janganlah kita gadaikan nilai- nilai dasar kebangsaan demi kepentingan dan kemenangan sesaat. Sebab yang kalah adalah bangsa ini. Menjadi mundur jauh karena isu intoleransi, sebagaimana dulu umat manusia alami kejahatan kemanusiaan yang dilakukan oleh Hitler. Maka hembusan intoleransi ibarat bom waktu yang siap meledak. Bila hal ini terjadi yang kalah adalah kita sebagai bangsa Indonesia .
Mpu Tantular, seorang pujangga Jawa yang beragama Buddha, menulis moto berbahasa Sanskrit “Bhinneka Tunggal Ika“. Berbeda-beda untuk tetap satu. Begitulah semua yang berbeda dapat bersatu dan mengusahakan kesejahteraan bangsa Negara Indonesia. Warisan keanekaragaman, kemajemukan semestinya menjadi kekuatan, bukan sumber kelemahan. Dan harus bermula dari tekad pemimpin, politisi, orang- orang pintar di negeri ini. Penguasa negeri ini.
Mereka bukan kelompok kekuatan untuk diri mereka sendiri atau kelompoknya dengan berbagai kepentingan. Atau hanya untuk menyelesaikan masalah mereka sendiri demi keuntungan pribadi atau kelompoknya. Harus benar disadari bahwa mereka ada untuk rakyat, untuk menyelesaikan masalah rakyat kecil.
Mereka harus memperjuangkan Infrastruktur pokok publik : Transportasi, listrik, air bersih, layanan kesehatan, pendidikan, yang saat ini masih jauh memenuhi standar kelayakan. Jangan sampai Pemerintah Nasional maupun Daerah mengabaikan mutu kehidupan rakyat. Sebab infrastruktur pokok inilah merupakan prioritas anggaran secara nasional.
Pendidikan, kesehatan, kesejahteraan, adalah indikator indeks pembangunan manusia Indonesia. Rakyatlah pemilik sejati Republik ini maka infrastruktur pokok publik yang belum merata di seluruh Indonesia harus mendapat perhatian penuh. Presiden Jokowi sudah memulai dengan langkah tepat membangun infrastruktur. Namun harus dicermati bahwa hal seperti ini merupakan proyek jangka panjang dan baru dinikmati oleh lapisan menengah. Akibatnya angka kesenjangan ekonomi tetap ada.
Selama tahun 2017 banyak hal telah dilakukan pemerintah. Namun perjalanan kebangsaan memperlihatkan begitu banyak aksi intoleran yang tercipta dan muncul ketika elite politik mensalahgunakan agama sebagai media interaksi politik. Ditangan manusia busuk, berhati monster, agama dapat menjadi pedang pemecah belah, perusak Kebhinnekaan dan perdamaian Indonesia.
Pembenar tindak kekerasan, serta pembunuh manusia dan karakter manusia yang tidak berdosa atas nama AllahNya. Menggunakan isu intoleransi sengaja dimainkan, Sektarian dimainkan demi merebut kursi kekuasaan. Dengan demikian terlihat bahwa masa depan negeri ini, Kebhinnekaan serta konstitusi sering diganggu dengan memanfaatkan kebebasan politik dengan memainkan isu-isu SARA.
Aksi kampanye bernafaskan intoleransi atas nama perbedaan agama, dan rasial begitu kental muncul pada PILKADA DKI. Publik disuguhkan dengan vulgar penyalahgunaan adanya perbedaan suku, agama, ras, dan antar golongan dalam aksi-aksi besar Intoleransi sehingga lebih membahayakan dibandingkan politik uang.
Oleh sebab itu rakyat harus cerdas dalam memilih pemimpin. Seorang Pemimpin seharusnya mampu mengayomi semua warga, tanpa piliih bulu. Keberpihakan seharusnya diutamakan kepada warga miskin dan marjinal. Apapun Agamanya atau siapa dia adalah warga negara Indonesia. Sebab itu salah dan perlu dipertanyakan kembali bila ada pandangan serta pemikiran bahwa pemimpin hanya bisa dari kelompok agama tertentu saja.
Masyarakat harus melihat dengan cerdas sebagai konsumen media. TOLAK kelompok, calon pemimpin, politisi, tim sukses yang terus menerus menggoreng isu agama, dipadu dengan politisasi agama. Menunggangi isu agama untuk mendongkrak elektabilitas, mereka sesungguhnya adalah pemecah belah rakyat Indonesia yang sejatinya adalah PLURAL.
Dengan diusungnya aksi-aksi intoleransi berjilid-jilid akhirnya tentu saja dapat memecah belah persatuan masyarakat, jika negara tidak mampu dalam memainkan perannya ditengah-tengah kelompok kepentingan, maka pasti akan menghambat tumbuhnya dinamika yang sehat dalam kemajemukan.
Semestinya peran penjaga perdamaian dalam kemajemukan antar kelompok masyarakat, serta menjadi fasilitator sejumlah kelompok kepentingan menjadi tugas utama negara.
Demikian juga terjadi kekerasan politik sebagai akibat dari persaingan dalam perebutan kekuasaan. Kasus tindak kriminal terhadap penyidik KPK Novel Baswedan, ditanggapi oleh DPR menjadi adanya Pansus Angket KPK yang menghasilkan pro-kontra diantara elit politik.
Menjadi bertambah carut marut wajah perpolitikan ketika Setya Novanto selaku Ketua DPR kemudian ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK. Semua bisa terjadi akibat lemahnya kualitas aktor politik dalam memahami dan menghormati etika politik akibat sistem kaderisasi parpol hampir bisa dikatakan tidak ada dilakukan.
Dinamika politik di tahun 2017 memperlihatkan sisi hitam kelam intoleransi, kegaduhan dalam Pilkada DKI, diperkuat dengan menghilangnya Habib Rizieq Shihab pimpinan aksi-aksi saat ditetapkan sebagai tersangka oleh kepolisian.
Perilaku intoleransi bisa terjadi tentu sarat dengan hal-hal emosional dengan tujuan yang transendental. Dan disaat tersulut tentu menjadi tindakan emosional semata yang irasional. Maka seharusnya peran negara lebih cepat bertindak melindungi persatuan masyarakat majemuk melalui perangkat hukum dan tidak lagi sekedar struktur statis, tetapi sungguh menjadi aktor yang memiliki kekuatan otonom nyata. Dan tidak bisa diintervensi oleh kekuatan eksternal manapun.
Dengan mencermati kenyataan selama kurun waktu 2017 jika agama disatukan dengan kepentingan politik, maka hanya menunggu waktu akan muncul aksi-aksi kekerasan dan anarki. Sehingga agama yang seharusnya menjadi faktor peredam, kesetaraan, kedamaian, serta cintakasih telah ditransformasikan menjadi budaya barbar tanpa aturan.Agama itu demi kebaikan manusia, bukan kebaikan Tuhan.
Kesucian Tuhan tidak tergantung kesucian manusia, oleh sebab itu Tuhan tidak perlu dibela.Yang perlu dibela adalah manusia. Manusia Indonesia yang miskin, tertindas, marjinal atau para korban- korban kekerasan. Tim sukses atau politisi yang menggoreng isu SARA, adalah manusia yang tidak memiliki kapabilitas, manusia yang tidak memiliki keberanian untuk mewujudkan perspektif ke-Indonesiaan.
Oleh karena itu menjadi tanggung jawab yang harus di pertaruhkan agar budaya kekerasan dapat dengan tuntas ditangani dengan bijak serta dapat dijinakan dalam upaya merawat kebhinnekaan. Dengan mengembangkan nilai mawas diri serta peran serta seluruh lapisan masyarakat bersama negara merawat kebhinnekaan sebagai tanggung jawab sosial dalam kebersamaan. Serta menghentikan sejak awal munculnya benih benih potensial yang mengarah kepada aksi-aksi intoleransi dalam masyarakat.
Kebhinekaan sangat memiliki nilai yang sangat berarti karena dalam kehidupan masyarakat yang plural, konflik merupakan fenomena yang sering terjadi. Perorangan atau antar kelompok sering mengalami benturan perbedaan kepentingan dan kehendak. Konflik itu akan selalu ada, menyertai perkembangan bangsa dan negara Indonesia di tahun 2018 sebagai Tahun Politik.
Yang harus terjaga dalam Kebhinnekaan adalah penolakan terhadap potensi-potensi intoleran. Sebab jika terjadi pembiaran, maka sangat terbuka kemungkinan kehidupan bermasyarakat kita semakin dirusakkan, menimbulkan permusuhan serta perpecahan. Dinamika seperti ini sering terjadi pada relasi sosial. Bersumber dari berbagai macam sebab. Sering beberapa pergesekan kecil menjadi sumbu peledak hancurnya bangunan Kebhinnekaan. Bahkan tidak jarang sulit untuk mendeskripsikan secara jelas dan terperinci sumber sesungguhnya dari konflik tersebut.
Kebhinnekaan dapat terkoyak ketika kebutuhan, nilai dan tujuan saling bertentangan. Ketika sejumlah sumber daya menjadi terbatas. Ketika persaingan untuk suatu penghargaan kekuasaan serta hak- hak istimewa maka konflik kepentingan akan muncul. Akibat dari persaingan dalam perebutan kekuasaan. Serta kegagalan dalam penegakkan hukum, HAM dan anti korupsi.
Masyarakat harus bisa merasakan kepuasan terhadap pembangunan dari pertumbuhan ekonomi. Dibalik kasus intoleransi agama, ada persoalan politik dan ekonomi. Jangan sampai jurang kesenjangan ekonomi antar strata tidak dapat diperkecil yang berdampak kuat pada masyarakat ekonomi bawah. Perjuangan semua lini harus bersifat ideologis. Perjuangan buruh misalnya . Tidak sebatas ekonomi.
Jika sebatas ekonomi saja, akan mirip pada perjuangan parpol dan politisi yang sangat miskin idiologi. Menjadi sangat gampang ditunggangi dan dimanfaatkan oleh elit Parpol. Aparat penegak hukum harus semakin membenahi diri menyelesaikan potensi konflik internal yang belum selesai.
KPU selaku penyelenggara pesta demokrasi harus jeli menangkap aspek-aspek pelanggaran, dan kepada tim sukses kontestan harus dengan tegas dan patuh terhadap UU yang berlaku dalam menjaga kebhinekaan. Hiruk pikuk setelah pilkada serentak tahun 2017 , sudah terbukti telah mengancam kesatuan dan persatuan bangsa kita.
Sudah ribuan tahun masyarakat Indonesia berpengalaman hidup sebagai masyarakat majemuk. Jadi semestinya tidak menjadi persoalan. Tetapi nyatanya hubungan antar umat berbeda agama, semakin menjadi persoalan yang peka dan rawan konflik, walau diluar tampaknya tenang- tenang saja tetapi kita merasakan adanya ketegangan yang tersembunyi dan siap bergolak di bawah permukaan.
Apalagi jika agama bersinergi dengan politik. Dan politik mempolitisasi agama hasilnya adalah SEGREGASI SOSIAL menajam dan agama menjadi candu yang menenggelamkan nalar sehat. Intelektual yang menggoreng isu intoleransi demi kemenangan sesaat, sebenarnya dia telah melacurkan dirinya terhadap makna sesungguhnya dari Nasionalisme.
Merawat Kebhinnekaan adalah keharusan sebagai perekat dan pemersatu bangsa ini. Jangan sampai karena agama, bangsa dan negara pecah. Akibat kemajemukan masyarakat muncul saling membenci dan saling menghabisi karena agama. Tragis dan ironisnya karena semua agama mengajarkan kasih sayang.
Realitas diatas memperlihatkan bahwa penataan kehidupan sosial-politik nasional dengan penerapan konsep Bhinneka Tunggal Ika serta demokrasi Pancasila kini kembali mendapatkan ujian dari kelompok yang memiliki militansi untuk menerapkan sistem berbasis negara asing yang mereka yakini sebagai solusi masalah dan menggantikan Pancasila. Berpotensi dapat merobek keutuhan NKRI, menandakan bahwa belum seluruh elemen bangsa menerima idiologi Pancasila dengan tulus.
Bangsa kita selama tahun 2017 telah menghadapi ujian berat di bidang: politik, ekonomi serta keamanan nasional. Bangsa kita masih memerlukan pertumbuhan ekonomi tinggi kedepan, sehingga dapat menciptakan lapangan pekerjaan, dan mempercepat upaya perbaikan pemerataan pendidikan. Oleh sebab itu persatuan dan kesatuan bangsa merupakan hal yang sangat fundamental.
Dengan tetap merawat Kebhinnekaan, maka setiap komponen masyarakat dapat saling bersinergi merespons perubahan- perubahan eksternal, baik dalam konstalasi perkembangan kehidupan global, maupun dalam konstalasi dan kontestasi dinamika sosial, iptek, budaya dan sumber daya ditingkat nasional dalam arti yang luas.
Menuju 2018 tahun politik, belajar dari semua yang telah terjadi di tahun 2017, belajar dari pilpres 2014, dan PILKADA DKI 2017, kampanye pada stigma intoleransi, kopor- kapir, Syiah, antek China, antek Amerika, antek Neolib, PKI, komunis akan ditabur untuk meraih suara dan kekuasaan. Memecah belah dengan kekuatan politik sektarian demi kekuasaan. Demokrasi Pancasila membutuhkan sistem dan rakyat yang cerdas mengatakan tidak pada isu “INTOLERANSI” Rakyat yang cerdas membaca dan mempraktekkan nilai integritas!
Masa depan negeri ini, masa depan Kebhinnekaan dan konstitusi, sering diganggu dengan memanfaatkan isu intoleransi untuk memecah belah bangsa. Karena itu ditahun 2018 sangat membutuhkan adanya komitmen dari semua pihak yang berkepentingan baik itu KPU, paslon, tim sukses untuk melaksanakan kampanye yang bersih dari segala fitnah, politik uang, ajaran kebencian, eksplotasi agama.
Kedewasaan semua pihak untuk menjaga persatuan dan kesatuan bangsa. Apapun agamamu, jadilah orang Indonesia! bukan Arab, Yahudi, Amerika dsbnya. Budaya kita yang beraneka ragam, adalah karunia yang unik, khas dan berharga. Jaga dan rawatlah terus Kebhinnekaan! bersatu kita teguh!! bercerai kita runtuh!! jangan pernah lelah, dalam pengabdian terhadap NKRI! ditahun 2018.
Selamat Datang tahun 2018. Kami sambut dengan Salam Solidaritas Kebhinnekaan.
Menyukai ini:
Suka Memuat...