Oleh: Mauzun Visioner (Pegiat Literasi)
PEMILIHAN Gubernur Jawa Timur sedang mencuri perhatian publik. Pasalnya, Pilgub kali ini menampilkan tiga figur perempuan untuk berkontestasi merebut suara rakyat. Ketiganya adalah Khofifah Indar Parawansa, Tri Rismaharini, dan Luluk Nur Hamidah. Ini pertarungan politik yang cukup manis, namun sengit. Karena ketiganya sudah sama-sama malang melintang di dunia perpolitikan Indonesia. Lantas seperti apakah sosok ketiganya sebagai Cagub dalam Pilkada Jawa Timur?
Mengulik profil ketiga srikandi dalam laga Pilkada Jatim tidak menjadi suatu hal yang tabu. Siapa yang tak kenal dengan sosok Khofifah Indar Parawansa, Tri Rismaharini dan Luluk Nur Hamidah. Mereka bertiga sama-sama memiliki posisi strategis di panggung politik Indonesia. Sehingga sosok-sosoknya pun tak menjadi asing di muka publik. Khofifah merupakan seorang Gubernur Jawa Timur. Bahkan, sebelum itu tepatnya pada tanggal 27 Oktober 2014 ia juga pernah terpilih sebagai Menteri Sosial dalam kabinet kerja, barisan Presiden Joko Widodo.
Dua Cagub lainnya juga tak kalah hebat. Tri Rismaharini memiliki jabatan penting, yakni sebagai Menteri Sosial dalam kabinet kerja Indonesia Maju. Sebelumnya, ia juga pernah menjadi wali kota Surabaya selama dua periode. Sedangkan, Luluk Nur Hamidah juga memiliki pencapaian yang tak kalah cemerlang. Ia merupakan seorang politikus Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dan merupakan anggota DPR RI komisi IV pada periode 2019-2024.
Munculnya mereka dalam panggung Pilkada Jatim 2024 menjadi kampanye terkait legalitas kepemimpinan perempuan. Mengingat roda women leadership sampai hari ini masih menjadi topik yang lumayan ekstrem. Perempuan masih sering kali dianggap menyalahi kodrat ketika memiliki peran publik yang strategis. Sehingga perlu edukasi optimal sebagai bentuk stimulus, untuk memasifkan kesetaraan di tengah riskannya bias gender akibat budaya patriarki.
Impak Pilkada Jatim terhadap Women Leadership dan Patriarkis
Munculnya ketiga Cagub perempuan dalam Pilkada Jatim menjadi sebuah gebrakan revolusioner. Karena tak banyak aspek-aspek yang didominasi kaum perempuan untuk berperan sebagai pemimpin. Bahkan, kuota keterwakilan perempuan sebagai calon anggota legislatif sekurang-kurangnya 30% sebagaimana yang diamanatkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum, Pasal 245 juga belum terpenuhi. Sehingga tampilnya Khofifah Indar Parawansa, Tri Rismaharini dan Luluk Nur Hamidah dalam Pilkada Jatim memberi labelisasi terkait kredibilitas kepemimpinan perempuan.
Perempuan merupakan bagian dari kesatuan masyarakat yang lebih besar dibandingkan laki-laki. Penciptaan laki-laki dan perempuan oleh Tuhan Yang Maha Esa merupakan takdir dan mempunyai kedudukan, hak serta kewajiban yang setara. Djasmoredjo dalam Fitriani (2015) menjelaskan “laki-laki berbeda dengan perempuan” hanya terbatas pada perbedaan biologis.
Namun, hukum patriarki mendiskreditkan perempuan sebagai makhluk yang lemah. Faktor biologis dijadikan sebagai landasan untuk mengerdilkan potensi kaum perempuan. Sehingga terjadilah kesenjangan antara peran laki-laki dan perempuan. Norma-norma moral maupun hukum juga bersifat double standard yang memberikan lebih banyak hak kepada kaum laki-laki dibanding kepada perempuan, di samping didasarkan atas patriarki. Jika orang menyebut patriarki, hal itu berarti sistem yang menindas serta merendahkan kaum perempuan, baik dalam lingkungan rumah tangga maupun dalam masyarakat (Bhasin & Khan, 1999).
Fenomena tersebut menjadi problematika yang mengalami hilirisasi. Oleh sebab itu, adanya keterlibatan tiga srikandi dalam panggung Pilkada Jatim menjadi semacam mukjizat yang memiliki impak jangka panjang. Secara progresif, women leadership tentunya tidak akan selalu menjadi topik sensitif yang bersinggungan dengan nilai-nilai sosial maupun spiritual. Sehingga inklusifitas kepemimpinan perempuan dapat melenggang dari hegemoni patriarchal.
Dengan begitu patriarki tidak akan selalu menjadi hukum yang digdaya. Itulah mengapa, menjadi sangat fungsional aspek politik memberikan ruang dan support terhadap kepemimpinan perempuan. Selain sebagai bentuk perlawanan terhadap budaya patriarchal, hal tersebut juga berguna untuk meningkatkan kesadaran masyarakat terkait signifikansi kesetaraan. Sehingga pemberdayaan kaum perempuan tidak selalu dianggap ancaman yang membahayakan.
Untuk itu, kampanye Pilkada Jatim menjadi tindakan solutif untuk memberdayakan peran perempuan. Apalagi dalam UUD 1945 dalam Pasal 27 dijelaskan, bahwa “Kedudukan perempuan sederajat dengan laki-laki di bidang hukum dan pemerintahan’’. Secara eksplisit, Pilkada Jatim menjadi alarm yang cukup efektif untuk menciptakan framming dalam mendongkrak branding kepemimpinan perempuan. Dengan begitu pamong budaya patriarchal akan termarjinalisasi secara perlahan.
SerikatNews.com adalah media kritis anak bangsa. Menyajikan informasi secara akurat. Serta setia menjadi platform ruang bertukar gagasan faktual.
Menyukai ini:
Suka Memuat...