Lahirnya masyarakat berkelas selain melahirkan kontradiksi kelas yang tidak terdamaikan, juga melahirkan penyingkiran perempuan yang bertransformasi menjadi kesadaran yang disebut sebagai seksisme. Kelimpahan yang dikuasai oleh individu telah menyingkirkan perempuan dari lapangan produksi, beralih ke wilayah domestik sebagai pekerja reproduktif, mesin penghasil tenaga kerja. Terbentuklah unit ekonomi sosial terkecil dalam masyarakat yang disebut sebagai keluarga, suatu institusi transmisi kepemilikan pribadi sekaligus “penjara” bagi perempuan. Streotipe negatif terhadap perempuan dibentuk oleh masyarakat berkelas untuk mengukuhkan posisi penyingkiran terhadap perempuan dan terus bermertamorfosis menjadi sesuatu yang dianggap wajar dalam kesadaran setiap individu masyarakat.
Dalam sistem ekonomi kapitalisme, ketika kehidupan ekonomi politik berlangsung menurut logika kapital, penguasaan terhadap kekayaan oleh segelintir orang menjadi semakin tidak masuk akal karena kerja-produksi dilakukan secara sosial. Kesetiaan terhadap prinsip akumulasi yang menjadi roh dari kapitalisme “memaksa” para pemilik modal untuk melakukan ekspansi, mencari lahan eksploitasi yang semakin luas dan menembus batas negara. Mereka menguasai ranah politik untuk menciptakan kebijakan dan ideologi guna mencapai tujuan dasarnya. Kapitalisme membutuhkan pasar baru untuk menghindari overproduksi dan turunnya nilai keuntungan, sumber bahan mentah baru untuk menjalankan sistem produksi, dan lahan-lahan penanaman kapital. Dengan jalan itu secara tak terelakkan kapitalisme memasuki tahapannya yang tertinggi, yakni imperialism. Sebagaimana oleh V.I. Lenin, “Imperialisme adalah tahapan tertinggi dari kapitalisme.” Dalam konteks ini Globalisasi adalah kendaraan imperialisme, yang membuat kapital menjalar ke seluruh dunia dan mengintegrasikannya ke dalam kapitalisme.
Di tengah gencarnya ekspansi kapital, tenaga kerja semakin banyak dibutuhkan untuk dapat meningkatkan hasil produksi. Kaum buruh, yang menjual kemampuan kerja mereka kepada kaum kapitalis, mengalami penghisapan yang brutal. Perempuan, yang selama ini “dipingit” di ranah domestik dan menjadi nyaris identik dengan peran reproduksi semata-mata, kini memasuki kembali ruang publik dan terlibat dalam kerja produksi. Mereka menjadi buruh. Namun dengan semakin banyaknya buruh yang dipekerjakan, akan semakin besar pula ongkos produksi yang dikeluarkan untuk membayar upah. Dalam konteks ini, Seksisme, faham yang timbul dan dibangun dalam corak produksi yang lama, digunakan sebagai dalih untuk membayar kaum buruh perempuan lebih murah.
Tidak hanya itu. Kebijakan pemberdayaan masyarakat yang dilahirkan negara telah mengurangi rata-rata keuntungan kapital akibat peningkatan nilai suku bunga. Untuk mengatasi hal tersebut, pemilik modal akan bekerja sama dengan Negara untuk menciptakan regulasi dan kebijakan, seperti mengurangi rata-rata upah buruh dan mencabut subsidi sosial serta membuka lahan dalam negeri untuk investasi swasta. Di Indonesia, kebijakan semacam itu tidak sulit kita jumpai. Sebut saja liberalisasi aset asing, pendidikan atau kesehatan, maupun kebijakan untuk mengimbangi ekses-ekses yang timbul dari krisis kapitalis seperti kenaikan harga sembako, kenaikan harga BBM, dan lain-lain. Rakyat miskin yang tidak mempunyai penguasaan atas alat produksi dibiarkan menjadi penonton dari perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan tanpa adanya kesempatan untuk turut menikmati. Alhasil penghancuran besar-besaran terhadap tenaga produktif, khususnya perempuan yang mengalami penindasan ganda oleh sistem ekonomi politik dan Seksisme.
Kaum kapitalis alias para pemilik modal menyadari bahwa akumulasi keuntungan dengan mengorbankan nasib rakyat pekerja akan menjadi embrio timbulnya gejolak massa tertindas. Dalam konteks ini, Negara berfungsi sebagai penyelamat modal kapitalis. Untuk itu Negara mengerahkan aparat bersenjata, terutama polisi, tapi tak jarang pula tentara, sebagai alat represi yang berfungsi menghancurkan perlawanan massa tertindas atau sekurang-kurangnya memberikan efek jera kepada siapa saja yang melawan pemilik modal. Di Indonesia, yakni semasa rezim Orde Baru, alat represi ini, khususnya tentara, bahkan pernah menguasai hampir semua aspek kehidupan masyarakat dan mendominasi kekuasaan Negara. Rakyat pekerja pun, termasuk perempuan, hidup di bawah kungkungan militerisme.
Sikap kritis terhadap militerisme muncul ke permukaan seiring dengan menguatnya aspirasi demokratik di masyarakat luas, secara khusus rakyat pekerja. Sikap kritis bermuara pada pandangan bahwa militerisme adalah musuh besar demokrasi. Para petinggi aparat bersenjata menanggapi penolakan terhadap militerisme dengan menghimpun dan melatih unsur-unsur lumpenproletariat, serta mengerahkan mereka untuk menghantam gerakan-gerakan demokratik, termasuk gerakan pembebasan perempuan. Mereka berdalih mengikutsertakan rakyat untuk mempertahankan Negara dari tiap-tiap upaya yang mengancam stabilitas keamanan Negara. Lahirlah milisi sipil reaksioner yang sejatinya merupakan ancaman yang sangat nyata terhadap demokrasi, tidak terkecuali perjuangan pembebasan perempuan dan kaum minoritas, sebut saja kaum LGBTIQ.
Penulis Dosen dan Aktivis Perempuan
Menyukai ini:
Suka Memuat...