Isu tentang pembebasan perempuan masih menjadi mainan para intelektual perempuan dari kalangan menengah ke atas, yang dengan bangga mendengungkan kebebasan bagi “keperempuanan” perempuan dengan menjunjung tinggi individualitas : kebebasan atas tubuh, hak untuk memilih dalam hidup (misalnya menjadi pekerja seks), hak untuk terbebas dari segala pandangan yang dikonsepkan oleh masyarakat yang “maskulin,” hak untuk berganti pasangan dan mendapatkan kepuasan seksual, melawan standardisasi kecantikan (walaupun masih berpenampilan cantik ala mainstream), persaudaraan perempuan, dan lain-lain. Dengan kata lain, apa yang ditolak oleh para aktivis Feminis ini adalah obyektivikasi terhadap perempuan melalui simbol, bahasa, wacana untuk membentuk identitas dan budaya feminis. Mereka berusaha menolak diri “Liyan” yang terkonstruksi dengan mentransendensikan batasan-batasan yang melekat pada perempuan, yaitu menolak identifikasi dirinya melalui pandangan kelompok dominan dalam masyarakat. Yang menjadi pertanyaan kemudian adalah, Bagaimana narativitas Feminis sebagai sarana pembebasan, identitas, dan penciptaan budaya dapat menyelamatkan perempuan miskin dari rasa lapar? Atau bagaimana pula penciptaan budaya Feminis ini mampu membebaskan perempuan buruh dari penghisapan nilai lebih dari para pengusaha? Bagaimana pula identitas Feminis ini mampu mencegah tanah-tanah perempuan tani dari perampasan oleh negara dan perusahaan?
Baca Juga: Arah Gerakan Perempuan Indonesia (1)
Perjuangan pembebasan perempuan sejatinya adalah perjuangan pembebasan produktivitas perempuan yang bergerak dari titik berangkat sejarah yang berbeda. Produktivitas perempuan harus dikedepankan sebagai salah satu tenaga penggerak revolusi. Penyingkiran terhadap perempuan lahir dari landasan sejarah. Ia tidak serta-merta muncul sebagai wujud kuasa takdir atas perempuan. Dengan demikian perjuangan pembebasan perempuan menjadi hal yang obyektif dan harus dilakukan baik oleh laki-laki maupun perempuan untuk mencapai cita-cita kesetaraan. Hal ini mensyaratkan adanya perkembangan tenaga produktif, yang di dalamnya mengandung unsur yang progresif, yaitu tenaga kerja, baik perempuan maupun laki-laki sebagai penggerak revolusi. Dengan landasan itu, perjuangan perempuan akan menjadi bagian dari sejarah dunia dan menempatkan diri tidak hanya pada perjuangan lokalis, sektoral, dan/atau seksis. Sejarah penyingkiran terhadap kaum perempuan menciptakan keterhubungan global, di mana akar penyingkiran ini akan menempatkan posisi perempuan pada potensi penindasan ekonomi yang sama. Tanpa semua ini, kekuatan kesadaran penindasan hubungan ekonomi pada perempuan tidak dapat berkembang secara universal, karena adanya kekuatan besar untuk mempertahankan status quo yang dikelilingi oleh kesadaran-kesadaran yang supersitisi.
Hal mendesak yang harus dilakukan adalah membangun perspektif pembebasan perempuan dalam kesadaran massa luas, bahkan organisasi gerakan demokratik, untuk tidak memisahkan perjuangan pembebasan rakyat pekerja dengan perjuangan pembebasan perempuan. Berdasarkan landasan ini maka menjadi penting untuk membangun sel kerja atau kompartemen perempuan di setiap organisasi demokratik sektoral. Hal ini dilakukan dengan dua tujuan. Pertama, mencegah gerakan massa demokratik terjebak dalam perjuangan pembebasan perempuan yang sekadar dilandasi oleh kesadaran moralis. Kesadaran semacam ini terjerumus ke dalam pandangan bahwa gerakan massa luas, yang masih didominasi oleh laki-laki, hanya bertindak sebagai pendukung yang bersolidaritas terhadap penindasan yang dialami oleh perempuan.
Kedua, menghindari gerakan pembebasan perempuan yang bersifat eksklusif, yang menjadi kecenderungan gerakan perempuan saat ini. Pengeksklusifan gerakan perempuan semacam ini adalah upaya yang sia-sia dan ahistoris karena terperangkap dalam pandangan bahwa perjuangan pembebasan perempuan adalah semata-mata kepentingan perempuan yang secara langsung mengalami penindasan berbasis gender. Alhasil upaya untuk membebaskan perempuan justru terjebak dalam strategi dan taktik pembangunan organisasi dan perumusan program yang bersifat seksis pula, menjerumuskan diri dalam pelanggengan seksisme.
Mempertimbangkan bahwa secara historis perempuan memiliki posisi yang tidak setara dengan laki-laki, maka penanganan khusus melalui program afirmasi penting dilakukan. Perlu dibentuk wadah khusus untuk melatih perempuan agar terlibat dalam kerja publik, terlibat dalam kerja-kerja produktif. Wadah yang paling tepat adalah organisasi yang mandiri, tanpa intervensi dari maupun kerjasama dengan musuh-musuh rakyat pekerja. Organisasi tersebut akan menjadi wadah latihan bagi perempuan, sekaligus senjata yang paling ampuh untuk mencapai tujuan dengan ditopang oleh kekuatan basis massa.
Penulis Dosen dan Aktivis Perempuan
Menyukai ini:
Suka Memuat...