Laporan Serikat News
Senin, 6 November 2017 - 03:34 WIB
Ilustrasi
Oleh: Atiqurrahman
Selama ini, orde reformasi tidak menghasilkan perubahan yang signifikan terhadap dunia perburuhan. Buruh selalu saja ditindas, dieksploitasi dan hanya dijadikan obyek dalam roda industri dan pembangunan ekonomi, sehingga mengakibatkan nasib buruh terjerumus dalam jurang ketidakjelasan dan ketidakpastian.
Bahkan kondisi buruh masih jauh dari sejahtera, kehidupan yang layak, yang menjadi cita-cita luhur bangsa ini tidak pernah dirasakannya, karena banyaknya permasalahan yang terus saja bergulir menimpa kalangan buruh, dan bahkan berujung pada pengkerdilan dan peminggiran posisi buruh.
Secara umum, masalah yang menghantui dunia perburuhan di negeri ini, adalah upah rendah, outsourching (alih daya), buruh kontrak, dan tidak adanya jaminan sosial. Sebab masalah itu sudah sejak lama menjadi momok yang menakutkan bagi kehidupan buruh. Maka, wajar apabila narasi gerakan perlawanan yang dibangun oleh buruh tidak akan terlepas dari bingkai permasalahan tersebut. Sebab pada kenyataannya, permasalahan itu jelas merugikan dan memiskinkan kehidupan buruh beserta keluarganya, karena buruh tidak mendapatkan hak-hak normatifnya sebagaimana mestinya.
Sedangkan akar permasalahannya adalah karena bangunan sistem perburuhan atau ketenagakerjaan yang tengah berlangsung saat ini sangat berpihak dan menguntungkan kepentingan pemilik modal, dan merugikan kalangan buruh. Bahkan, negara melalui otoritas yang dimilikinya, seharusnya bertindak dan bersikap netral, justru ikut andil memberikan jalan dalam memudahkan dan melapangkan kepentingan pemilik modal untuk meraup keuntungan sebesar-besarnya.
Oleh karenanya, kini, posisi buruh berada dalam kubangan tirani kapital(isme) dan negara. Kekuatan kapital(isme) dan otoritas negara telah berhasil melakukan sebuah persekongkolan politik jahat yang sifatnya sistemik dan struktural. Hal ini dapat dilihat dengan banyaknya politik hukum (perundang-undang) perburuhan yang dikeluarkan oleh negara atau pemerintah yang turut melegitimasi adanya penindasan terhadap buruh dalam sistem perburuhan atau ketenagakerjaan. Salah satunya adalah Peraturan Pemerintah No 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan.
Peraturan pemerintah tentang pengupahan ini sebenarnya sudah banyak menuai kritik dari sebagian besar kalangan buruh, berbagai gerakan penolakan pun pernah dilakukannya, mulai dari berbentuk gerakan litigasi hingga non-litigasi. Karena peraturan pemerintah tentang pengupahan ini cenderung berorientasi pada neoliberalisme dan mengedepankan kepentingan pemilik modal.
Salah satu faktanya adalah pasal 44 ayat (2), mengenai rumus perhitungan upah minimum yang diserahkan sepenuhnya pada mekanisme pasar; yakni bergantung pada tingkat inflasi dan pertumbuhan ekonomi nasional. Di samping itu, peraturan pengupahan ini juga merefresitas buruh, sehingga akibatnya buruh tidak memiliki hak dan wewenang untuk melakukan negoisasi terkait besaran nominal upah minimum yang sudah ditetapkannya, sebab penentuan dan penetapan upah minimum dimonopoli oleh Gubernur. Dan buruh hanya bisa menerima dan mengamininya.
Sebagai konsekuensinya, tentu memiliki dampak negatif bagi kalangan buruh; yaitu, pertama terjadinya fleksibilitas pasar kerja, dan pemilik modal memiliki hak untuk melakukan apapun termasuk menjalankan sistem kontrak kerja jangka pendek terhadap buruh serta meng-outsourching-nya. Kedua, negara atau pemerintah akan memobilisasi buruh untuk mengiringi mobilitas modal dengan bayaran upah yang sangat rendah.
Ketiga, negara melakukan kontrol secara ketat terhadap segala aktivitas buruh dengan cara represif, seperti melakukan pengendalian atas organisasi buruh, melarang segala bentuk protes, pengendalian lembaga perselisihan perburuhan dibawah lembaga administrasi negara, dan adanya monopoli penentuan upah terhadap buruh. Keempat, tidak adanya sangsi yang tegas bagi pemilik modal ketika melakukan suatu kesalahan terhadap buruh. Pemilik modal dibiarkan begitu saja tanpa ada sebuah pertangungjawaban.
Namun demikian, memotret persekongkolan jahat antara kapital(isme) dengan negara ini bukanlah perkara yang baru, melainkan sudah lama terjadi. Dalam perspektif Marxis misalnya, menganggap keberadaan negara atau pemerintah itu hanya berfungsi sebagai pelayan pemilik modal saja, dan sekaligus menjadi sebuah intrumen penindas yang paling efektif terhadap kelas buruh. Jadi, anggapan bahwa negara itu hadir sebagai pelindung, pengayom dan pemberi kesejahteraan bagi rakyatnya, itu hanya sebuah ilusi dan buaian semata.
Diakui atau tidak, sebuah perkara yang tidak mudah bagi buruh untuk keluar dari jeratan tirani kapital(isme) dan negara yang tengah melilitnya. Buruh membutuhkan waktu yang lama dan proses yang cukup panjang untuk mengatasi masalah tersebut. Namun, lantunan gerakan perlawanan terus dikumandangkan dan dijalankan secara massif.
Sebab dengan upaya perlawanan buruh dapat menghantam kapital(isme) dan negara secara perlahan-lahan. Langkah awal yang harus tempuh adalah meradikalisasi gerakannya. Dengan cara membuka dan memperbanyak kantong-kantong pengorganisasian diakar rumput dan di tempat-tempat bercokolnya kapital(isme), seperti di pabrik, perusahan, mall dan lain sebagainya. Sebagai ruang penyadaran dan ideologisasi untuk menanamkan dan menyalakan spirit perlawanan dalam diri buruh atas segala bentuk penindasan yang dilakukan kapital(isme) dan negara.
Pilihan strategi dan taktik gerakannya juga harus radikal, dengan menempuh gerakan perlawanan diluar sistem seperti demontrasi, boikot, menduduki pabrik, blokade, sabotase, bahkan mengambil alih pabrik. Karena gerakan buruh tidak mungkin mengikuti logika negara, dengan cara memanfaatkan ruang-ruang yang telah disediakanya, misalnya dewan pengupahan, lembaga tripartit maupun lembaga bipartit. Semua ruang itu tiada lain sebuah kamuflase yang di dalamnya tersimpan sejuta kebohongan dan kemunafikan. Sebab watak utama dari negara adalah otoriterianistik.
FIGUR kyai masih menarik untuk dilibatkan atau terlibat pada kontestasi pilkada 2024. Pernyataan tersebut setidaknya sesuai dengan kondisi proses pilkada
PERNYATAAN Sekretaris Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi, Prof. Tjitjik Sri Tjahjandarie tentang “pendidikan tinggi adalah tertiary education, bukan
Penulis: Gloria Rigel Bunga (Mahasiswa Universitas Kristen Indonesia) KITA pasti suka bertanya-tanya, untuk apa ya sebuah perusahaan atau organisasi sering