Oleh: M. Faizi
PEREDARAN rokok ilegal di Madura, Jawa Timur, seolah menjadi masalah klasik yang terus berulang tanpa solusi konkret. Kendati pemerintah, melalui Bea Cukai dan Satpol PP, rutin melakukan penertiban, langkah ini terkesan hanya menyentuh permukaan. Pola yang diterapkan masih sebatas menyasar warung-warung kelontong di pedesaan, sementara lumbung produksi rokok ilegal yang jelas nampak di pelupuk mata justru dibiarkan landai beroperasi, nyaris tanpa sentuhan regulasi.
Persoalan ini mengarah pada dugaan kuat bahwa aparat penegak hukum di Madura tidak berdaya menghadapi mafia rokok ilegal. Ada anggapan bahwa mereka “bertekuk lutut” di bawah pengaruh jaringan kuat yang mengendalikan industri ini.
Kecurigaan ini semakin menguat ketika data kekayaan Kepala Bea Cukai Madura, Syahirul Alim, menunjukkan lonjakan drastis. Berdasarkan laporan e-LHKPN KPK, harta kekayaannya pada 2022 tercatat sebesar Rp1,66 miliar. Namun, hanya dalam satu tahun, pada 2023, jumlah tersebut melonjak menjadi Rp4,9 miliar. Peningkatan ini menimbulkan tanda tanya besar di ruang publik mengenai sumber pendapatan pejabat tersebut.
Di sisi lain, Bea Cukai Madura memang mencatat keberhasilan dalam memberangus 35,6 juta batang rokok ilegal dalam periode September 2023 hingga September 2024. Namun, pencapaian ini masih jauh dari cukup jika dibandingkan dengan besarnya skala produksi rokok ilegal di Madura. Merek-merek seperti Genesis, Humer masih dengan mudah ditemukan beredar di wilayah Sumenep dan Pamekasan.
Dampak Ekonomi dan Kerugian Negara
Rokok ilegal bukan sekadar pelanggaran hukum, tetapi juga berdampak besar terhadap perekonomian negara. Data menunjukkan bahwa potensi kerugian negara akibat rokok ilegal mencapai Rp97,81 triliun pada 2024, meningkat tajam dibandingkan Rp53,2 triliun pada 2021. Pada 2023 saja, peredaran 22 miliar batang rokok ilegal mengakibatkan kehilangan penerimaan cukai sebesar Rp28,6 triliun.
Kerugian ini bukan hanya berdampak pada industri tembakau legal, tetapi juga menggerus penerimaan negara yang seharusnya dapat dialokasikan untuk sektor kesehatan, pendidikan, dan pembangunan infrastruktur. Jika pola penindakan Bea Cukai tetap setengah hati dan hanya menyasar pengecer kecil, maka kebocoran penerimaan negara akan terus terjadi.
2025: Bea Cukai Madura Harus Lebih Agresif
Memasuki 2025, Bea Cukai Madura harus mengambil langkah yang lebih tegas dan sistematis dalam memberantas rokok ilegal. Penindakan yang hanya fokus pada warung-warung kelontong harus diubah menjadi strategi yang menyasar langsung lumbung produksi. Peraturan Bea Cukai Nomor 54/PMK.010/2020 telah memberikan kewenangan lebih besar bagi institusi ini dalam menangani peredaran rokok ilegal. Namun, implementasi di lapangan masih belum optimal.
Selain meningkatkan pengawasan dan penindakan, Bea Cukai juga harus memperkuat transparansi dan akuntabilitas di internal institusi mereka. Lonjakan kekayaan pejabat yang mencurigakan harus menjadi perhatian serius bagi aparat pengawas dan penegak hukum. Jika tidak ada langkah konkret, maka publik akan terus mempertanyakan integritas institusi ini dalam memberantas mafia rokok ilegal.
Pada akhirnya, memberantas rokok ilegal bukan hanya tentang penegakan hukum, tetapi juga tentang menyelamatkan penerimaan negara dan memastikan persaingan usaha yang sehat di sektor industri tembakau. Jika Bea Cukai Madura tidak segera bertindak lebih agresif, maka masalah ini akan terus menjadi benang kusut yang tak terurai dan berkesudahan.
Catatan: Artikel ini ditulis berdasarkan analisis data yang tersedia di ruang publik dan berbagai sumber pemberitaan terkait.
Jurnalis Serikat News Sumenep, Jawa Timur
Menyukai ini:
Suka Memuat...