Benci Kepada Presiden, Orang Ini Arahkan Anda Sebut Jokowi PKI Karena Hilangkan Hari Libur
Penulis: Serikat News
Minggu, 4 Juni 2017 - 04:33 WIB
Status Nina Khu yang menunjukkan kebencian kepada Presiden
Status Nina Khu yang menunjukkan kebencian kepada Presiden
Ada catatan bernada tuduhan yang dilancarkan oleh penggemar kebangkitan Partai Komunis Indonesia (PKI) bernama Nina Kasih Puspita, kepada Rezim Presiden Jokowi. Pada 1 Juni 2017 kemarin, saat bangsa ini memperingati Hari Kalahiran Pancasila, Nina curiga karena PNS tidak diliburkan pada 1 Oktober (Hari Kesaktian Pancasila), seperti pada rezim Orba dulu.
“Apa hanya saya yg baru sadar bahwa baru tahun ini 1 Juni menjadi hari libur nasional?” Sergah Nina di akun Facebooknya, Nina Khu. “Kenapa rezim ini “seolah” ingin melupakan tanggal 1 oktober? Hari dimana PKI tumbang setelah melakukan pembantaian yg sangat biadab di tanggal 30 September? Dan ditanggal 30 september tdk ada lagi pengibaran bendera setengah tiang maupun pemutaran film dokumenter,” tambah Nina, dikutip Dutaislam.com (Ahad, 04/06/2017).
Ia seperti menyalahkan kepada anak cucu Bung Karno, “pak jika seandainya bapak masih hidup dan melihat Indonesia sekarang, melihat kelakuan anak cucu bapak memimpin negeri ini, melihat partai anak bapak membuat kebijakan untuk negeri ini, apakah bapak akan bangga atau menyesal dan kecewa? Hmmm… kalau dilihat dari senyumnya sih seperti ada tawa yg tertahan, tawa yg menutupi lara,” tulisnya.
Dari tawa yang ditahan Nina, terkesan di menuduh kalau 1 Oktober hilang dari Hari Libur Nasional, rezim sekarang dianggap pro PKI. Menuduh Jokowi PKI? Duh, harus diapain lagi nih orang? Mau kembali ke Orde Baru yang penuh rekayasa sejarah kah?
Diakui sejarah memang, pada 30 September 1965, terjadi penculikan dan juga pembunuhan kepada jenderal-jenderal, antara lain Letnan Jenderal A. Yani, Mayjen R. Suprapto, Mayjen Haryono, Mayjen S. parman, Brigjen D.I. Panjaitan, Brigjen Sutoyo, Letnan Satu Pire Andreas Tendean, dan Brigadir Polisi Karel Susult Tubun.
Semua jenderal putra terbaik bangsa itu tewas, kecuali Jenderal A.H. Nasution yang dikisahkan sukses malarikan diri dari kepungan pemberontak dengan kaki luk tembak. Putrinya, Ade Irma Suryani akhirnya meninggal setelah jadi korban keganasan.
Karena para jenderal itu gugur dibunuh, lalu pada esok harinya, 1 Oktober, oleh Rezim Soeharto dijadikan sebagai Hari Kesaktian Pancasila. Dan, sejak 1971, Orde baru menyusun sejarah Kesaktian Pancasila melalui tangan dingin ideolognya bernama Nugroho Notosusanto. Apa tujuannya? Menghilangkan peran Bung Karno dari sejarah Pancasila, dimana saat itu pengaruhnya masih kuat.
1 Juni yang biasa diperingati sebagai Hari Lahir Pancasila, akhirnya dilarang. Dan penguasa Orba, Bung Harto mewajibkan pemutaran film dokumenter pembasmian para jenderal itu. Dalam film tersebut, Soeharto diperankan sebagai pahlawan penjaga Kesaktian Pancasila. Tiap 1 Oktober pun ada kewajiban mengibarkan bendera setengah tiang.
Hingga kini, walau belum ada pengadilan, gerakan G 30 S PKI digunakan Orba untuk membungkam lawan-lawan politiknya, termasuk anak ideologis Soekarno. Tragedi 65 adalah sejarah terkelam bangsa ini, dimana warga negara dibunuh secara kejam dan massal. Para kiai dan santri jadi korban tragedi politik dimana Presiden, PT. Freeport, pasca tragedi 65, mulai menjarah kekayaan alam di Papua melalui UU PMA 1967 zaman Orba.
Masih banyak kontroversi dan misteri 1965 yang belum diungkap. Dibanding 1 Juni sebagai Hari Lahir Pancasila, 1 Oktober kalah clear kronologi sejarahnya. Wajar jika Presiden Jokowi lebih memilih 1 Juni dijadikan hari libur nasional daripada 1 Oktober, meski pemerintah juga memperingatinya.
Dilansir oleh situs presidenri.go.id, pada Sabtu, 1 Oktober 2016, Presiden Jokowi memimpin upacara peringatan Hari Kesaktian Pancasila, di Monumen Pancasila Sakti, Lubang Buaya Jakarta Timur. Acara itu pun sangat resmi karena dihadiri oleh Wakil Presiden Jusuf Kalla, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan Wiranto, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy, Panglima TNI Jenderal TNI Gatot Nurmantyo.
Jadi, pernyataan yang terhormat Nyonya Nina Kasih Puspita “rezim ini “seolah” ingin melupakan tanggal 1 Oktober,” adalah sebentuk provokasi tanpa bukti. Menjadi tidak lazim bertanya karena dia tidak ingin mencari jawaban, tapi ingin menertawakan orang lain dan lalu mengajak orang menyebut Jokowi sebagai PKI. “Kurangajar!” kata Habib Rizieq. [dutaislam.com/ab]
Lebih lengkapnya, silahkan baca di http://www.dutaislam.com/2017/06/benci-kepada-presiden-orang-ini-arahkan-anda-sebut-jokowi-pki-karena-hilangkan-hari-libur.html
Probolinggo – Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Lumbung Informasi Rakyat (LIRA) Jawa Timur (Jatim) geram dengan tuntutan Jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi
Probolinggo – Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Lumbung Informasi Rakyat (LIRA) Kabupaten Probolinggo mengapresiasi langkah Satreskrim Polres Probolinggo dalam menggagalkan pupuk
Ditulis dalam Bahasa Inggris oleh: Mohammad Fajrul Falaakh* Diterjemahkan oleh: Makdum Ali Robbani** Pengantar Nahdlatul Ulama (NU) adalah organisasi Islam
Oleh: Robiatil Hurriyah (Mahasiswi PAI STIT Al-Ibrohimy) Di era digitalisasi yang sudah sangat canggih, teknologi komunikasi dan informasi sudah berkembang
Oleh: Wafiruddarroin PEMILIHAN kepala daerah (Pilkada) adalah momentum penting yang tidak hanya menentukan pemimpin baru, tetapi juga mencerminkan dinamika sosial
Oleh: Isna Asaroh (Ketua Kopri PMII Jember) Korps Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia Putri (KOPRI) merupakan sayap organisasi Pergerakan Mahasiswa Islam