Oleh: Jeannie Latumahina
“Merah darah pahlawan tertumpah di tanah ibu pertiwi, putih tulang para pejuang tertanam dalam tanah air Indonesia tercinta. Disini aku terlahir. Disini pula aku tiada”. Kata-kata yang di ucapkan bapak Proklamator kita, Bung Karno. Pemaknaan yang sarat nilai .Bahwa bendera bukan sekedar simbol negara, melainkan jiwa dan raga negara Indonesia. Bendera yang telah berkibar di bumi Indonesia Raya, dan diakui dunia, dipasang terbalik, baik di buku maupun di media surat kabar Malaysia. Ini bukan sekedar sebuah kesalahan cetak, tapi menurut pemikiran saya kesalahan yang sangat fatal. Pelecehan terhadap jiwa, raga, nafas negara dan tidak dapat diselesaikan sekedar dengan sebuah permintaan maaf atau mencetak buku baru, karena menyangkut masalah substansi dari jiwa nasionalisme kita.Tanpa rasa malupun Malaysia juga pernah mengklaim: musik angklung, lagu jali-jali, lagu rasa sayang-sayange, motif batik, tari gamelan, tari kuda lumping dan lain- lain sebagai punya Malaysia.
Mengapa sesuatu yang sangat substansi menyangkut nilai jati diri bangsa Indonesia, nilai nasionalisme, simbol-simbol negara dengan mudah tidak dihormati oleh negara lain? negara tetangga terdekat kita? Malaysia? dan sebagai rakyat Indonesia kita pasti sangat marah dengan kejadian tersebut.? Menurut saya kita juga harus bertanya terlebih dahulu kepada kita bangsa Indonesia sendiri, apakah kita juga menghargai simbol-simbol negara kita sendiri?
Bagaimana negara-negara lain mau menghormati simbol-simbol negara kita, kalau kita sendiri sebagai anak bangsa tidak menghargai simbol-simbol negara kita?Negara-negara itu melihat dengan jelas bahwa ketika merayakan HUT Indonesia yang ke 72 ada anak bangsa yang memasangkan bendera merah putih terbalik dan penyelesaian akhir terhadap masalah tersebut hanya dengan “permintaan maaf”.
Negara- negara tersebut melihat hal ini. Bahkan mereka melihat dan tahu bahwa dalam acara yang resmi kenegaraan pimpinan negara Indonesia di lecehkan lewat doa. Dan diakhiri juga dengan sebait kata permintaan maaf. Itu artinya mereka semakin tahu bahwa nasionalisme kita semakin memudar dan dapat dengan mudah diselesaikan dengan “sebait permintaan maaf”.
Tidak salah bapak Proklamator, Bung Karno mengatakan: REVOLUSI BELUM SELESAI!” Nation building berlangsung terus-menerus, tidak cukup dan berhenti pada sebuah proklamasi. Nasionalisme lahir dalam proses pendidikan yang berlangsung tanpa akhir. Ini merupakan tugas setiap warga negara. Pencarian jati diri bangsa! Apa yang merupakan jati diri bangsa Indonesia?
Memakai pakaian daerah, ide cemerlang dari bpk Jokowi dalam perayaan HUT RI ke 72 sebagai perwujudan salah jati diri bangsa Indonesia itupun masih terdengar suara sumbang.Sampai disini saya berpikir kita harus belajar dari bangsa Jepang. Masyarakat Jepang sangat menghargai simbol-simbol negaranya. Ditengah arus globalisasi “akar budayanya tidak hilang”. Disinilah keunggulan dari Jepang bahwa kemajuan dalam bentuk apa pun yang berkembang di planet bumi tidak menggoyahkan tata nilai kebudayaan dan peradaban Jepang. Jepang dianggap sebagai model negara yang sukses menjalankan modernisasi sembari merawat unsur- unsur tradisi dan simbol negara. Kunci keberhasilannya adalah pada perhatian penuh pemerintah maupun keluarga terhadap pendidikan anak-anak. Dari usia dini, anak-anak sudah dilatih, diajarkan untuk menghormati, menghargai tradisi dan simbol-simbol negara.
Bendera RI yang terbalik menurut saya adalah koreksi bagi kita sebagai masyarakat Indonesia untuk semakin membangkitkan rasa nasionalisme, dengan menghormati simbol-simbol negara kita.
Merdeka!!
Kediri, 22 Agustus 2017.
SerikatNews.com adalah media kritis anak bangsa. Menyajikan informasi secara akurat. Serta setia menjadi platform ruang bertukar gagasan faktual.
Menyukai ini:
Suka Memuat...