Lha iya, lah. Kalau pengecut tentu saja mudah untuk dilawan. Masa kalah sama pengecut, yang benar saja?
Eits. Tunggu dulu.
Siapa atau karakter bagaimana yang bisa disebut sebagai pengecut? Siapa yang disebut pemberani?
Saya teringat kisah fabel si kancil dan harimau. Itu cerita di waktu tidur. Harimau adalah Raja Hutan. Aumannya saja menggetarkan seantero dunia rimba. Tak ada hewan yang berani melawan dia. Nah, kalau ada yang berani melawan dia ketika Sang Raja Hutan ini hendak mencari mangsa, maka mangsa ini tentu bukanlah hewan yang pengecut.
Begitu si Raja Hutan mengaum dan berkeliling mencari mangsa, hewan-hewan lain lari menyelamatkan diri. Ketakutan atas auman Sang Raja Hutan, hewan-hewan lain memilih jalan aman sendiri-sendiri. Begitulah dunia rimba menghadirkan kaum pengecut yang ditimbulkan oleh auman Sang Raja Hutan.
Adalah seekor kancil. Dia bisa saja lari menyelamatkan diri ketika Sang Harimau mengendap-endap hendak menerkam dia. Penciuman yang tajam, membuat si kancil memilih menghadapi Sang Raja Hutan. Kancil memilih berani ketimbang takut ketika menghadapi ancaman atau tekanan.
Begitulah kisah fabel itu muncul di benak saya, ketika menonton petikan video pernyataan Jokowi kepada para relawan.
Saya menangkap pesan yang jauh lebih dalam dari seluruh kalimat perihal saran untuk membangun dan menciptakan harmoni di bumi Indonesia.
Jokowi tentu saja bukanlah Raja Hutan seperti Sang Harimau. Dia adalah si kancil cerdik yang berhasil mengalahkan sang harimau tua, sehingga warga rimba mengangkatnya menjadi Raja. Ya, menjadi Raja. Harimau tetap ada, tetapi gelar raja nya sudah berpindah. Apakah Harimau itu masih berkuasa? Tentu saja. Atas sekelompok monyet dan babon pelayan, harimau ini masih bisa memberi perintah ke sana ke mari. Asal harimau mengaum, monyet-monyet berlarian mengerjakan apa yang diinginkan Sang Harimau.
Seperti si Kancil, Jokowi jadi Presiden. Dia dipilih dan dinobatkan oleh rakyat. Sah secara hukum. Dia memang Presiden RI. Kepada dirinya melekat perkataan “Penguasa”, dan politisi serta aktivis belum bisa beranjak dari trauma gaya kepemimpinan para penguasa terdahulu. Kita lupa perihal tipe-tipe pemimpin.
Begini.
Pemimpin penguasa yang memakai segala cara untuk membuat nya terlihat kuat sebagai penguasa dapatlah disebut sebagai rejim yang berkuasa, memerintah oleh karena jabatan. Begitulah para pemimpin yang pernah kita miliki di tingkat desa, kota, propinsi, atau nasional. Mereka menjadi pejabat, lalu mereka menjadi berkuasa, dan atas kekuasaan itu mereka semena-mena menggunakan jabatannya untuk melakukan apa pun yang dia pikir baik, atau benar, atau menguntungkan bagi dirinya. Begitulah kita sebut sebagai raja yang lalim ketika dia berkuasa.
Tapi, ada lho pemimpin yang berwawasan terbuka untuk mendengarkan suara di sekitarnya. Jika suara kodok saja bisa diresapi, masa suara anak-anak manusia diabaikan?
Pemimpin model begini tentu saja tidakkah bisa disebut sebagai penguasa. Dia mendengarkan. Dia terbuka. Dia melayani. Dia memang menerima kuasa dan memiliki kekuasaan, namun dia tidak menggunakan kekuasaannya seenak dia. Dia mempelajari hukum, dan mematuhinya. Dia mencari tahu dan menerima masukan. Dia belajar. Dia melayani.
Bayangkan begini.
Jika Raja Hutan tidak mengaum, melainkan dia duduk mendengarkan umat rimbanya, akankah hewan-hewan dunia rimba lari ketakutan ketika Sang Harimau berjalan melenggang saja? Harimau yang berjalan sambil mengaumlah yang membuat warga rimba lari ketakutan.
Jadi, ibarat dunia rimba yang saya tuturkan di atas, Jokowi itu bukanlah Si Harimau Sang Raja Hutan itu. Dia adalah si Kancil yang diangkat warga rimba untuk menjadi Raja Hutan yang baru menggantikan Harimau yang sudah menjadi tua. Tapi, harimau ya harinau. Dia tetap mengaum. Sekalipun dia tidak lagi menjadi Raja Hutan, harimau tua tetap mengaum. Persediaan makanan dia tak lagi banyak. Kalau dia harus berburu sendiri mencari mangsa dia sudah letih. Upeti kiriman monyet-monyet dan babon-babon pelayannya semakin sedikit saja. Maka, Harimau pun berkeliling saja ke sana ke mari untuk mengaum. Aum sana aum sini, bikin takut warga rimba. Bahkan tidak hanya itu, sang harimau tua itu menyorongkan juga anak nya untuk menjadi raja menggeser kedudukan kancil.
Jadi, apa yang bisa dinyatakan oleh si Kancil, Sang Raja Hutan yang baru itu, kepada warga rimbanya? Ya itu, “Jangan menyebar kebencian sehingga sesama anggota rimba saling menerkam. Jangan menabur permusuhan. Jangan menggosipkan auman sang harimau tua.
Tapi, ya jangan takut juga dengan tekanan dari auman keras raja hutan tua yang cari mangsa untuk ngajak berantem itu. Rasa takutmu menjadikanmu pengecut-pengecut kerdil yang tidak menjamin dunia rimba akan aman dari goncangan. Auman ya memang auman. Bikin ketar-ketir. Tapi, ketakutanmu tidak akan membuat sang harimau berhenti mengaum, kalau dia lapar.
Kalau mau tetap aman, beranilah memberi perlawanan kepada kaki tangan harimau yang pengecut itu sehingga mereka memilih jadi babu sang harimau tua ketimbang menjadi warga yang bebas hidup di rimba belantara.
Kancil menata hutan. Kancil membuat banyak habitat baru. Kancil itu menghadirkan perubahan. Bukan hanya harimau yang ruang geraknya dipersempit, arena bermain monyet dan babon pelayan pun dibatasi. Maka, warga rimba di kavlingnya masing-masing, kata si kancil itu, jadilah cerdik. Beranilah melawan jika diancam. Tapi, jangan mengancam. Beranilah bersikap, apalagi jika benar.
Para monyet dan babon yang melayani harimau tua itulah pengecut-pengecut pelayan harimau tua. Mengapa harus takut?
Begitulah dunia rimba. Jika Sang Kancil sedang bekerja membuat perbedaan atas dunia rimba yang ada, tidakkah warga rimba selaiknya memberi dukungan? Biarkan auman harimau tua. Abaikan blingsatan kaum monyet dan babon yang masih sibuk melayani sang harimau tua. Warga rimba berlakulah ramah satu sama lain saling mendukung. Jangan takut!
Penulis Adalah Konsultan Manajemen dan Penulis Lepas