Oleh: Satrio Piningit
Dahulu kala, di ujung hutan yang sunyi, ada sebuah kampung bernama Banyu Peteng. Kampung itu kecil, tapi hatinya besar. Orang-orangnya saling sapa. Kalau ada yang jatuh, seribu tangan siap menolong.
Kampung itu terbagi jadi lima penjuru: Pojok Langit, Lurah Embun, Tepi Bara, Teluk Kayu, dan Pintu Angin. Mereka hidup berdampingan, meski caranya berbeda-beda.
Di tengah kampung, ada seorang penjual angkringan bernama Cepu. Warungnya sederhana: gerobak kayu, tikar lusuh, dan teh panas yang tak pernah habis. Tapi dari sanalah cerita-cerita kampung menyebar.
Cepu bukan hanya menjual nasi kucing, tapi juga mendengar dan menyimpan rahasia.
Sampai suatu ketika, datanglah kabar dari utara: “Akan dibangun istana air di tanah kampung ini.” Tanah mereka akan diukur. Rumah mereka akan dipindah. Wajah mereka tak masuk dalam peta baru.
Awalnya, semua bersatu. Mereka berkumpul di bawah pohon beringin tua. Berjanji untuk bertahan, saling jaga, saling percaya. Cepu pun menyediakan teh gratis malam itu, “Biar tenang kepala kalian,” katanya sambil tersenyum.
Tapi seperti teh yang dingin jika dibiarkan, janji itu mulai kehilangan hangatnya.
Pojok Langit merasa mereka paling dulu harus diselamatkan. Lurah Embun menyimpan jalurnya sendiri. Tepi Bara mulai tawar-menawar dengan utusan kerajaan. Teluk Kayu diam dan memilih tidak ikut ribut. Pintu Angin mengirim satu orang—yang diam-diam mencatat nama-nama, lalu membisikkannya ke telinga lawan.
Cepu melihat semuanya, mendengar semuanya. Tapi dia bukan orang penting, katanya sendiri. “Aku hanya penjual angkringan. Tak punya kuasa, cuma punya kuping.” Namun entah kenapa, semua orang tetap duduk di warungnya tiap malam. Bahkan orang-orang kerajaan pun mampir, kadang hanya untuk makan sate telur dan ngobrol sebentar.
Hari demi hari. Suara jadi bisik. Bisik jadi tuduh. Tuduh jadi diam.
Sampai akhirnya, pohon beringin tempat mereka biasa berkumpul, ditebang diam-diam malam hari. Tanah kampung mulai digali. Orang-orang pergi satu per satu.
Di ujung cerita, hanya warung angkringan Cepu yang masih menyala lampunya. Ia duduk sendiri, menyeduh teh, menatap tanah yang sudah retak dan tak lagi ramah. Seseorang bertanya padanya: “Kenapa kamu masih di sini, Cepu?”
Cepu menjawab lirih: “Karena aku belum lupa rasa teh yang dulu diminum bersama.” “Dan karena aku tahu, yang menghancurkan kampung ini… bukan orang luar. Tapi kita sendiri.”
Kini, Banyu Peteng tinggal nama. Hilang bukan karena badai,
bukan karena kekuatan besar, tapi karena rasa percaya yang dibunuh perlahan dari dalam.
Dan satu-satunya yang tersisa adalah batu nisan tua di tengah bekas angkringan, bertuliskan: “Di sini pernah tinggal orang-orang baik,
yang lupa menjaga kebaikan bersama.”
Jadi bila kau tinggal di kampung, dan mulai merasa sudutmu lebih penting dari kampungmu, ingatlah dongeng ini. Ingat Cepu.
Ia tak berteriak, tapi ia tahu: Kebersamaan bisa hancur hanya karena kita diam saat perpecahan mulai tumbuh.
SerikatNews.com adalah media kritis anak bangsa. Menyajikan informasi secara akurat. Serta setia menjadi platform ruang bertukar gagasan faktual.
Menyukai ini:
Suka Memuat...