Pulang, novel karya Leila S Chudori bisa menjadi salah satu referensi bagi yang ingin mencari tahu sisi lain kehidupan masyarakat Indonesia periode 1965. Membaca buku ini kita akan dibawa pada tiga peristiwa bersejarah sekaligus; Gerakan 30 September 1965, Revolusi Paris, Perancis 1968 dan kerusuhan Mei 1998 dengan alur drama keluarga, persahabatan, cinta dan penghianatan.
Serangkaian tragedi yang diyakini terjadi pada kala itu. Para tahanan politik yang direnggut kemerdekaannya dan keluarganya, mahasiswa yang sedang belajar di luar negeri, wartawan yang melakukan peliputan ke luar negeri, yang tak bisa kembali ke tanah air karena paspornya dicabut oleh pemerintah Indonesia. Memaksa mereka mengelana tanpa status kewarganegaraan, stateless, mencari suaka dan akhirnya menetap. Kita tak bicara ratusan jumlah, kita bicara ribuan. Yang kemudian diketahui hingga 20 tahun lebih baru bisa kembali ke tanah air. Sebagian meninggal tanpa sempat bertemu keluarganya di Indonesia, sebagian lagi yang karena takut dan menyimpan trauma memilih untuk tak kembali.
Presiden Joko Widodo menyarankan untuk dibuat kembali film penghianatan G30S PKI dengan versi baru. Belajar sejarah itu penting, tapi untuk anak-anak dan generasi milenial harus disesuaikan. Agar mereka tahu tentang bahaya komunisme. Begitu pernyataan Presiden ketika dimintai tanggapannya oleh wartawan terkait rencana pemutaran film G30S PKI oleh panglima, jenderal TNI Gatot Nurmantyo kepada seluruh jajaran TNI.
Pada dasarnya paham komunisme itu tidak menghormati HAM. Tujuan mereka adalah mewujudkan masyarakat yang makmur, tanpa kelas dan bahwa semua orang itu sama. Tetapi untuk mewujudkannya, ada fase diktator proletariat yang bertugas membersihkan kelas lawan komunisme karena menganut sistem politik satu partai, yaitu partai komunis, tanpa oposisi. Sasaran utama mereka adalah golongan masyarakat yang masih lemah ketahanan ideologinya, kelompok pemuda, pimpinan ormas, mahasiswa berjiwa liberal dan perwira-perwira muda angkatan bersenjata.
Saya sangat setuju dengan bapak Presiden untuk dibuatkan film baru. Tak perlu disangkal lagi jika film G30S PKI adalah pembelokan sejarah. Film karya sutradara Arifin C Noer tahun 1984 itu sepenuhnya dibiayai oleh pemerintah sebagai bagian dari propaganda untuk menyalahkan PKI. Mengutip sejarawan LIPI, Asvi Warman Adam, “Film itu bertujuan untuk membentuk citra pemerintah saat itu”. Ya. Propaganda. Untuk menguntungkan penguasa. Bahwa Soeharto berjasa dan Sukarno seorang peragu dan penghianat bangsa. Film G30S PKI yang diputar serentak di seluruh pelosok nusantara setiap tanggal 30 September malam itu efektif mencapai tujuan. It was done creatively … Mission accomplished, General! Hingga akhirnya dihentikan pemutarannya pada 1998.
Dengan memutar film G30S PKI ini kembali, membuat banyak pihak berkeyakinan bahwa demokrasi kita mengalami kemunduran dan kemungkinan rekonsiliasi dengan mereka yang dituduh PKI dan keluarganya akan semakin jauh. Apakah ini kepentingan politis? Sebuah pemanasan menjelang Pilpres?
Pertanyaan kemudian adalah jika film tentang penghianatan G30S PKI diperbarui seperti usul bapak Presiden, apakah ada jaminan terbebas dari intervensi pihak manapun? Dengan menganut sejarah versi siapa? Cukup menurut korban seperti novel “Pulang” (2013) karya Leila S Chudori atau “Surat dari Praha” (2016) yang juga terinspirasi dari kisah kehidupan para pelajar Indonesia di Praha yang tidak bisa kembali akibat perubahan situasi politik di tanah air pasca gerakan 30S? Atau novel “Ronggeng Dukuh Paruk” (1982) karya Ahmad Tohari yang mengambil latar seorang penari pada 1965 yang menjadi tahanan politik setelah desanya dibakar dan dihancurkan oleh tentara? Membuat Dukuh dan para penghuninya yang terkenal dengan tarian dan musik penagih berahi itu terseret ke arus konflik dan divonis sebagai manusia-manusia pengkhianat negara? Pada 2011 novel ini di film kan dengan judul “Sang Penari”. Tak bertahan lama di bioskop – bioskop 21.
Atau mengambil sejarah dari sisi keluarga tentara yang diculik pada dini hari 1 Oktober 1965? Nani Nurrachman Sutojo, puteri Mayor Jenderal (Anumerta) Sutojo Siswomihardjo mencurahkan kisahnya dalam buku: Kenangan Tak Terucap, “Saya, Ayah dan Tragedi 1965” (2013). Pulang, Ronggeng Dukuh Paruk, Surat dari Praha, Kenangan Tak Terucap dikemas secara ilmiah dari segi sejarah orang yang mengalami, dalam bentuk sastra dan pengaruh sosial politiknya di kemudian hari.
Sebuah film dokumenter karya sutradara Garin Nugroho dalam film “Puisi Tak Terkuburkan” (2000) bahkan meraih berbagai penghargaan di perhelatan film luar negeri. Film hitam putih ini mengambil kisah nyata seorang penyair, Ibrahim Kadir yang memainkan perannya sendiri dalam film itu. Ketika ia dipenjara tahun 1965 di tanah Gayo, Aceh dan akhirnya dilepaskan karena ternyata salah tangkap. Perjalanan batin yang teramat berat ketika selama berada di penjara, ia bertugas mengarungi kepala rekan-rekan sepenjara yang ditembak mati, tanpa kejelasan pengadilannya. Dan mereka yang masih hidup di penjara juga tidak tahu kapan atau apakah mereka juga akan mendapat giliran untuk dieksekusi. Sebuah puisi indah tercipta dalam penantiannya yang tak bertepi …
Film dokumenter lainnya dari pengakuan sang penjagal di Sumatera Utara yang menganggap apa yang dilakukannya adalah sesuatu yang heroik seperti yang ia kisahkan dalam film “The Act of Killing” (2012) karya sutradara Amerika, Joshua Oppenheimer? Film yang mendapat berbagai penghargaan, diantaranya Film Dokumenter Terbaik pada British Academy Film and Television Arts Awards 2013 dan nominasi Film Dokumenter Terbaik pada Academy Awards ke-86 ini sempat membuka mata masyarakat Indonesia dan dunia tentang fakta peristiwa G 30 S PKI dari sudut pandang yang berbeda dengan yang telah dikonstruksi selama ini. Membingungkan memang, namun film ini memuat potongan fakta pembunuhan terhadap PKI yang sulit terbantahkan. Oppenheimer juga merilis film “Senyap” (2014) yang menghadirkan kenyataan hidup para korban diskriminasi masyarakat dari sudut pandang keluarga penyintas.
Sejarah memang perlu ditulis ulang berdasar temuan faktual dan suara dari mereka yang disisihkan dan diabaikan selama ini. Menganggap paham komunisme akan bangkit lagi di Indonesia? Sepertinya berlebihan. Sebagai ideologi, komunisme sudah pailit. Hanya orang paranoid dan culas yang percaya bahwa komunisme itu masih ada. Apakah orang-orang tua 80 tahun yang dituduh PKI itu berbahaya? Untuk mengikuti diskusi di YLBHI saja dihalang-halangi.
Jika sejarah memang tak mampu atau belum saatnya untuk diluruskan, apakah ini artinya para sineas dan penulis kita diberi kebebasan untuk berimajinasi dalam tanjung khayalan mereka tentang G30S PKI? Saya yang lahir akhir 1970 tak tahu harus memercayai sejarah versi siapa. Yang saya tau ketika pulang ke rumah membawa buku tetralogi pulau Buru karya Pramudya Ananta Toer, ibu saya seketika mengatakan “Penulisnya PKI, ngapain dibaca?” Saat itu saya sedang membaca “Bumi Manusia” pada bagian Annelis dan Minke yang dipisahkan oleh takdir. Sedih .. dan semakin sedih karena untuk sebuah karya sastra pun harus dikotak-kotakkan? Betapa mahalnya rekonsiliasi di negeri tercinta ini .. Betapa dalamnya benci yang diturunkan dari generasi ke generasi.
Penulis adalah News Presenter BeritaSatuTV dan Tenaga Ahli DPR RI, Jakarta
Mahasiswi Program Doktor Ilmu Kriminologi UI
Baru-baru ini meluncurkan buku Kumpulan Cerpen; Apple Strudel
Chat Nastiti untuk informasi lebih lanjut melalui Twitter/Instagram @nastitislestari
Menyukai ini:
Suka Memuat...