Konfusius memberi nasehat: “Setiap kali kamu melihat orang besar, pikirkanlah bagaimana kamu bisa menirunya.”
Orang Minang saat ini sebenarnya cukup beruntung punya banyak contoh dari generasi sebelumnya untuk bisa ditiru, antara lain Tan Malaka dan Hatta. Mari kita bandingkan kedua orang ini.
Hatta pernah bersumpah bahwa dia tidak akan menikah sebelum Indonesia merdeka dan ini dibuktikannya dengan menikah setelah Indonesia diproklamasikan pada usia yang cukup tinggi untuk ukuran jaman itu.
Yang menarik sebagai mas kawinnya, Hatta memberikan buku Alam Pikiran Yunani yang mulai ditulisnya sewaktu di Digul. Hatta lalu dipindahkan ke Pulau Banda yang indah bersama Syahrir oleh pemerintah kolonial setelah mendapat kritik keras karena menempatkan kedua orang ini di belantara Boven Digul yang penuh malaria. Ganasnya Boven Digul ini bisa disetarakan dengan Gulag di Siberia tempat pembuangan bagi para pembangkang Stalin. Cerita tentang Boven Digul ini sangat menarik dipaparkan oleh Chalid Salim, yang merupakan adik kandung Agus Salim tapi merupakan pengikut setia Tan Malaka dan aktif di PARI (Partai Republik Indonesia) yang didirikan setelah pemberontakan PKI tahun 1927 dihancurkan Belanda. Chalid Salim memberi judul bukunya 15 tahun di Digul yang isinya tidak kalah menarik dibandingkan buku Gulag Archipelago karangan Solzhenitzyn pemenang nobel sastra dari Rusia yang hidup di pembuangan Gulag.
Baca Juga: Gejolak Ekonomi, Kebangkitan Islam dan Gerakan Padri: Minangkabau 1784-1847 (Seri INIS #12)
Ketika Jepang masuk, Chalid Salim diterbangkan oleh sekutu ke Australia dan menikah dengan orang kulit putih dan masuk agama Kristen. Haji Agus Salim ketika diberitahu bahwa adiknya telah masuk Kristen, menjawab dengan jenaka “Baguslah ada kemajuan adiknya sekarang karena dia dulunya adalah seorang komunis”. Walaupun kita tahu bahwa komunis itu tidak identik dengan ateis.
Kengerian Bovel Digul ini begitu menakutkan sehingga Sukarno sewaktu dikabarkan akan dibuang ke sana telah menulis surat permohonan pada Gubernur Jendral Hindia Belanda untuk minta keringanan agar ditempatkan saja di Ende Flores. Konon kabarnya kalau Bung Karno pesawatnya melintas di atas Boven Digul dia berdiri memberi penghormatan.
Di Pulau Banda yang lebih sehat Hatta berjumpa dengan dr.Tjipto Mangunkusumo yang telah menetap lebih dulu sebagai orang buangan. Di Banda Neira yang indah dengan pemandangan laut menghampar Bung Hatta melanjutkan menulis buku Alam Pikiran Yunani yang terkenal itu.
Lantas apa isi buku Alam Pikiran Yunani?
Bung Hatta menulis tentang para filsuf Yunani Klasik yang berpengaruh. Tentu saja Bung Hatta menulis dengan bantuan literatur yang cukup memadai.
Di antara filsuf Yunani ini adalah Socrates yang pikirannya dibaca orang hingga hari ini. Socrates ini adalah orang yang paling revolusioner pada jamannya, yang metode berpikirnya dilakukan dengan melakukan pertanyaan terus menerus dengan orang yang diajaknya berdiskusi hingga sampai kesimpulan akhir bahwa mereka akhirnya ternyata mengakui kenyataan tidak mengetahui apa-apa.
Ternyata metode ini meresahkan penguasa saat itu dan berbahaya bagi rezim karena telah menghasut para generasi muda dengan pertanyaan yang meresahkan.
Socrates mengajarkan pada para pemuda bahwa “Suatu kehidupan yang tidak diteliti bukanlah kehidupan yang patut dijalani bagi seorang manusia”.
Socrates dianggap orang yang paling bijaksana pada jamannya karena dia menyadari dengan sepenuhnya bahwa dia tahu bahwa dia tidak tahu apa-apa. Ini tentu saja sangat bertentangan dengan para orator pada jaman itu yang merupakan para politikus demagog yang merasa serba tahu apa saja. Oleh karena itulah Socrates dianggap berbahaya dan difitnah lalu dijatuhkan hukuman mati. Socrates lalu melahirkan murid Plato dan Aristoteles yang ketiganya membentuk Alam Pikiran Yunani yang dikagumi oleh Bung Hatta. Alam Pikiran Yunani ini melahirkan banyak singa pikiran dan diakui peradaban Barat sebagai sumber peradaban mereka. Di sana juga terdapat Demokritus dan Epikurus yang dianggap sebagai bapak atom dan dianggap sebagai bapaknya ateisme dunia lama.
Bandingkan dengan Tan Malaka yang menganggap bahwa buku Madilog adalah pusaka yang diterimanya dari merantau menjelajahi dunia Barat baik secara fisik maupun pikiran. Tan Malaka awalnya berangkat dari Nietzche sebagai thesis yang merupakan filsuf yang mengajarkan pemikirannya melalui syair seperti Zarathustra. Nietzche ini pun merupakan pengagum pemikiran Yunani Kuno, dan mengganggap filsafat Kristen telah melemahkan semangat pemikiran bebas Yunani dan keluarlah sabdanya “Tuhan telah Mati”. Sabda Nietzche ini tentu sangat mengerikan buat gereja dan melahirkan para pengkritik agama di kemudian hari. Lalu sebagai anti thesis Tan Malaka menemukan Rosseau, filsuf pencerahan yang melahirkan Revolusi Perancis dengan semboyan Kemerdekaan, Persamaan, Persaudaraan. Dan terakhir sebagai synthesisnya Tan Malaka menemukannya dalam diri Karl Marx yang mengatakan para filsuf sebelum dirinya sibuk memikirkan dunia, tapi tugas para filsuf yang terpenting adalah mengubah Dunia.
Bagi Tan Malaka sewaktu muda para filsuf ini memukaunya karena dampak politik yang ditimbulkan oleh pemikiran mereka. Nietzche diagungkan oleh Partai Nazi sebagai filsuf yang mendukung keunggulan ras Arya, Rousseau adalah filsuf penting bagi lahirnya Revolusi Perancis, dan tentu saja Marx dengan filsafatnya yang menggugat kapitalisme yang melahirkan Revolusi Rusia telah menakutkan borjuasi di seluruh kerajaan di Eropa pada waktu itu.
Seiiring dengan bertambahnya usia dan pengalamannya di berbagai negara selama pembuangannya pemahaman Tan Malaka atas filsafat Marx yang politis menjadi lebih luas pada Marx seorang kritikus peradaban Barat secara keseluruhan. Melalui filsafat Marx, Tan Malaka menemukan bahwa revolusi mental untuk mengubah mental feodalisme bangsanya harus dilakukan dengan cara berpikir Madilog. Maka Tan Malaka pun berubah dari seorang komunis ortodoks yang identik dengan Lenin berubah ke arah yang lebih humanis dan nasionalis dengan mendirikan Partai Republik Indonesia (PARI) dan akhirnya mendirikan Partai Murba.
Militansi dan revolusionernya Bung Hatta dan Tan Malaka berangkat lebih dulu dari revolusi pikiran dalam diri mereka dengan membaca pikiran para filsuf walaupun mereka berdua tidak belajar filsafat secara akademis seperti para mahasiswa filsafat.
Penulis adalah anggota Tan Malaka Institute (TMI)
Menyukai ini:
Suka Memuat...