Oleh: Mas Bro
Mari kita telaah. Tahun kisruh politik 2016 sampai 2017 akan segera berakhir. Jika publik menilai akan memanas, itu hanya satu arah. Arah dari perspektif kepentingan politik. Keseimbangan pemikiran dan strategi yang terus diadu akan menghasilkan kuliminasi pilihan: menang atau kalah.
Penempatan head-to-head Jokowi versus Islam radikal,Jokowi versus non-NKRI, Jokowi versus mafia, Jokowi versus teroris, Jokowi lawan bandar narkoba, Jokowi lawan preman, Jokowi lawan budaya korup, adalah simplisifikasi alias penyederhanaan perang politik Pilpres 2019. Benarkah?
Pemilahan isu seperti itu bukanlah hal sederhana. Publik pun paham bahwa penempatan dan pemilihan isu itu tidak terlalu tepat. Karena sesungguhnya semua itu adalah musuh NKRI, musuh Negara, yang mengancam keutuhan Indonesia. Itu bukan penyederhanaan. Itu kesengajaan.
Para musuh politik Jokowi secara sporadis dan secara bersama melakukan penggalangan yang sangat cerdas. Bertahap. Musti diakui telah terjadi mobilisasi dan pertemuan-pertemuan untuk menggerakkan sentimen anti Jokowi sejak 2011. Sejak penolakan Jokowi-Ahok yang dicalonkan memimpin Ibukota.
Puncak mobilisasi terjadi pada 2014 dan 2015, faktor Ahok didorong oleh politikus semacam Lulung, M. Sanusi, M. Taufik, bahkan Fadli Zon yang berperan sebagai penabuh influencer perang proxy. Isu-isu dibangun dan menemukan bentuknya. FPI, FUI, HTI bersatu padu mencari pendanaan untuk penggalangan massa, (sesungguhnya hanya soal nasi bungkus.)
Di ruang lain, politikus Senayan, dengan dipimpin oleh SBY-JK-ARB-Prabowo memersiapkan rancangan UU MD3 yang dirancang menguasai seluruh kelengkapan dewan dengan PDIP tidak mendapatkan kursi pimpinan sama sekali sebagai pemenang Pileg 2014. Ini upaya pertama penentangan KMP yang kalah di Pilpres untuk mendelegitimasi Presiden Jokowi.
Upaya ini gagal karena peran kekuatan the Operators yang bergerak simultan menghantam the center of gravity pihak lawan. Memasuki 2016, ketika rancangan pemakzulan terhadap Presiden Jokowi Oktober 2015 berantakan, justru kehancuran Koalisi Merah Putih terjadi, maka Plan B dilaksanakan. Ahok dijadikan sasaran antara untuk menghancurkan Jokowi.
Ini membuktikan bahwa grand design yang dilakukan oleh lawan Jokowi sungguh-sungguh telah dirancang dengan memerhatikan :
“faktor waktu,
faktor perkembangan politik,
pendanaan, yang semuanya mengarah pada tujuan besar”:
menjadikan Jokowi sebagai common enemy.
Perkembangan politik dan sosial terus berlangsung. Yang mencengangkan dan belum pernah terjadi dalam sejarah Indonesia terjadi. Kalangan nasionalis Prabowo dengan Gerindra dengan pemikiran khilafah dan transnasional bersatu. Aliansi dengan HTI terjadi. Bahkan PKS dan FPI. Ini sangat menarik.
Apakah penyebabnya?
Muasal pertama adalah kegagalan berkali-kali nyapres dan cawapres, dan frustasi Prabowo dan pendukungnya, dan proses perjuangan gerakan Islam (baik FPI, PKS, HTI, dan seterusnya) yang telah mencapai tahapan al kifaahus siyasi.
Tahapan terakhir ini berwujud pada beberapa amalan seperti :
Pertama, tholabun nusroh (mencari dukungan politis, militer, pengusaha,dsb),
Kedua, masuk dalam pergolakan pemikiran kebangsaan secara terbuka,
Ketiga, melakukan revolusi.
Itulah sebabnya mereka semua bergerak beringas, karena mereka menemukan momentum kebersatuan tujuan dengan merenda ideologi dengan tujuan praktis politis, dengan common enemy: Jokowi.
Karena bersatunya kepentingan tersebut, maka kini muncul suasana berhadap-hadapan antara berbagai elemen kehidupan bangsa dan negara. Faktor ekonomi, politik, sosial, ideologi, budaya, pertahanan, dan keamanan, dijadikan alat dan isu destabilisasi, bukan hanya soal Jokowi, namun persoalan bahaya kehancuran bangsa Indonesia.
Polarisasi terjadi. Bukan hanya politik, tetapi justru mengarah ke disintegrasi bangsa. Cita-cita besar dan ide besar Indonesia Bung Karno hendak dihancurkan oleh pemahaman sempit musuh-musuh bangsa dan negara. Wujud penentangan itu disuarakan keras oleh sekelompok kecil manusia bigot yang menguasai ruang publik informasi.
Nah, dalam menghadapi musuh politik itu, para pendukung Jokowi, yang menginginkan Jokowi dua periode harus melakukan tiga strategi sekaligus.
Pertama, memahami dengan sangat baik gerakan HTI, PKS, FPI dengan segala langkah mereka dan aliansi mereka.
Kedua, memetakan jaringan perkubuan dan pendanaan media dan media sosial antara HTI, FPI, PKS, dan afiliasi mereka baik di lembaga pemerintahan, lembaga negara, swasta, BUMN, dan dunia pendidikan semua jenjang.
Ketiga, melakukan kampanye dan strategi media yang cerdas dan terintegrasi dan bersinergi untuk memenangkan pembentukan opini dan ruang informasi publik baik di media sosial dan mainstream. Ketiga hal ini mendesak dilakukan untuk mendukung Jokowi dua periode. Jika tidak, ancaman bukan hanya terjadap Jokowi, namun NKRI dipertaruhkan. Salam santun.
SerikatNews.com adalah media kritis anak bangsa. Menyajikan informasi secara akurat. Serta setia menjadi platform ruang bertukar gagasan faktual.
Menyukai ini:
Suka Memuat...