SENGKARUT tentang labelisasi Program Keluarga Harapan (PKH) di Kabupaten Sumenep kian hari tampak menjadi-jadi. Pasalnya, program PKH yang bersumber dari Kementerian Sosial (Kemensos) itu ditengarai menjadi bancakan di bawah kendali Dinas Sosial Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Dinsos P3A) Sumenep.
Melalui Koordinator Kabupaten (Korkab) PKH Sumenep, Agus Budi Mulyo yang dominan bertugas menyeleksi dan menentukan penerima PKH di lapangan, program itu terkesan dipolitisasi. Seleksi dan akurasi data yang dikantongi diduga bermuatan penerima yang jauh panggang dari spesifikasi; tidak layak.
Perlu menjadi mafhum bahwa pelabelan itu dilakukan terhadap penerima PKH tidak lain adalah untuk memastikan bahwa orang tersebut benar-benar layak menerima bantuan PKH serta menghindari terjadinya pemberian bantuan. Ada kurang lebih 46.921 titik yang akan dilakukan labelisasi.
Kementerian Sosial (Kemensos) mengeluarkan kebijakan agar rumah penerima bantuan program keluarga harapan (PKH) diberi label. Sehingga, jika dalam proses labelisasi itu ditemukan rumah penerima yang dianggap mampu, labelisasi tetap dipasang. Namun, penerima akan dicatat untuk kemudian dilaporkan kepada Kemensos.
Dari serangkaian agenda tersebut, pemerintah bertujuan untuk memberikan perlindungan sosial kepada masyarakat yang benar-benar membutuhkan. Diharapkan dengan adanya program tersebut dapat membantu mengurangi beban ekonomi keluarga miskin dan rentan. Pun tidak tepat sasaran.
Skenario Korkab PKH di Pentas Tontonan
Bermula dari upaya konfirmasi kepada pendamping PKH di wilayah Kecamatan Guluk-Guluk wabil khusus di Desa Bragung. Namanya juga Agus, merupakan pendamping PKH di desa tersebut mengatakan bahwa labelisasi PKH itu tidak turun ke pendamping melainkan dari dinas langsung ke desa.
“Stiker itu bukan melalui pendamping tetapi dari dinas langsung ke desa,” demikian jawaban singkat Agus, Jumat (29/3/2024).
Dari jawaban singkat itu, timbullah kecurigaan atas disisihkannya pendamping PKH dalam proses penyematan labelisasi tersebut. Padahal, bila menelisik kinerjanya, pendampinglah yang paling dominan dan sangat paham medan antara penerima yang masuk kategori layak dan tidak.
Kemudian kecurigaan selanjutnya, Korkab PKH Sumenep diduga ada unsur kesengajaan dengan tidak melibatkan pendamping PKH dalam penyematan labelisasi PKH, melainkan menerjunkan Tagana dan sejumlah relawan yang berpotensi kooperatif dalam bekerja.
Padahal, peran pendamping PKH sangat urgen dalam mengawal penerimaan PKH guna memantapkan akurasi data. Bahkan seperti adanya rumah megah milik penerima manfaat, pendamping PKH juga wajib bertanggung jawab untuk mendiskualifikasi keluarga penerima manfaat (KPM) dan digantikan ke yang lebih layak.
Makanya dengan adanya labelisasi ini, seharusnya pendamping PKH juga berperan aktif guna meminimalisir adanya ketidaktepatan sasaran program. Bukankah begitu?
Agus Budi Mulyo dengan kelengkapan kuasanya sebagai Korkab PKH Sumenep diduga memainkan skenario cukup apik di pentas tontonan. Dengan anggaran labelisasi PKH sebesar Rp200 juta yang bersumber dari Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) dapat didramatisir bak film India Brahmastra.
Pun anggaran Perdin PKH yang membuncit di tubuh Dinsos P3A Sumenep dengan persediaan setahun Rp1.367.040.000 diduga tidak sebanding dengan kegiatan pendampingan yang dilakukan.
Maka dari itu, periksalah Korkab PKH Sumenep. Ditengarai lakon yang dipentaskan Agus Budi Mulyo adalah untuk mencari ruang aman dari kerawanan bantuan sosial yang sering menjadi sorotan dan bancakan. Sekian!
Jurnalis Serikat News Sumenep, Jawa Timur
Menyukai ini:
Suka Memuat...