Presiden Joko Widodo tak mau berlama-lama.
Sejak ada informasi bahwa ada jembatan roboh di jalur Padang-Bukittinggi pada hari Senin, 10 Des 2018 lalu, dalam 48 jam sudah dilakukan pemasangan jembatan sementara sepanjang 36 meter oleh Kementerian PUPR.
Jembatan sementara ini akan selesai dalam waktu lima sampai tujuh hari. Hitungannya memang harus cepat, karena jalur ini adalah jalur paling vital di Sumatera Barat. Padang-Bukittinggi adalah urat nadi ekonomi dan pergerakan manusia dan barang, menghubungkan dua kota terpenting di provinsi ini.
Infrastruktur memang sangat kunci dalam ekonomi hari ini. Bayangkan, satu jembatan ini putus, masyarakat Minang harus memutar jalan dengan jarak 3-4 kali lipat lebih jauh jika hendak bepergian dari atau menuju Padang-Bukittinggi. Pilihannya adalah melalui pesisir pantai barat di Pariaman, atau memutar ke timur melewati Danau Singkarak.
Jangan tanya waktu tempuhnya. Jangan tanya pula biaya ekstra yang harus dikeluarkan. Jangan tanya pula jika Pemerintah bergerak lambat tak segera membuat jembatan darurat.
Jarak Padang-Bukittinggi sebenarnya kira-kira 90 km saja. Normalnya, bisa ditempuh dalam waktu kurang dari 3 jam. Dalam kondisi darurat, jarak tempuhnya bisa menjadi sekitar 250-300 kilometer memutar. Memang ada jalur tikus yang lebih singkat, tapi pasti bukan untuk kendaraan berukuran besar yang membawa bahan makan atau minum atau apapun.
Berapa biaya ekstra yang harus dikeluarkan akibat ketiadaan infrastruktur jembatan ini? Siapa yang harus menanggung beban ini? Apa dampak ekonominya dalam jangka pendek dan menengah akibat keterputusan infrastruktur ini?
Sudah pasti tiga kali empat kali lipat biayanya. Itupun hitungan minimum. Perkiraan maksimumnya berapa? Tidak tahu! Tergantung pakai mampir-mampir atau tidak, tergantung barang dan logistik yang dibawa, tergantung dari mobil yang dipakai.
Intinya, betapa kita sungguh menderita akibat ketiadaan infrastruktur seperti jalan atau jembatan.
Dari Sumatera Barat, kita jadi tahu, kita memang tidak makan atau minum infrastruktur. Tapi kita butuh infrastruktur untuk bisa makan dan minum dengan harga terjangkau. Dan ketiadaan atau kelumpuhan infrastruktur membuat apa yang kita makan, yang kita minum, jadi lebih mahal.
Maka, kehadiran jembatan sementara berupa jembatan rangka baja tersebut diharapkan dapat membuka kembali lalu lintas Kota Padang – Bukittinggi yang sebelumnya terputus. Juga menekan biaya ekstra yang harus dikeluarkan warga dalam kondisi darurat dan sementara.
Gubernur Sumatera Barat Irwan Prayitno berharap dengan sangat supaya pekerjaan permanen jembatan ini dapat diselesaikan dengan tepat waktu. “Ruas jalan ini merupakan jalur paling strategis dan memiliki peranan vital bagi masyarakat Ranah Minang,” kata Pak Gubernur.
Jalan tersebut juga merupakan salah satu urat nadi perekonomian Sumbar karena jalur pariwisata ke Bukittinggi, Batusangkar, Payakumbuh, dan Limapuluh Kota. Di samping itu, ia juga merupakan jalur transportasi ke Provinsi Riau dan menghubungkan beberapa kabupaten kota lain, serta jalur distribusi dan logistik pangan.
Sepuluh miliar anggaran untuk membangun kembali satu jembatan yang putus ini mungkin mahal. Tapi bisa jadi sangat murah, jika dibandingkan dengan beban-beban ekstra yang harus dikeluarkan akibat ketiadaan atau kerusakan infrastruktur seperti yang ada di Sumatera Barat ini.
Makin lama menunggu, sudah barang tentu makin berat bebannya buat warga sekitar dan pengguna reguler. Makin mahal biaya ekonominya. Makin lama penderitaan warga di sana.
Itulah mengapa Pak Jokowi tak mau berlama-lama.
Kantor Staf Presiden (KSP)