MASA DEPAN INDONESIA POROS MARITIM DUNIA DITENGAH PERTEMPURAN POLITIK KEPENTINGAN DAN KERINGNYA GAGASAN PENYADARAN MARITIM
Laporan Serikat News
Selasa, 13 Juni 2017 - 03:42 WIB
Foto: Dokumen Pribadi
Oleh: Irwan. S
Setelah energi terkuras oleh hiruk pikuk Pilkada DKI dan isue politik sektarian hingga ancaman akan adanya ISIS di Indonesia, kita seakan melupakan sebuah agenda penting bangsa ini untuk mewujudkan visi besar bertajuk Indonesia Poros Maritim Dunia yang dicanangkan oleh Presiden Jokowi sejak awal masa pemerintahannya.
Visi agung tersebut seakan tenggelam dalam kuatnya arus agenda politik yang bukan hanya menyerap hampir segenap kekuatan dan perhatian, tapi juga kemudian mulai dipertanyakan hasilnya.
Beberapa saat lalu, seorang kawan dalam sebuah grup whatsapp menyatakan gugatannya pada Presiden Jokowi atas pendapatnya yang mengemukakan bahwa Visi Poros Maritim Dunia yang dicanangkan telah gagal. Asumsi yang dibangun olehnya adalah fakta bahwa ditengah maraknya isue maritim, bisnis usaha pelayaran di Indonesia justru mengalami kelesuan dan terancam mati. Bahkan perusahaan negara seperti Jakarta Loyd yang bergerak dalam jasa pengangkutan barang dan jasa lewat laut dapat dipastikan tutup. PELNI, sebagai perusahaan negara yang bergerak dibidang pelayaran pengangkutan penumpang-pun mulai redup.
Para aktivis anti pemerintah lantas saja mempropagandakan kegagalan Visi Poros Maritim Dunia dan Program Nasional Tol Laut. Mereka menuding, Jokowi hanya beretorika tapi gagal mewujudkan visi dan program tersebut.
Benarkah Jokowi gagal mewujudkan Visi Indonesia Poros Maritim Dunia dan Program Nasional Tol Laut?
Mari kita perjelas mengapa ditengah isue maritim, perusahaan negara dan swasta di bidang pelayaran justru mati. Disinilah kelemahan dari para pendukung Jokowi yang mengabaikan propaganda politik dari luar dengan hanya sibuk melakukan puja puji, yang justru tidak membangun sama sekali. Saya tidak melihat adanya pertarungan opini yang berbasis ide dan gagasan dalam serangan opini terhadap isue maritim Jokowi, tidak terjadi dialektika. Diseberang sibuk terus menyerang, sedangkan disisi yang lain justru asik masyuk memuji-muji Jokowi. Kondisi ini bukan tidak mungkin akan menjadi ancaman serius pada Jokowi dengan membiarkan pembenaran tuduhan kepadanya bahwa maritim bukan milik rakyat Indonesia, maritim hanyalah milik Jokowi dan para pendukungnya. Ini sesat.
Tetapi apakah kesesatan hanya kita tujukan kepada para lawan politik yang menghembuskan kegagalan visi maritim Jokowi, atau seharusnya kesesatan juga kita tudingkan kepada para pendukung Jokowi yang tidak kunjung bergerak cepat, bukan hanya meluruskan kekeliruan dari opini tersebut, tapi juga bergegas turun ke basis untuk melakukan gerakan penyadaran kepada rakyat bahwa Visi Indonesia Poros Maritim Dunia dan Program Nasional Tol Laut adalah untuk sebesar-besarnya kepentingan bangsa dan negara, untuk sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat. Hampir tidak ada terobosan gagasan yang faktual dan membumi untuk melakukan kerja-kerja nyata demi mendukung Jokowi. Mereka disibukkan oleh aktivitas memuji-muji, atau paling hebat melakukan seminar, diskusi, sarasehan yang dana pelaksanaanya mengharapkan partisipasi lembaga-lembaga negara. Yang lebih mengerikan, sebagian diantaranya sibuk mempersepsikan visi dan program maritim Jokowi sebagai proyek, sebagai ajang menggerogoti uang APBN. Mereka mengalami disorientasi.
Kembali kepada fakta bahwa di era maritim saat ini, terjadi anomali tentang matinya bisnis usaha pelayaran swasta dan negara. Khusus Jakarta Loyd, tampaknya BUMN ini mau tidak mau harus dibiarkan kolaps dan mati mengingat biaya untuk menyelamatkannya karena perkara hutang menjadi terlalu besar. Dalam konteks bisnis, hal itu tentu saja tidak efisien. Negara lebih hemat jika membangun perusahaan negara bidang pengangkutan barang dan jasa lewat laut yang baru ketimbang harus menyelamatkan Jakarta Loyd yang terbelit hutang terlalu besar. PELNI, bukankah PELNI bahkan sudah disubsidi ratusan miliar oleh pemerintah untuk meningkatkan kinerja mereka, tapi tak juga kunjung membaik malah justru menurun. Akhirnya harus diakui bahwa penyebabnya adalah terjadinya miss-management, sebuah langkah manajerial yang keliru yang dilakukan dalam internal PELNI. Apakah rakyat tahu fakta ini? Apakah pendukung Jokowi sudi berlelah-lelah menyampaikan kenyataan ini kepada rakyat? Jangan-jangan banyak dari mereka justru tidak paham juga tentang hal ini.
Untuk bisnis pelayaran swasta, saat ini mereka sedang mengharapkan negara memberikan subsidi kepada mereka agar dapat bertahan hidup. Persoalannya bukanlah apakah subsidi diberikan atau tidak, kita harus juga memahami mengapa mereka terseok-seok. Persoalan paling mendasar bagi mereka adalah karena performa usaha pelayaran niaga yang dimiliki amatlah buruk, sehingga menjadi tergopoh-gopoh ketika harus bersaing dengan usaha asing sejenis. Berikutnya, mereka hampir rata-rata membangun bisnisnya dengan biaya yang amat fantastis, hal ini tentu saja berdampak kepada upaya mereka mengelola keuntungan usaha, ini yang tidak mereka hitung. Disamping tentu saja muncul beberapa varian persaoalan yang ditinggalkan oleh pemerintahan-pemerintahan sebelumnya, seperti maraknya pungli dan praktik pemerasan di laut dan pelabuhan-pelabuhan, dan yang klasik adalah sedikitnya barang yang bisa diangkut dan pengangkutan barang dan jasa biaya tinggi ke kawasan Indonesia timur. Terjadi over-supply, kapal pengangkut barang banyak tapi barang yang diangkut tidak ada. Mereka menyalahkan pemerintah Jokowi untuk itu. Padahal kelewat banyaknya kapal pengangkut barang bukan mendadak datangnya, tapi itu terjadi sejak lama, dimana beberapa oknum pengusaha hitam menjadikan bisnis kapal pengangkutan barang sebagai ajang mencuci uang gelap. Mereka tidak perlu menghitung apakah uang yang dikeluarkan untuk membangun kapal pengangkut barang akan kongruen dengan prospek usahanya. Saat itu, dalam banyak kasus, mereka membangun kapal pengangkut barang hanya untuk ‘menyelamatkan’ uang gelap agar tidak disita negara.
Dalam kondisi tersebut, Jokowi tiba-tiba mengobarkan Visi Indonesia Poros Maritim Dunia dan Program Nasional Tol Laut sebagai pengejawantahan visi tersebut. Kontan, beberapa pihak yang tadinya berharap bisa meraup keuntungan dari program tersebut justru terancam gulung tikar.
Dalam banyak tulisan, saya menjelaskan definsi Tol Laut secara sederhana dan gamblang, tidak berbelit-belit sehingga justru malah tidak dimengerti. Dalam perspektif saya, Tol Laut adalah “jalur pelayaran niaga berbasis pelabuhan-pelabuhan yang BEBAS HAMBATAN dari kejahatan pemerasan di tengah laut dan praktik pungli dan prosedur biaya tinggi di pelabuhan”, sesederhana itu. Output dari program ini yang paling mendasar adalah terjadinya distribusi barang yang merata dari wilayah barat ke timur dan sebaliknya, yang mana akan menciptakan harga barang yang sama dari barat hingga ke timur. Tapi kita tidak boleh melupakan penyangga dari program Tol Laut agar output tersebut dapat dicapai, hal itu ialah bahwa khusus wilayah timur Indonesia harus dirubah karakteristiknya dari kawasan konsumsi menjadi kawasan produksi yang berarti harus dilakukan pembangunan industri yang sinergis dengan potensi dan kenbutuhan lokal. Untuk itu, Jokowi melakukan percepatan pembangunan infrastruktur, kelistrikan dan pengadaan air untuk mendukung bukan hanya performa pelabuhan, tetapi juga demi lancar, mudah dan murahnya pendistribusian barang dan jasa yang datang ke tiap pelabuhan. Mustahil barang mudah didapat dan harga barang akan murah jika mengangkutnya dari pelabuhan saja perlu waktu lama karena ketiadaan jalan yang memadai.
Lalu siapan yang bertanggungjawab membangun industri di kawasan timur Indonesia? Hanya Jokowi? Tidak. Jokowi membangun industri skala nasional. Tetapi diperlukan jutaan industri skala lokal oleh pemerintah daerah, pengusaha daerah. Mereka harus menciptakan pasar sendiri. Menciptakan demand bagi wilayah lain dengan menciptakan suplai didaerahnya masing-masing. Harus ada kesadaran yang masif dan progresif dari semua pihak di daerah. Bukan hanya menunggu pemerintah pusat yang melakukan akselerasi, tapi juga diperlukan terobosan dari pihak-pihak di daerah. Mereka harus dibangunkan, disadarkan, untuk kemudian diorganisir untuk segera mengekar ketertinggalan langkah. Padahal, setidaknya jika mereka berkehendak membangun industri lokal maka secara sederhana saja mereka dapat membangun industri perikanan (baik perikanan tangkap maupun perikanan budidaya), industri mineral (pembangunan industri tambang dan mineral yang terintegrasi), industri oil dan gas (termasuk terutama pembangunan industri energi terbarukan) dan industri pariwisata. Jika saja keempat industri tersebut bergulir maka menjadi tidak sulit bagi daerah mendapatkan investasi dari luar. Bagaimana investasui bisa masuk jika tidak ada industri yang dibangun dan berjalan.
Jika saja industri terbangun di berbagai kawasan, maka demand terhadap adanya jasa pengangkutan lewat laut akan menjadi tinggi. Akan ada banyak barang yang perlu diangkut dan didistribusikan. Bisnis pelayaran niaga akan bergairah. Sehingga tidak perlu ada kapal menganggur karena tidak ada barang yang diangkut. Persoalan menjadi sederhana jika penyelesaiannya komprehensif dan sistemik. Yang paling mudah begini, pelayaran niaga didalamnya ada kapal pengangkut barang, barang dihasilkan oleh industri baik industri besar maupun kecil, industri menghadirkan market yang memunculkan suply dan demand. Jika ada produksi maka akan ada konsumsi. Jika ada konsumsi maka akan ada pengangkutan barang produksi.
Tetapi pertanyaannya, siapa yang membangun kesadaran seluruh pihak terutama didaerah tentang hal itu? Sedangkan para pendukung Jokowi sibuk hanya memuji-muji Jokowi dan meneriakkan jargon Jaga-Jokowi, tapi enggan bergerak, bisa karena mereka malas, tidak ingin untuk paham dan juga karena mereka terlalu sibuk beretorika. Sebagian pendukung juga hanya sibuk bermain-main dengan uang APBN dengan mengincar proyek negara, sebagian lagi bergumul dengan pertarungan mendapatkan posisi dan jabatan.
Mereka lupa bahwa jika Jokowi tidak didukung mewujudkan visi dan misinya maka tahun 2019 akan menjadi tahun pengadilan terhadap kegagalan Jokowi. Jokowi akan digempur oleh fakta-fakta kegagalan dan ketidakbecusan pelaksanaan programnya. Jokowi sebagai presiden mengeluarkan jargon dan retorika, ia juga akan membangun sistem pelaksanaannya. Tapi para pendukung jangan malah ikut beretorika, pendukung ya seharusnya bekerja mewujudkan retorika tersebut. Lupakan acara-acara seremonial, lupakan untuk harus mendapatkan subsidi dan partisipasi pendanaan dari pemerintah. Lakukan akselerasi dan terus memeras pikiran agar ide dan gagasan terus muncul. Jangan sampai apa yang telah dicapai oleh Jokowi menguap begitu saja dikarenakan tidak ada pendukung yang punya kemauan melakukan gerakan penyadaran.
Dalam Visi Indonesia Poros Maritim Dunia dan Program Nasional Tol Laut pun begitu pula. Diperlukan sebuah gerakan kesadaran yang sistemik dan masif sehingga semua program pemerintahan Jokowi dapat tercapai dan tersampaikan ke basis rakyat. Karena hanya dengan membangun kesadaran rakyat, bukan memanipulasi kesadaran, semua upaya politik kepentingan dan propaganda sesat dapat terpatahkan dengan sendirinya. Opini memang harus dikontra dengan opini. Tapi opini juga dapat dihempas oleh kesadaran pencapaian kerja. Nah, mengapa tidak melakukan kontra opini dengan bekerja?
*Penulis adalah Kordinator GERAKAN NASIONAL SADAR MARITIM, Anggota Dewan Redaksi JURNAL MARITIM, Pengurus Nasional RUMAH GERAKAN 98, Pemerhati Maritim.
Oleh: Mauzun Visioner (Pegiat Literasi) PEMILIHAN Gubernur Jawa Timur sedang mencuri perhatian publik. Pasalnya, Pilgub kali ini menampilkan tiga figur
FIGUR kyai masih menarik untuk dilibatkan atau terlibat pada kontestasi pilkada 2024. Pernyataan tersebut setidaknya sesuai dengan kondisi proses pilkada
PERNYATAAN Sekretaris Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi, Prof. Tjitjik Sri Tjahjandarie tentang “pendidikan tinggi adalah tertiary education, bukan