Di tengah gonjang-ganjing politik pasca Pilpres, ada seorang teman bertanya kepada saya “masihkah Prabowo NU?” Bukankah dulu pernah mendapat Kertanu khusus dari Ketua Umum PBNU? Mendengar cuap-cuap teman tersebut, sontak aku menjawab “ya, iyalah. dia NU. kan pak Prabowo sudah enggak sowan lagi ke PBNU untuk mengembalikan kartu”. Ternyata, jawabanku perlu dikaji lebih lanjut.
Prabowo adalah jagoan petarung Pilpres. Dirinya telah 4 kali unjuk gigi untuk menjadi calon presiden. 2004 Prabowo maju dalam konvensi calon presiden Partai Golkar. Ia kalah. Konvensi dimenangkan Wiranto yang berpasangan dengan Salahuddin Wahid. Di tahun 2004 adalah tahap awal uji coba Pak Prabowo, yang kalah.
Berdasarkan refleksi atas kekalahan ini, 2009 Prabowo sudah berhasil maju sebagai petarung di laga pilpres, sebab ia telah memiliki kendaraan partai sendiri, Gerindra. Namun, karena partai ini masih seusia jagung, Pak Probowo harus legawa menjadi orang nomor dua, ia menjadi cawapres dengan Megawati sebagai Capresnya. Walhasil, pertarungan ini Pak Prabowo kalah.
2014 Gerindra yang telah berusia tahunan sudah bisa berjalan sendiri, bahkan memilih sikap sendiri. Periode ini Prabowo resmi menjadi calon presiden dengan menggandeng Hatta Rajasa (Ketua PAN kala itu) sebagai wakilnya. Namun disayangkan, pemilu kali ini tak berhasil mengganti gelar Pak Prabowo dari petarung pilpres menjadi pemenang pilpres.
Usai dua kali kalah, 2019 Prabowo tetap saja maju sebagai petarung kembali. Entah hasilnya tetap sama, kalah atau menang, masih menunggu hasil keputusan Komisi Pemilihan Umum (KPU) 22 Mei 2019 mendatang. Harapan dari beberapa pihak, semoga kondisi pak Prabowo semakin membaik.
Dari keempat kali pertarungan pilpres yang di dalamnya ada keterlibatan Pak Prabowo, 2019 adalah momen pilpres yang paling menarik dari sosoknya. Jika tahun-tahun sebelumnya Prabowo berhasil menggandeng putri tokoh nasionalis merhanaines, Megawati, 2014 maju bersama tokoh partai Nasionalis Pancasilais, 2019 Pak Prabowo mencoba mendekati kalangan santri, ulama dan bahkan Nahdlatul Ulama (NU) secara kelembagaan.
Kamis, 16 Agustus 2018 Prabowo didampingi Sandiaga Salahuddin Unu—secara politis—bersilaturahmi ke kantor PBNU. Dinilai politis, sebab ada ungkapan “arbitrasi” yang dikeluarkan oleh Pak Prabowo “Saya kira sikap NU sangat wise dan bijaksana, NU tidak akan berpolitik praktis, NU adalah organisasi yang mewakili nahdliyin tapi juga moral, penjaga moral. Semua saya kira kedua pasang akan selalu diingatkan oleh NU ya, dan memang kenyataannya tadi ya, semua pihak NU hadir,” ungkapnya.
Kunjungan Pak Prabowo ke PBNU yang disambut Said Aqil Siraj, membuatnya berbangga hati karena telah diterima dan disambut hangat oleh Ketua PBNU. Lebih dari itu, SAS mengukuhkan Prabowo berhak mendapat Kartu Tanda NU (Kertanu). Realitas ini menjadikan resmi Prabowo sebagai orang NU. Sebab sebagaimana lazimnya, Kertanu hanya dipegang dan digunakan oleh warga NU sebagai bukti legalitas bahwa pemiliknya adalah Nahdliyin Aswajais.
Lebih dari itu, Ketua PBNU menegaskan bawa Prabowo berhak mendapat Kertanu karena dinilai memiliki kedekatan pribadi dengan mantan ketua PBNU, Abdurrahkam Wahid. Bahkan, Gus Dur sendiri pernah menyatakan bahwa Pak Prabowo adalah—satu-satunya—orang yang ikhlas di bangsa ini. “Kalau mencari orang yang ikhlas pada bangsa ini, ya Prabowo,” tutur Gus Dur. Bersamaan dengan itu, Prabowo memiliki kedekatan khusus dengan para habaib di Nusantara. Kedekatannya dengan para habaib yang juga didukung dengan statement Gus Dur beserta Kertanu yang dipeganginya, menjadi suatu daya tawar politik yang tinggi dalam diri Prabowo.
Bertitik tolak dari itu semua, terdapat satu hal mendasar yang mesti diungkap dari sosok Prabowo dan ke-NU-annya. Masihkan Prabowo NU, Nahdliyin Aswajais? Masihkah Prabowo akan cium tangan ulama pembesar NU? pertanyaan ini dapat dijawab dengan pertanyaan “apakah sosok Prabowo mencerminkan sifat dan sikap orang NU?” Tentu jawabannya tidak.
Bagi penulis, Prabowo tidak sama sekali dapat dikatakan NU, bahkah sejauh pasca Pilpres ini masih sulit “baikan” (rekonsiliasi) dengan pembesar NU. Seorang Prabowo hanya akan dipastikan NU yang Aswajais ketika dirinya berani tawasut dalam pola pikir, tawazun dalam hal pendapat, tasamuh dalam bersikap, taadul dalam bertindak. Sehingga, berkat syarat mendasar ini, Prabowo diharapkan meninggalkan pola pandangnya yang keras, sifatnya yang temperamental dan sikapnya yang “egosektoral” main klaim sendiri.
Sikap Prabowo yang banyak dipengaruhi oleh kelompok “Islam garis keras”, Islam cingkrang dan ulama Agen Khilafah semakin menguatkan indikasi bahwa secara ideologis, Prabowo tidak pernah ketemu dengan NU. Islam garis keras beserta ulama Agen Khilafah (HTI cs) menginginkan runtuhnya negara bangsa ini, digantikan dengan Negara Khilafah. Tentu dalam hal ini Prabowo beserta kroninya sudah tidak dapat dimaklumi lagi. Sebab sejauh ini bangsa ini menempatkan iktikad kebangsaan yang arif terhadap seluruh bentuk kemajemukan dan perbedaan di Nusantara setinggi-tingginya. Dan iktikad ini hendak dihancurkan dan digantikan sistem Khilafah. Tentu ini bukanlah sifat dan sikap ala NU.
Lebih dari itu, dengan sangat janggal pak Prabowo mengingkari asas dan komitmen dasar Nahdliyin Aswajais yang kelima. Yaitu, tabayun (klarifikasi). Asas ini adalah nilai paling penting dalam tubuh NU setelah melalui keempat asas sebelumnya. Secara operasional, asas ini menjadi asas alternatif yang meninjau kembali seluruh bentuk penyimpangan dari asas sebelumnya. Bila dilihat konteksnya hari ini, sifat dan sikap yang diambil oleh Prabowo beserta kroninya yang cenderung skandal terhadap konstitusi negara bahkan memuncak dengan seruan makar “people power” menjadi landasan kuat untuk memastikan bahwa sosok petarung pilpres yang sebelumnya telah memegang Kertanu hari ini telah menyimpang jauh dari asas dan iktikad ke-NU-an itu sendiri.
Ahmad Fairozi. Alumni PP. Annuqayah Madura yang sedang menyelesaikan program pasca sarjana di UNUSIA Jakarta.
Menyukai ini:
Suka Memuat...