Nasib Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Larangan Minuman Beralkohol (selanjutnya disebut RUU tentang Larangan MINOL) tak kunjung rampung di tangan DPR RI. Sudah memasuki periode ke-3 sejak proses tahap usulan RUU tersebut pada periode DPR RI tahun 2009-2014. Awalnya usulan RUU tentang larangan MINOL diajukan oleh Fraksi PPP pada periode DPR RI tahun 2009-2014, tetapi dalam periode tersebut RUU tentang larangan MINOL tak kunjung masuk dalam tahap proses pembahasan. Barulah pada periode DPR RI tahun 2014-2019 RUU tentang Larangan MINOL masuk dalam tahapan proses pembahasan bersama pemerintah. Sayangnya, hingga akhir jabatan DPR RI pada periode tahun 2014-2019 pembahasan RUU tentang Larangan MINOL tidak kunjung rampung untuk disahkan menjadi Undang-Undang, hanya stuck di Program Legislasi Nasional (Proglegnas).
Melihat dari laman website resmi DPR RI, RUU tentang Larangan MINOL kembali masuk dalam Prolegnas prioritas pada masa jabatan DPR RI periode 2019-2024. Banyak faktor yang menyebabkan lama rampungnya RUU ini, mulai dari penamaan yang terdapat frasa “larangan” dalam judul RUU, materi muatan dalam RUU, tarik ulur antara Baleg, Pansus/Panja, Komisi, Pemerintah, hingga stakeholder yang terkait. Kemudian mempertimbangkan dari sektor dalam aspek HAM, budaya/adat, industri, dan, pariwisata.
Mengenai minuman beralkohol selama ini di Indonesia memang belum ada payung hukum yang jelas mengatur tentang hal tersebut. Hanya saja terdapat pengaturan yang mengatur tentang peredaran, dan pengawasan tentang minuman beralkohol. Peraturan tersebut tertuang pada Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 6 Tahun 2015 tentang pengendalian dan pengawasan, terhadap pengadaan, peredaran, dan penjualan minuman beralkohol (Permendag No. 6 Tahun 2015).
Yang membedakan Permendag No. 6 Tahun 2015 dengan RUU tentang Larangan MINOL adalah terdapat penambahan aturan larangan, dan pemidanaan. Nantinya, dalam RUU tentang Larangan MINOL Pasal 5 sampai dengan Pasal 7 setiap orang dilarang untuk memproduksi, menyimpan, mengedarkan, dan mengonsumsi minuman beralkohol berdasarkan semua golongan kadar alkohol (golongan A kadar alkohol 1-5%, gol B kadar alkohol 5-20%, gol C kadar alkohol 20-55%), dan minuman beralkohol tradisional, campuran, dan/atau racikan.
Namun demikian, dalam Pasal 5 sampai dengan Pasal 7 terdapat ketentuan tidak berlaku untuk kepentingan terbatas. Kepentingan terbatas yang dimaksud adalah kepentingan adat, ritual agama, wisatawan, farmasi, dan tempat-tempat yang diizinkan oleh peraturan Perundang-Undangan.
Jika ketentuan larangan dalam Pasal 5 sampai dengan 7 RUU dilanggar, maka setiap orang akan terancam pidana penjara paling sedikit 2 (dua) tahun hingga paling lama 10 (sepuluh) tahun. Selain hukuman pidana penjara terdapat tambahan hukuman denda yakni paling sedikit Rp200.000,- (dua ratus ribu rupiah) dan denda paling banyak hingga Rp1.000.000.000,- (satu miliar rupiah). Mengenai aturan pemidanaan ini tertuang di Pasal 18 sampai dengan Pasal 21 pada RUU tentang Larangan MINOL.
Perlu diketahui dalam ilmu Perundang-Undangan suatu Peraturan Perundang-Undangan yang akan dibentuk paling tidak seharusnya memiliki 3 (tiga) landasan aspek, yaitu aspek filosofis, aspek sosiologis, dan aspek yuridis. Yang artinya, RUU tentang Larangan MINOL harus memperhatikan 3 (tiga) landasan aspek tersebut. Tujuan dari 3 (tiga) landasan aspek tersebut adalah agar terciptanya suatu Peraturan Perundang-Undangan yang mengandung kemanfaatan, keadilan, kepastian hukum, dan dapat efektif untuk diaplikasikan dalam kehidupan bermasyarakat.
Tinjauan Aspek Filosofis, Sosiologis, dan Yuridis
Ditinjau dari aspek filosofis, RUU tentang Larangan MINOL diharapkan dapat menjadi instrumen hukum dalam mewujudkan cita-cita Pancasila dan preambule UUD NKRI 1945 yaitu dalam unsur keadilan, kemakmuran, dan kesejahteraan bagi seluruh elemen masyarakat Indonesia tanpa ada yang terkecuali. Tetapi bila melihat dari isi draft RUU tentang Larangan MINOL, materi muatan dalam RUU tersebut sepertinya tidak memperhatikan unsur dalam aspek filosofis. Bila nantinya RUU ini disahkan menjadi Undang-Undang, besar kemungkinan dapat membunuh para pelaku usaha industri minuman beralkohol yang ada akibat terdapat ketentuan muatan larangan dalam isi RUU tersebut.
Dalam aspek sosiologis, hubungan antara masyarakat dengan hukum tidak dapat dipisahkan, maka dari itu peraturan hukum yang dibentuk bertujuan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dengan mempertimbangkan berbagai aspek yang ada di dalam masyarakat. RUU tentang Larangan MINOL pasti ditujukan untuk kebutuhan masyarakat. Masyarakat yang dimaksud adalah semua elemen golongan masyarakat yang ada di Indonesia. Indonesia sebagai negara yang plural—terdiri dari banyak suku budaya/adat, agama, dan ras—tidak dapat dipungkiri bahwasanya terdapat beberapa agama, suku budaya/adat, dan ras di Indonesia yang masih melumrahkan alkohol atau minuman beralkohol sebagai kebutuhan primer dalam kehidupan. Terlebih lagi mengenai hal mengonsumsi minuman beralkohol kepada sebagian masyarakat ialah hak privat seseorang yang mengonsumsinya.
Dari ketiga landasan aspek yang ada yakini filosofis, sosiologis, dan yuridis, mungkin yang paling relevan adalah landasan dari aspek yuridis pada RUU tentang Larangan MINOL. Landasan aspek yuridis adalah landasan atau dasar yang mempertimbangkan para pembuat Peraturan Perundang-Undangan untuk membentuk suatu Peraturan Perundang-Undang yang bertujuan untuk mengatasi permasalahan hukum, kepastian hukum, dan kekosongan hukum. Bila melihat permasalahan ke belakang yakni tentang kasus kematian yang diakibatkan minuman beralkohol yang ada di Indonesia. Mungkin inilah yang mendasari para pembuat peraturan Peraturan Perundang-Undangan membentuk suatu Undang-Undang yang berkaitan dengan alkohol. Selain kematian, secara klinis minuman beralkohol dapat mengganggu kesehatan, sebab menimbulkan gangguan mental organik, merusak syaraf daya ingat, sirosis hati, gangguan hati, dan jika mengonsumsi terus menerus dalam jangka panjang akan memicu munculnya penyakit kronis. Mendapatkan jaminan sehat adalah hak asasi setiap warga negara. Jaminan hak tersebut tertuang pada konstitusi Indonesia yakni UUD NKRI Tahun 1945 dalam Pasal 28H Ayat (1). Pemenuhan hak asasi tersebut merupakan kewajiban negara sebagaimana juga tertuang pada konstitusi dalam Pasal 28I Ayat 4 UUD NRKI Tahun 1945.
Nasib RUU tentang Larangan MINOL memang belum jelas, akankah dalam periode DPR RI Tahun 2019-2024 RUU ini akan disahkan menjadi Undang-Undang atau tidak. Bila nantinya memang benar RUU ini disahkan menjadi Undang-Undang, mungkin dapat dipastikan akan menimbulkan kontroversi, dengan dasar tidak memperhatikan atau mempertimbangkan stakeholder yang terkait seperti pemangku/tokoh agama, suku, budaya, pelaku usaha industri, dan landasan aspek filosofis, serta aspek sosiologis.
Dengan memperhatikan beberapa dasar di atas, sebaiknya pembuat Peraturan Perundang-Undangan dan/atau pemerintah lebih mengedepankan suatu rancangan Undang-Undang (RUU tentang Larangan MINOL) yang bersifat universal atau komprehensif bagi seluruh elemen masyarakat agar tidak menimbulkan hal kontroversial pada RUU yang akan disahkan menjadi Undang-Undang nantinya. Seperti muatan isi dalam RUU tentang Larangan MINOL tidak semestinya memuat tentang ketentuan larangan dan sanksi pidana. Dalam ilmu Perundang-Undangan—sepengetahuan penulis—tidak sepenuhnya suatu Peraturan Perundang-Undangan memuat ketentuan sanksi pidana, sebagai contoh Undang-Undang di Indonesia yang tidak memuat ketentuan sanksi pidana adalah Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Sebaiknya isi dalam RUU tentang Larangan MINOL lebih mengutamakan ketentuan tentang pengendalian dan pengawasan minuman beralkohol, karena permasalahan selama ini yang ada seperti kematian seseorang yang disebabkan atau diduga akibat mengonsumsi minuman beralkohol bukanlah disebabkan karena minuman beralkohol yang diproduksi oleh pelaku usaha industri yang sudah memiliki izin dari lembaga/badan yang berwenang (BPOM RI), melainkan banyak kasus kematian seseorang yang mengonsumsi minuman beralkohol karena disebabkan oleh minuman yang beralkohol diproduksi oleh home industri tradisional, atau minuman beralkohol campuran/racikan sendiri.
Pemerhati Hukum Tata Negara dan alumni FH Universitas Islam Sumatera Utara