PEPATAH mengatakan, “Gajah mati meninggalkan gading, macan mati meninggalkan belang, dan manusia mati meninggalkan nama.” Kata-kata pepatah ini merupakan gambaran dari K.H. Abdurrahman Wahid. Tokoh yang akrab dipanggil Gus Dur ini adalah pejuang kemanusiaan dan pembela hak-hak minoritas baik sebelum menjadi presiden maupun setelah pensiun dari dunia politik yang dibuktikannya secara nyata. Tidak heran jika kepergiannya meninggalkan duka yang sangat mendalam bagi rakyat Indonesia dan masyarakat dunia. Bahkan, hingga 13 tahun kepergiannya, makamnya yang berada di Kompleks Makam Pesantren Tebuireng Jombang tidak pernah sepi dikunjungi ribuan peziarah setiap harinya. Ini membuktikan bahwa Gus Dur adalah tokoh besar, yang namanya begitu harum.
Selain itu, haul Gus Dur yang diselenggarakan setiap bulan Desember di berbagai daerah juga menegaskan bahwa masyarakat sangat mencintai tokoh yang merupakan cucu pendiri NU ini, untuk mengenang jasa-jasa serta meneladani hidupnya yang sangat sederhana. Berbicara tentang kesederhanaan Gus Dur, sebagian sifat penuh keteladanan tersebut diungkapkan oleh K.H. Husein Muhammad. Bagi tokoh yang kerap disapa Buya Husein ini, Gus Dur adalah seorang sufi yang selalu memilih mengutamakan jiwa (ruh), bukan tubuh, sebagaimana ungkapan seorang sufi, “Ambillah saripati jika engkau seorang cendekia. Kadang kenikmatan tubuh sering melalaikan Tuhan.”
Buya Husein mengenal Gus Dur sebagai sosok yang sederhana. Dia sering melihat di rumahnya hanya mengenakan kaos dan celana sebatas di bawah lutut. Buya Husein juga menceritakan kezuhudan Gus Dur di luar rumah, yang mana tidak pernah memikirkan materi. Bahkan, lanjut Buya Husein, Gus Dur kerap tidak punya uang, karena sering dibagikan kepada orang-orang yang lebih membutuhkan. Kehidupan Gus Dur yang penuh dengan kesederhanaan ini, menurut Buya Husein adalah tingkah laku sufi, yang hatinya sudah menyatu dengan Sang Pencipta. Inilah yang dirasakan oleh seorang salik ketika sudah menyatu dengan Penciptanya atau ketika sudah melewati stasiun-stasiun.
Dalam ajaran tasawuf, seseorang yang ingin mencapai makrifat pada Allah Swt. harus melalui tangga atau stasiun-stasiun, yang dalam istilah tasawuf dikenal dengan maqamat. Banyak stasiun yang harus dilalui oleh seseorang yang ingin mencapai maqamat paling tinggi, di antaranya: taubat, wara’, zuhud, fakir, sabar, syukur, tawakkal, dan rida (Hafiun, 2017). Salah satu maqamat yang paling banyak dibicarakan adalah zuhud. Dalam kitabnya yang berjudul “Risalah al-Qusyairiyah”, Imam al-Qusyairi menyatakan bahwa ulama berbeda pendapat ihwal makna zuhud. Sufyan al-Tsauri, misalnya, berpendapat bahwa zuhud adalah memperkecil cita-cita, bukan memakan sesuatu yang keras dan memakai mantel yang kusut. Sementara Imam Abu al-Qasim Junaid al-Baghdadi menyatakan bahwa zuhud adalah kosongnya tangan dari rasa memiliki, dan kosongnya hati dari rasa menuntut. Ia juga menyatakan bahwa zuhud adalah menganggap kecil dunia dan melenyapkan pengaruhnya dalam hati (El-Syafa, 2020).
Pada hakikatnya, zuhud adalah berpaling dan mencintai sesuatu menuju sesuatu yang lebih baik. Para sufi melihat bahwa tak ada cahaya yang lebih terang selain cahaya Ilahi. Tak ada yang lebih nyaman selain-Nya. Dunia ini sangat kecil, sehingga seorang salik yang sudah mencapai maqamat paling tinggi tidak akan pernah takut dan khawatir saat dirinya dalam keadaan tidak baik dan tidak akan pernah jumawa ketika berada di puncak kesejahteraan. Karena itu, bagi Buya Husein (2019), Gus Dur benar-benar adalah seorang zahid. Ia seorang yang bersahaja, ugahari, yang selalu rela atas pemberian Tuhan. Ia tidak mengeluh, apalagi protes kepada-Nya ketika tidak punya apa-apa. Ia tidak pernah gelisah saat kehilangan kemegahan, kehormatan, kedudukan, dan kenikmatan harta benda. Sebab, ia tahu dan mengerti bahwa sejak awal, setiap orang, sejatinya tidak punya apa-apa. Ia percaya bahwa Tuhan menjamin hidup makhluk-Nya, asal mau berusaha dan berdoa.
“Tuhan jauh lebih besar dari apa yang diucapkan manusia. Keberadaan-Nya setara dengan sifat-sifat-Nya,” kata Ibn Arabi, filsuf termasyhur dalam sejarah Islam. Gus Dur adalah seorang sufi yang sudah mencapai maqamat tinggi, sehingga tidak silau oleh gemerlap duniawi. “Padahal kalau mau, Gus Dur bisa jadi gonta-ganti kendaraan. Tapi beliau tetap hidup sederhana,” ujar K.H.R. Kholil As’ad Syamsul Arifin, Pengasuh Ponpes Walisongo Situbondo, Jawa Timur. Bahkan, laku sufi kesederhanaan Gus Dur dikagumi oleh ulama kharismatik K.H. Maimoen Zubair. Kisah kekaguman Mbah Maimoen ini diceritakan oleh seorang tokoh NU bernama K.H. Nasikhin Hasan saat memberikan testimoni dalam acara Haul Gus Dur ke-10 di Pondok Pesantren Tebuireng Jombang, 21 Desember 2019. Dikutip dari kanal Youtube Tebuireng Official, K.H. Nasikhin bercerita bahwa setelah 5 bulan wafatnya Gus Dur, Mbah Maimoen mendatangi kediaman beliau di Jakarta. Saat Mbah Maimoen dipersilakan makan siang, tiba-tiba beliau memegang tangan K.H. Nasikhin seraya bertanya, “Coba terangkan, mengapa makam Gus Dur diziarahi orang-orang tanpa henti? Barangkali Gus Dur pernah punya ajian (amalan tertentu) semasa hidupnya.”
Kemudian K.H. Nasikhin menjawab pertanyaan Mbah Maimoen tersebut yang selama ini belum terpecahkan. Menurutnya, Gus Dur memiliki empat amalan semasa hidupnya. Salah satunya adalah kesederhanaan hidup. “Gus Dur itu nrimo ing pandum (yang dalam bahasa sufi disebut qonaah atau menerima dan rida atas pemberian Allah Swt.). Gus Dur pernah menjadi penasihat informal LP3ES. Nah, Gus Dur sering, bahkan 3-4 hari datang ke (kantor) LP3ES itu selalu naik bus, gandulan. Tapi dengan segala ketenangan dan kemuliaannya, (rutinitas itu) dijalaninya,” ungkap K.H. Nasikhin. Selain itu, lanjut K.H. Nasikhin, Gus Dur juga tidak pernah punya dompet. Uangnya selalu ditaruh di saku. “Begitu sederhananya. Pada waktu itu Gus Dur rajin nulis di Tempo,” tambahnya. Selain kesederhanaan hidup, tiga amalan lain yang dimiliki Gus Dur adalah silaturrahmi (bahkan, silaturrahmi pada orang-orang yang sudah meninggal), dermawan, dan out of the box (khariqul ‘adah). Setelah mendengarkan penjelasan K.H. Nasikhin Hasan, Mbah Maimoen berkata, “Ora kuat aku niru Gus Dur. Iku lakune sufi.”
Kesederhanaan Gus Dur di balik nama besar dan ketokohannya merupakan implementasi dari sifat kezuhudannya serta wujud nyata dari kedalaman ilmunya yang mengejewantah dalam kehidupannya sehari-hari. Kesederhanaan hidup Gus Dur juga dibentuk oleh pengembaraannya dalam menyelami kehidupan. Melalui persentuhannya dengan berbagai lapisan masyarakat dengan segenap peristiwa yang terjadi di dalamnya, Gus Dur menyerap sebanyak mungkin hikmah dan kebijaksanaan, sehingga dia tidak pernah peduli dengan identitas sosialnya. Tidak heran jika Buya Husein (2019) menyebut Gus Dur sebagai Sang Zahid atau manusia yang memiliki sifat zuhud yang tinggi.
Pengelola arsipprosamadura.net
Menyukai ini:
Suka Memuat...