Merdeka itu, hidup yang tidak ada tekanan dari siapa pun. Ungkapan ini sering kita dengar dari berbagai kalangan, pekerja elite sampai petani biasa, pun akan mengalami perluasan makna jika pernyataan ini dipahami sedemikian rupa. Pendek kata, manusia enggan direpotkan oleh siapa pun, dan apa pun. Jika demikian, maka “repot” adalah penekanan bagi manusia untuk memikirkan bahkan menjalani kerepotan itu.
Kita bisa melihat kemerdekaan dalam dua artian; sempit dan luas. Kemerdekaan yang paling kecil adalah “kita sudah punya hak berdaulat”. Tetapi, kemerdekaan yang cakupannya luas adalah “tidak ada diskriminasi”, dan tahu “hak-hak kemerdekaan diri”.
Diskriminasi (tekanan, agar lebih gampang memahami), banyak orang tidak merasa jika dirinya ditekan secara tidak langsung. Banyak orang tidak sadar jika hal yang ia lakukan, selama ini adalah bentuk tekanan. Ketika orang masih sibuk dengan perkara orang lain yang sifatnya tidak substansial, sadarkah bahwa ia ditekan dengan keinginan (saya belum berani mengatakan nafsu) untuk mencampuri urusan orang lain?
Ketika disibukkan dengan hal itu, apa pun bentuknya, maka secara tidak langsung kita ditekan oleh diri kita sendiri. Pertanyaannya, jika dalam ranah pekerjaan, apa tidak baik jika seorang karyawan atau dalam dunia pendidikan, seorang murid ditekan agar mereka menjadi lebih disiplin dan hasilnya juga baik?
Dan pertanyaan nakalnya adalah, apa ada jaminan dari sikap menekan ini akan menjadikan baik bagi karyawan atau peserta didik? Bukankah kita sebagai guru atau sebagai atasan, diajak untuk mengenali pribadi masing-masing karyawan dan peserta didik? Lalu mengapa buruh selama ini masih berdemonstrasi? Mengapa ada peserta didik yang stres menghadapi soal yang hanya di-copy paste dari tahun ke tahun, dan semakin angker bagi mereka, sehingga perlu doa-doa khusus dan ritual-ritual untuk hanya sekedar menjawab berapa puluh soal tersebut?
Jika jawabannya adalah sistem, maka berarti belum sepenuhnya diri ini merdeka. Bahkan, tidak ada jaminan jika diri kita merdeka dari hal-hal yang menekan diri kita—untuk nimbrung pada apa yang kita dengar dan kita lihat.
Ada kado spesial dari buku Gus Dur yang berjudul Mengurai Hubungan Agama dan Negara, “bahwa akan terjaga stabilitas kemanusiaan, jika kita memandang manusia lain dengan kemanusiaan kita, bukan dengan egoisme diri kita, dan itu yang dikatakan manusia merdeka”. Sayangnya kita masih disibukkan dengan hal-hal di luar diri kita yang sifatnya membelenggu kita sendiri.
Dan dalam dunia pendidikan atau pekerjaan tadi, sebagai seorang atasan atau pendidik, kita masih sulit menerima keberagaman latar belakang manusia, dalam hal apa pun (misal cekatan, cerdas, inovatif, agama, dan sebagainya). Acap kali, kita ingin menyamakan, sejajarkan, kalau bisa semua sama dengan apa yang ada dalam juklak dan juknis kita sebagai atasan atau pendidik. Sehingga, tidak ada ruang bagi mereka untuk mengenalkan diri mereka dan mengeksplorasi kediri-an mereka, agar dipahami oleh kita. Dan harapannya, jika sudah tahu bagaimana seharusnya kita menjaga kemanusiaan, maka tidak ada diskriminasi dalam atau dari diri kita, pun bagi orang lain.
Yang kedua adalah tahu hak-hak kemerdekaannya, hak yang kita miliki sebagai manusia adalah menjaga kemanusiaannya, dan orang dikatakan merdeka dalam sudut pandang positif adalah orang yang tidak ikut campur urusan privat orang lain. Dengan demikian, dalam diri kita ada dua ruang yang harus kita tahu hak-haknya. Ada ruang privat atau privasi, dan ada ruang publik atau ruang umum.
Bentuk privat dalam diri manusia akan bermacam-macam, karena sangat subyektif sekali, begitu pun bentuk publiknya. Sehingga, ketika kita mengetahui ruang-ruang tersebut dalam diri masing-masing maka di situlah hak-haknya akan terlihat. Hak menjaga, hak memahami, dan hak mengayomi. Pak Mochtar Lubis keras dalam melihat manusia Indonesia, sesuai dengan buku beliau “Manusia Indonesia”. Di sana dijelaskan, ada sifat-sifat manusia Indonesia yang kurang menjaga, memahami, dan mengayomi manusia yang lain. Hal inilah yang menuai kritikan keras dari berbagai pihak. Namun ketika kita menyadari akan hal itu, speechless pikiran kita akan berkata “oh iya ya, begini ya dan lain sebagainya”, dengan kata lain adalah moral yang harus benar-benar ditanamkan dan diamalkan pastinya.
Karena tidak akan bisa merdeka 100% dalam hidup ketika kita masih berpikir, berpikir untuk makan, berpikir untuk mengembangkan usaha, berpikir untuk punya istri lagi (karena cerai misalnya), berpikir untuk belajar lagi, dan lain sebagainya. Namun akan ada kiat-kiat menjaga, memahami dan mengayomi tadi. Minimal kita kenal dengan diri kita kemudian kenal baik dengan orang lain dan menjaga kemanusiaan kita terhadap orang lain, begitu pun orang lain terhadap kita nantinya.
Semoga pemahaman kemerdekaan secara subjektif aplikasinya benar-benar sesuai, yakni yang pastinya interpretasi bisa dikembangkan pada ranah yang lebih spesifik, namun secara umum, kemerdekaan dalam menjaga, memahami dan mengayomi orang lain bisa karyawan atau peserta didik atau siapa pun yang ada di sekeliling kita. Wa Allahu a’lam.
Sedang Nyantri di Bayt Al-Karim Gondanglegi dan Bayt Al-Hikmah Kepanjen Malang