Judul Buku : Tauhid Kemanusiaan
Penulis : KH Masrur Ahmad MZ
Penerbit : Pustaka Pesantren, Yogyakarta
Tahun Terbit : 2018
Halaman : xiv + 326 halaman
ISBN : 9786028995375
Peresensi : Taufiq Ahmad
Dalam Islam, tauhid menduduki posisi sentral. Tanpanya, keislaman seseorang akan batal. Namun istilah tauhid di Indonesia akhir-akhir ini mengalami politisasi. Seperti aksi “bela tauhid” yang sempat ramai setelah insiden pembakaran bendera HTI. Atau bela tauhid untuk menggulingkan Jokowi. Karena itu, istilah tauhid jadi angker, sementara wajah aslinya jarang dikenali.
Adapun istilah kemanusiaan mulai populer terutama sejak Eropa memasuki era modern. Saat itu kemanusiaan adalah gugatan dari teosentrisme yang membeku. Lalu istilah kemanusiaan menyebar ke segala penjuru. Namun, sayangnya kini kemanusiaan lebih sering hadir sekedar sebagai buah bibir atau basa-basi. Makin sering diucapkan tapi justru makin kehilangan arti.
Istilah “Tauhid Kemanusiaan” yang dijadikan judul buku ini, bisa diandaikan sebagai upaya melampaui keangkeran “tauhid” dan kebasa-basian “kemanusiaan” di atas. Bahwa bertauhid itu bukan ramai-ramai teriak-teriak penuh kemarahan sambil unjuk kekuatan menenteng simbol-simbol keagamaan. Akan tetapi lebih pada bagaimana beriman itu memberi rasa aman pada sesama manusia.
Buku ini ditulis oleh Masrur Ahmad MZ, seorang kiai kampung yang kesehariannya sibuk mendidik para santrinya di pondok pesantren di Cangkringan, kaki gunung Merapi. Seorang kiai tradisionalis yang kediamannya tak pernah sepi dari tamu yang berkunjung dari berbagai macam status sosial berikut kepentingannya.
Buku yang terdiri dari ini 82 bab ini tidak membahas tauhid dengan berbagai macam teori dan argumentasi. Ia justru malah membahas kehidupan manusia sehari-hari, dengan tetap menjadikan tauhid sebagai landasan inti. Pembahasan mengenai tauhid sekilas hanya di bab pertama, bahwa tauhid itu menyangkut iman sekaligus pengetahuan. Dan, di situ penulis juga membatasi diri untuk tidak membahas iman, tapi membahas pengetahuan.
“Setiap manusia percaya kepada Allah-nya masing-masing. Dengan demikian, setiap manusia tahu tentang Allah mereka masing-masing. Kita hanya membatasi diri untuk membicarakan pengetahuan tentang Allah, bukan tentang kepercayaan kepada Allah” (halaman 2).
Bagi penulis, manusia yang mampu menyaksikan kebenaran tauhid hanyalah manusia yang berilmu. Hal tersebut menunjukkan bahwa Islam adalah agama yang mendudukan ilmu di posisi terhormat. Namun, orang yang benar-benar berilmu adalah yang mengerti keterbatasan dirinya. Seperti seorang dokter yang meski ahli mengobati beragam jenis penyakit, belum tentu mengerti tentang astronomi atau teknologi metalurgi. Artinya, setinggi apapun ilmu seorang manusia, yang diketahui cuma secuil dari misteri semesta.
Dari situ rasa keterbatasan muncul. Dan itu yang melahirkan suatu kesadaran bahwa manusia memang butuh untuk tetap mengikat diri pada yang maha tak terbatas. Selain itu, manusia butuh manusia lainnya untuk diajak bekerjasama dalam menempuh hidup ini. Sehingga, egoisme dan kesombongan dengan sendirinya harus ditolak. Egoisme dan kesombongan tak pernah membawa umat manusia kemana pun selain ke jurang kehancuran.
Dalam bab-bab selanjutnya, kata keterbatasan dan gerakan sepertinya menjadi kata kunci. Keterbatasan atas ilmu dan kemampuan, keterbatasan dalam mengendalikan keadaan, keterbatasan dalam dimensi historis dalam lingkup ruang dan waktu, dan seterusnya.
Namun, pembahasan mengenai keterbatasan itu rupanya tidak dimaksudkan agar manusia menjadi pasif dan fatalistik. Justru dari keterbatasan itu roda sejarah harus terus digerakkan agar menuju kesempurnaan. Sebagaimana Nabi Muhammad yang diutus Tuhan di muka bumi untuk suatu tugas berat yakni menuju kesempurnaan akhlak.
Buku ini banyak mengulas perihal gerak dan pergerakan dalam berbagai bab. Gerak adalah bagian dari hukum alam. Manusia tak boleh semata larut pada hukum gerak alam. Manusia dalam keragamannya dan keterbatasannya, harus memulai pergerakan menuju sesuatu yang tunggal dan tak terbatas.
Keadaan yang penuh kebencian, konflik, kekacauan, adalah keadaan yang kelam. Dalam hal itu, manusia tidak boleh bersikap menyerah. Segala upaya harus dilakukan agar keadaan berubah dari kelam menuju pencerahan. Itulah pergerakan.
Namun ,keadaan seringkali membatasi gerakan manusia, sehingga satu-satunya yang tersisa hanya harapan. Manusia tak boleh kehilangan harapan bahwa masa depan harus lebih baik. “Dan untuk mewujudkan harapan itu, kita akan terus berusaha memperbaiki generasi sekarang. Inilah yang dinamakan gerak sejarah” (Halaman 112).
Selanjutnya penulis banyak mengulas soal perilaku manusia keseharian, mengenai apa yang dialami dan bagaimana beraksi atas pengalamannya. Dan, sepertiga terakhir dari buku ini, yakni dari halaman 221-322, penulis mengulas kisah dari 25 nabi dalam Islam. Bukan kisah utuh tentunya, melainkan secuplik kisah-kisah khusus yang dipilih penulis meliputi apa yang dialami para nabi, cara-cara menghadapi keadaan, berikut keberhasilan dan kegagalannya. Kisah-kisah ini seperti cermin dimana manusia bisa berkaca.
Dari sisi penulisan buku ini ditulis dengan gaya bahasa yang sederhana, renyah dan mengalir. Sesekali diiringi kisah-kisah nyata yang berangkat dari pengalaman yang dialami penulis sendiri. Sesekali penulis juga mengutip ayat-ayat dari kitab suci Alquran. Selain itu, buku ini disusun seperti bunga rampai, tapi kalau dibaca urut, nampak antar bab itu saling menyambung.
Adapun dari sisi substansi, buku ini sangat kental dengan nuansa tasawuf. Sejauh ini, tasawuf adalah suatu wajah Islam yang hadir dengan nuansa penuh kesejukan.
Sekali waktu, Gus Dur pernah menyatakan bahwa Tuhan itu tak perlu dibela. Dia sudah maha segalanya. Yang perlu dibela adalah kaum yang tertindas. Kali lain pernah berucap bahwa yang lebih penting dari politik adalah kemanusiaan. Mengingat hal tersebut, buku Tauhid Kemanusiaan adalah seperti pemaparan dari ungkapan-ungkapan Gus Dur itu.
Tauhid kemanusiaan adalah oase di tengah kondisi sosial kita saat ini yang keruh oleh maraknya intoleransi karena cekaknya pemahaman keagamaan bertemu dengan politisasi agama hanya demi meraih kekuasaan. Tauhid kemanusiaan hendak mengingatkan bahwa tauhid itu untuk kemaslahatan manusia, bukan untuk gagah-gagahan.
Buku ini cocok untuk dibaca bagi orang yang ingin lebih mendalami wajah tauhid dalam pandangan kiai kampung yang tinggal di kaki gunung Merapi. Bagi orang-orang yang penat dengan hiruk-pikuk kota, membaca buku ini juga seperti tetirah. Jiwa yang akan segar kembali oleh guyuran hikmah yang dikandungnya. Ya, di situlah letak oasenya.
Penulis lepas. Editor pada Penerbit Kincir, Yogyakarta.
Menyukai ini:
Suka Memuat...