Ideologi komunisme yang diusung oleh PKI kembali mengemuka menjelang peringatan peristiwa G30S 1965. Upaya pengembalian kuasa ke tangan para oligarki lama semakin kencang berhembus belakangan terakhir menjelang dimulainya proses Pilkada 2018 dan Pemilu 2019. Suasana ini semakin diperkeruh oleh pernyataan Panglima TNI Jendral Gatot Nurmayanto yang menginstruksikan anak buahnya untuk nobar film G30S.
Kembali mencuatnya isu kebangkitan PKI tidak lepas dari upaya para penguasa lama untuk memperoleh keuntungan politik sementara. Serentetan peristiwa demi peristiwa pun turut serta menyertainya perjalananannya, seperti pembubaran diskusi ilmiah tentang pengungkapan sejarah 1965-1966 di kantor LBH Jakarta, dan lain sebagainya.
Baiklah, sejarah tentang PKI yang terjadi 30 September 1965 lalu kita anggap telah selesai. Hari ini, kita tengah menghadapi ancaman nyata dari kelompok ektrimis-radikalis yang lebih berbahaya hanya sekedar isu PKI yang sudah basi. Kelompok-kelompok ini menginginkan tegaknya khilafah di bumi Indonesia. Menggantikan sistem pemerintahan negara berdasarkan monarki absolut dan menciptakan dinasti politik.
Kelompok ektrimis-radikalis yang selama kerap digawangi oleh Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) tampil sebagai sosok “pahlawan kesiangan” dengan bergulirnya isu PKI ini. Karena sejalan dengan misinya, yakni tidak menginginkan adanya persatuan dan kerukunan dalam kebhinekaan di bawah naungan demokrasi Pancasila, mereka menggelar aksi 299 di Jakarta untuk menolak bangkitnya kembali PKI.
Alih-alih menolak bangkitnya PKI di bumi pertiwi, namun mereka menampilkan diri dengan secara terang-terangan menolak sistem demokrasi. Sejak bergulirnya Perppu tentang Pembubaran Ormas bulan Agustus kemarin, kelompok eks Hibut Tahrir Indonesia (HTI) yang sudah tidak diakui keberadaanya oleh negara, mulai menyusup dan mendalangi aski aksi 299 itu. Tidak ada tujuan lain, selain mencari panggung dan mendapatkan atensi publik.
Pergerakan seperti ini tidak bisa dibiarkan keberlangsungannya dan sangat berbahaya. Karena sama sekali tidak mencerminkan ke-Indonesia-an yang kaya akan keragaman dan keberagamaannya. Saat mereka menyerukan “jihad, jihad dan jihad!”, diiringi misi menegakkan sistem khilafah dan syariat Islam di Indonesia, yang terbayang jelas dalam benak kita adalah pemberontakan. Contok pemberontakan kecil yang dilakukan seperti tidak mau hormat dengan bendera sang saka merah putih, tidak mengakui pancasila, dan lain sebagainya.
Bilamana pemerintah melakukan pembiaran terhadap pergerakan ini, maka HTI semakin mendapatkan panggungnya. Inilah langkah awal penghianatan oleh kelompok tersebut, selain menghianati simbol-simbol negara, upaya mengkudeta pemerintah dan menggantikannya dengan sistem khilafah. Rasa-rasanya perang saudara dan pertumpahan darah seperti gejolak di timur tengah tidak menutup kemungkinan akan terjadi di Indonesia. Tentu kita tidak menginginkannya, bukan?
Pola pergerakan dan misi serta visi yang diusung antara PKI dan HTI tidak terlalu jauh berbeda. Satu-satunya alasan mengapa PKI memberontak dan ingin mengubah sistem Indonesia menjadi komunis adalah karena PKI memiliki massa dan sumberdaya. Begitupun dengan HTI. Bedanya, jika PKI merupakan Partai Komunis yang sudah tidak relevan lagi dengan kondisi Indonesia saat ini, sedangkan HTI mengedepankan unsur puritanisme dan fanatisme terhadap agama dan janji-janji surga yang bisa memikat hati banyak kalangan.
Oleh: Mauzun Visioner (Pegiat Literasi) PEMILIHAN Gubernur Jawa Timur sedang mencuri perhatian publik. Pasalnya, Pilgub kali ini menampilkan tiga figur
FIGUR kyai masih menarik untuk dilibatkan atau terlibat pada kontestasi pilkada 2024. Pernyataan tersebut setidaknya sesuai dengan kondisi proses pilkada
PERNYATAAN Sekretaris Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi, Prof. Tjitjik Sri Tjahjandarie tentang “pendidikan tinggi adalah tertiary education, bukan
Penulis: Gloria Rigel Bunga (Mahasiswa Universitas Kristen Indonesia) KITA pasti suka bertanya-tanya, untuk apa ya sebuah perusahaan atau organisasi sering