Oleh: Makdum Ali Robbani (Alumni Prodi Ilmu Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan Pondok Pesantren Zainul Hasan Genggong Probolinggo)
Political economy dalam padanan bahasa Indonesia adalah “Politik Ekonomi”, saya lebih memilih menggunakan istilah tersebut daripada “Ekonomi Politik”. Tulisan ini memilih frasa tersebut karena dua alasan, yaitu alasan semantik dan filosofis. Dari sisi semantik, political dalam bahasa Inggris adalah kata sifat. Padanannya dalam bahasa Indonesia adalah “politis”.
Dari sisi filosofis, tulisan ini memperlihatkan perbedaan antara politics dalam bahasa Indonesia: “politik”, dengan political dalam bahasa Indonesia: “politis”. Wilson dan Swyngedouw (2014:6) menjelaskan perbedaan ini dengan sangat jelas. “Politik” bagi mereka ialah “mekanisme teknokratik dan prosedur-prosedur konsensual yang beroperasi dan diterima begitu saja dalam kerangka demokrasi perwakilan, ekonomi pasar bebas, dan liberalisme kosmopolitan.” Sementara itu, “politis” ialah “ruang kontestasi dan pertautan yang antagonistik yang semakin dikoloni oleh ‘politik’.”
Dari pembedaan tersebut, secara sederhana dapat dinyatakan: meskipun demokrasi prosedural (politik) sudah berjalan, misalnya dalam proses pemilihan pemimpin, bukan berarti permasalahan-permasalahan “politis” seperti perbedaan akses terhadap air, ketimpangan kelas, masalah ras, dan lain-lain, sudah terselesaikan. Justru, secara paradoks, mekanisme politik seperti demokrasi perwakilan mengisi ruang perbedaan yang heterogen dengan tetap mengakui perbedaan-perbedaan tersebut, dan demokrasi perwakilan tetaplah satu agenda yang harus terus-menerus diperhatikan. Wilson dan Swyngedouw (2014) mendasarkan pemahaman mereka pada berbagai karya filsuf kontemporer seperti Ranciere, Zizek, dan Mouffe.
Mouffe (2005:9) misalnya, memaknai political sebagai “dimensi antagonisme yang menjadi komponen pokok dalam pergaulan manusia”; sementara politics ialah “perangkat praktik-praktik dan institusi-institusi yang melaluinya tatanan diciptakan, mengorganisasikan koeksistensi manusia dalam konteks yang sangat berpotensi konflik akibat adanya kondisi-kondisi politis.” Mouffe secara eksplisit menjelaskan bahwa kondisi saat ini yang mengalami pendangkalan makna hal-hal yang sangat politis ialah satu akibat hegemoni demokrasi gaya neoliberalisme.
Pembahasan ekonomi berada dalam ruang lingkup kegiatan-kegiatan sosial yang mengacu pada produksi, reproduksi dan distribusi barang maupun jasa dalam memenuhi kebutuhan manusia.
Ilmu ekonomi (economics) adalah disiplin yang mempelajari ekonomi, yang di dalamnya terdapat beberapa asumsi mendasar: 1) Ilmu ekonomi mengasumsikan masing-masing individu-terisolasi mampu untuk membuat pilhan-pilihan secara bebas; 2) Pilihan-pilihan ini didasarkan pada rasionalitas.
Kedua karakteristik ini yang menjadikan manusia ekonomis, homo economicus. Dengan kata lain, mengacu pada cara ekonom memandang dunia, semua apa yang kita lihat dan berlangsung di bawah nama ekonomi, merupakan hasil dari interaksi berbagai manusia-manusia ekonomi yang digambarkan sebagai individu yang terisolasi dan mampu membuat pilihan-pilihan bebas yang didasarkan pada rasionalitas.
Politik ekonomi dimulai dari premis-premis yang berbeda, yang menunjuk pada dua hal, Pertama, istilah sebuah disiplin yang mempelajari ekonomi, dimulai dari akhir abad 19, sebuah disiplin baru yang disebut ilmu ekonomi, membuatnya muncul. Perubahan nama ini menggambarkan perluasan yang sangat besar dari perubahan fokus dua buah disiplin. Ekonomi politik klasik didasarkan pada sebuah teori yang meletakkan buruh atau pekerja sebagai sumber dari nilai ekonomi. Teori ini, didalam kritik sistem ekonomi yang didasarkan pada dorongan atau insentif bagi individu dan bisnis untuk memaksimalkan keuntungan finansial (profit motive) dari Robertson hingga Marx, telah dibalik dan menyatakan bahwa pada dasarnya, keuntungan yang diperoleh berasal dari eksploitasi pekerja. Kesimpulan ini tentunya tidak diharapkan oleh pencetus teori ini, terutama Adam Smith dan David Ricardo, sebagai pembela mekanisme pasar bebas dan keuntungan pribadi. Untuk dapat menunjukkan bahwa di dalam basis nilai-nilai ekonomi yang diproduksi dalam dunia modern terdapat eksploitasi pekerja, merupakan sebuah tantangan utama pada legitimasi sistem sosio-ekonomi yang didasarkan pada profit motive saat ini. Teori ekonomi politik klasik yang dicetuskan oleh Adam Smith dan David Ricardo telah diubah menjadi ilmu ekonomi Alfred Marshall, yang menjadi dasar ekonomi modern. Kedua, saat ini politik ekonomi mengacu pada studi relasi kuasa dan institusi-institusi dalam masyarakat, dan bagaimana mereka mempengaruhi cara mendapatkan dan menetapkan kebutuhan-kebutuhan kita. Dengan kata lain, studi tentang ekonomi yang didasarkan pada asumsi; apa yang sedang berlangsung di dalam perekonomian, dan pengaruh relasi kuasa sosial. Pada tradisi teoritis, relasi kuasa ini terjadi diantara negara-bangsa atau diantara bagian-bagian masyarakat itu sendiri. Semenjak kepemilikan menjadi sebuah institusi yang menciptakan ketidaksetaraan kekuasaan sosial, pasar dan institusi-institusi lain menjadi mutlak politis karena mereka didasarkan pada ketidakseimbangan kekuasaan sosial.
Dalam konteks globalisasi sekarang, politik ekonomi memungkinkan kita untuk membedah relasi kuasa dan institusi-institusi ini, mempelajari pengaruh-pengaruhnya, mengingatkan konsekuensi-konsekuensi yang akan terjadi dan memberikan kemungkinan-kemungkinan solusi atas permasalahan yang menumpuk, alternatif-alternatif yang dapat digali atas prinsip-prinsip pasar baik di tingkat lokal maupun dunia.
Pemahaman konteks politik dan ekonomi sangat penting untuk menganalisis dan mengatasi tantangan global. Isu-isu seperti perubahan iklim, kesenjangan, dan kemajuan teknologi memiliki dimensi politik dan ekonomi yang signifikan. Analisis politik ekonomi memungkinkan adanya pemahaman komprehensif mengenai tantangan-tantangan ini dengan mengintegrasikan faktor-faktor ekonomi, sosial, dan politik. Misalnya saja, dalam kasus keuangan ramah lingkungan (green finance), perspektif regulasi dalam politik ekonomi global dapat memberikan wawasan mengenai keterkaitan antara faktor ekonomi, sosial, dan lingkungan hidup, sehingga memfasilitasi pengembangan kebijakan dan peraturan yang mendorong keuangan berkelanjutan (Jager dan Schmidt, 2020).
Selain itu, memahami konteks politik dan ekonomi sangat penting untuk memahami dinamika inovasi dan kewirausahaan. Analisis politik ekonomi dapat menjelaskan kerangka kelembagaan dan kebijakan yang membentuk ekosistem inovasi dan aktivitas kewirausahaan (Schnellenbach dan Schubert, 2019). Dengan mengkaji interaksi antara aktor negara, pelaku ekonomi, dan kekuatan global, peneliti dapat memperoleh wawasan tentang kepentingan, hubungan, dan konflik yang memengaruhi inovasi dan kewirausahaan (Mavroudeas, 2021). Pemahaman ini dapat menjadi masukan dalam perancangan kebijakan dan strategi yang mendorong inovasi dan pembangunan ekonomi (Nepal, 2020).
Dewasa ini berbagai negara telah terintegrasi secara ekonomi meskipun masih terhambat oleh isu-isu politik yang sensitif, seperti konflik teritorial dan masalah kemanan laut merupakan persoalan yang sangat kompleks dan memiliki implikasi yang sangat luas. Selain itu perselisihan politik ekonomi, seperti konflik perdagangan dan hak kekayaan intelektual masih memicu tensi ketegangan dan menjadi penghambat terciptanya kolaborasi antarnegara.
Terlepas dari regionalisme ekonomi kawasan Asia Timur (Cina, Jepang, dan Korea Selatan) merupakan tiga dari 10 ekonomi terbesar di dunia, kolaborasi antarnegara ini masih terhambat oleh berbagai isu. Salah satu faktor pembatas adalah masalah sejarah dan hubungan diplomatik. Jepang dan Korea Selatan memiliki sejarah yang buruk dan hubungan diplomatik yang tegang karena masalah masa lalu seperti kolonialisme dan perlakuan buruk pada penduduk Korea oleh Jepang (Kimura, 2019; Kobayashi & Tago, 2021). Begitu juga hubungan antara Cina dan Jepang yang masih terhambat baik oleh sejarah perang Cina-Jepang masa lalu hingga masalah teritorial yang terus terjadi saat ini yang melibatkan pulau-pulau di Laut China Selatan (Mitter, 2014; Vogel, 2019; Zhao, 2019). Pandangan integrasi regional, misalnya, berpendapat bahwa memahami ekonomi dan politik kawasan Asia Timur harus dilihat dalam konteks integrasi regional. Mereka menganggap bahwa interaksi ekonomi dan politik antarnegara di kawasan ini justru sangat kuat dan mempengaruhi perkembangan ekonomi dan politik masing-masing negara (Kimura, et al., 2021). Namun kelemahan dari pandangan ini adalah keterbatasannya dalam menjelaskan mengapa negara di kawasan, khususnya Cina, Jepang dan Korea Selatan sangat sulit membangun kepercayaan satu sama lain dalam membangun kesepakatan bersama di bidang integrasi ekonomi.
Tulisan ini mencoba menawarkan pandangan alternatif dari sudut pendekatan politik ekonomi yang menekankan transformasi kapitalisme dan kontestasi kekuasaan. Secara khusus ekspansi kapital dan kontestasi geoekonomi dan geopolitik. memberikan sumbangsih literatur pada studi-studi terdahulu khususnya di bidang politik ekonomi. Tulisan ini memperkuat pandangan bahwa regionalisme ekonomi merupakan hal yang tidak hanya dinamis melainkan hal yang diwarnai oleh pertumbuhan ekonomi masing-masing negara dengan rute dan kepentingan yang berbeda. Selain itu, tulisan ini memperkaya bacaan mengenai politik ekonomi yang selama ini masih terbilang terbatas. Karena itu, tulisan ini menjadi sangat relevan bagi para sahabat yang ingin mengkaji politik ekonomi. Secara spesifik tulisan ini menawarkan argumen utama sebagai berikut. Bahwa dalam periode pascaperang, dinamika regional antarnegara diwarnai oleh kontestasi geo-politik dan ekonomi yang terejawantahkah dalam pembangunan ekonomi yang masif yang diikuti oleh ekspansi kapital ke beberapa kawasan. Pembangunan ekonomi ini tidak semata-mata dilihat dari peningkatan perdagangan dan investasi namun lebih pada adanya kebijakan ekspansi internasional dari korporasi besar di masing-masing negara seperti Jepang, Cina, dan Korea Selatan. Internasionalisasi bisnis inilah yang memacu pertumbuhan ekonomi untuk memainkan perannya sebagai middle-power di kawasan tertentu.
Sementara di kawasan Asia tenggara, menurut Amitav Ghost—seorang novelis dan antropolog India—yang membahas tentang isu lingkungan, dalam salah satu tulisan non fiksinya, Dancing in Cambodia at Large in Burma (1998) menjelaskan periode paling kelam dalam sejarah Kamboja dan Asia Tenggara pada umumnya. Pol Pot dan Khmer menjadi topik utama bahasannya. Dengan mewawancarai tokoh kunci, termasuk kakak ipar Pot, Ghosh telah melihat kelamnya penafsiran Pot tentang pembersihan kelas untuk menegakkan tatanan paling tidak berkelas. Dan di masa kelam seperti itu, tari dan nyanyian memainkan peran signifikan dalam merawat rasa setanah air. Kekagumam penguasa Kamboja terhadap ke-Prancis-an, pergundikan para pangeran istana yang akhirnya membawa Pot kecil ke lingkaran elit istana sampai ia mendapatkan beasiswa ke Prancis. Spiral kekelaman tidak lepas dari selera para penguasa lokal yang lemah dan terisolir melihat kebesaran para penjajah. Istilah kunci Ghosh, adalah “kutukan sumber daya” (resources curse) bagi wilayah-wilayah yang memiliki sumber daya alam yang kemudian menjadi tujuan para perampas-pemukim (settler colonialism). Istilah settler-colonialism bukan semata menunjukkan pada para pendatang asing ke suatu wilayah dan kemudian menempati dan menguasainya, mengeruk sumber daya alamnya, mengolahnya dan menjualnya ke berbagai tempat lain di dunia, tapi menurut pakar lingkungan pribumi amerika, Kyle Wayte, settler-colonialism juga terkait dengan ilusi tentang cara berfikir yang melegitimasi para perampas-tanah itu sehingga mereka sah melakukan perampasan, mereka kompeten sebagai pelindung wilayah rampasan daripada penduduk aslinya, dan agar para perampas itu memiliki kedaulatan penuh dalam menguasai wilayah tersebut. Ada resonansi WEB Dubois maupun Cedric Robinson tentang basis epistemologi dari penindasan melalui rasialisme pengetahuan: Sebuah tema yang tidak tenar di sini. Robinson malah memperkarakan kapitalisme rasial dari awal tulisannya. Ada perkelindanan metafisis dan transhistoris antara rasialisme, kolonialisme dan imperialisme dalam konstruksi pikiran Eropa. Robinson dengan sengit melihat kegagalan orang Eropa melihat kapitalisme Barat sebagai evolusi feodalisme yang berbatu-bata rasialisme.
Pulau Banda, menurut Gosh, adalah sebuah wilayah seperti halnya Amerika ketika ditemukan orang Eropa yang mengalami “kutukan sumber daya”. Orang memburu pala ke Banda, dan melakukan apapun untuk menguasai sumber daya botani yang laku keras di pasar dunia saat itu. Terjadi perampasan dan penguasaan pasar pala oleh orang Eropa yang tiba di sana pada awal abad 17. Penaklukan pada mulanya. Perampasan sumber daya yang dimiliki orang-orang pribumi yang makmur. Pada saat bersamaan terjadi perbudakan, prototype dari ekstraksi tenaga kerja manusia. Para ilmuwan-filsuf yang sedang merumuskan teorinya, kemudian melihat kebaikan pada pada penjahahan. Descartes yang dipuja itu, saat itu sedang di Belanda. Ia melihat capaian-capaian materil yang dicapai kerajaan Belanda. Pengetahuan-raasial tumbuh dari proses ini. Maka lahirlah argumen pengetahuan yang memberikan penguatan dan pembenaran atas kolonialisme. Baru pada abd 18-19 terlihat hubungan langsung antara kekaisaran, penjajahan dengan kapitalisme. Pada abad 17, tumbuhnya perkotaan, pasar dan perombakan bagan pertanian Eropa memang sangat dipicu oleh gairah penemuan wilayah baru bagi sumber daya. Pada awal pelayaran untuk penemuan wilayah baru bagi sumber daya yang bisa dijual, baru terbentuk jaringan geopolitik dominasi yang telah mensahkan kekerasan. Ada kebetulan-kebetulan dalam alur kolonialisme dan tumbuhnya industri ekstraksi hari ini, yaitu penemuan Amerika oleh orang Eropa, penemuan jalan rempat ke Banda oleh Belanda, pengangkutan para budak sebagai komoditas telah mendorong suatu bentuk kultur imperium di Eropa. Kemudian disusul oleh penemuan dan pembenaran dalam lapangan pengetahuan. Tampaknya kutukan sumber daya masih berlaku bagi Indonesia hari ini. Persaingan dan perebutan sumberdaya alam dan bahan pangan merupakan area perebutan para pemodal dan cukong pemerintah. Dinamika dari perebutan-persaingan ini yang menghasilkan konsesi tambang bagi ormas keagamaan.
Banyak tanggapan terhadap isu konsesi tambang bagi ormas keagamaan di Indonesia karena di tengah masih terbatasnya gerakan lingkungan, salah satu harapan memang digantungkan kepada para agamawan. Dalam kajian mengenai pertambangan dan lingkungan di negera-negara seperti Indonesia, selalu ada perebutan soal keterlibatan dengan industri ekstraktif. Sedikit sekali dari kalangan aktivis dan intelektual yang tidak terlibat dengan bisnis ekstraktif. Begitu seorang atau suatu kelompok mengambil langkah, demikian Juan Javier Rivera Andia, seorang aktivis dan intelektual Amerika Latin, mengambil bagian dari industri ekstraktif, bisa dipastikan bahwa seorang atau kelompok tersebut sepenuhnya ingin menjadi bagian dari sirkuit modal. Alasan menerima konsesi tambang karena melarat dan butuh uang masuk akal untuk dirinya. Tidak masuk akal bagi yang lain, dan tidak perlu pembenaran fikih, isu lingkungan, dan sebagainya. Karena posisinya sudah jelas sebagaimana dikatakan Javier Andea, industri ekstraktif memiliki banyak duri di antaranya kolonialisme yang tidak mudah dibicarakan, sebagaimana tidak mudah meyakinkan bahwa tambang itu bisa dikurangi dampak lingkungannya.
NU dan Politik Ekonomi
Jika mendengar kata NU, yang diingat dan dibayangkan adalah, pertama, sebuah pesantren tradisional di pelosok desa dengan berbagai atributnya seperti santri berkain sarung, kitab kuning, dan lain-lain. Kedua, kita mengingat PKB, sebuah partai berbasiskan massa NU yang tercatat sebagai partai di era reformasi yang paling banyak mengalami konflik internal.
Ingatkah kita bahwa Hadratus Syekh Hasyim Asy’ari terlebih dahulu mendirikan Nahdlatut Tujjar, organisasi saudagar yang menghimpun para saudagar dan ulama. Gunanya mendobrak ketimpangan ekonomi masyarakat akibat sistem ekonomi liberal sejak 1870 yang diterapkan kolonialisme Belanda. Bukan suatu kebetulan bila K.H. Hasyim Asy’ari mendirikan sebuah pesantren yang hanya berjarak 200 m sebelah barat dari Pabrik Gula Cukir pada tahun 1899, selang 29 tahun sejak kolonialisme Belanda menghapus tanam paksa dan menerapkan politik liberal di Hindia Belanda. Sistem liberalisme itulah yang menyebabkan berdirinya Pabrik Gula Cukir dan pabrik-pabrik gula lain di seantero Pulau Jawa yang secara sistematis telah melakukan proses pemiskinan yang dahsyat terhadap rakyat Indonesia.
Nahdlatut Tujjar
Semangat kewirausahaan K.H Hasyim Asy’ari ternyata juga dimiliki oleh hampir semua kiai saat itu. K.H Hasyim Asy’ari bersama K.H Wahab Chasbullah dan sejumlah kiai, serta saudagar santri lainnya bahkan mendirikan Nahdlatut Tujjar pada tahun 1918. Alasan Kiai Hasyim mendirikan Nahdlatut Tujjar ini antara lain, keprihatinan atas problem-problem keumatan yang terkait erat dengan soal ekonomi. Apabila basis-basis dan simpul-simpul kemandirian ekonomi tidak dibangun, menurut Kiai Hasyim selain para ulama telah berdosa, bangsa ini akan terus terpuruk dalam kemiskinan, kemaksiatan, dan kebodohan akibat dari kuatnya pengaruh kolonial.
Kelahiran NU pada 1926 adalah penyebab Nahdlatut Tujjar stagnan. Namun Kiai Hasyim dan para pendiri NU lainnya tetap meneruskan semangat gerakan ekonomi ala Nahdlatut Tujjar ke dalam NU. Dalam “Statuten NU tahun 1926” artikel 3 butir f disebutkah bahwa:
“Oentok mencapai maksoed perkoempoelan (NU) ini maka diadakan ichtiar . . . .f. mendirikan badan2 oentoek memadjoekan peroesan pertanian, perniagaan dan peroesahaan jang tiada dilarang oleh sjara’ agama Islam”.
Dari uraian di atas, sangat jelas bahwa NU membutuhkan pendirian badan-badan usaha yang dapat digunakan untuk menopang kebutuhan finansial NU sebagaimana Nahdlatut Tujjar menopang keberadaan pesantren-pesantren tradisional saat itu. Pesantren tradisional kerap kita temui, di mana kiai pengasuh pondok menghidupi pesantrennya dengan wirausaha pertanian dan perdagangan. Berbeda dengan sekolah Muhammadiyahyang mendapatkan subsidi dari pemerintah Kolonial karena mau menerapkan metode pendidikan Belanda, maka pesantren tradisional NU harus menghidupi dirinya sendiri (self financing) karena berada di luar sistem pendidikan Kolonial sebagaimana ketentuan Wilde Scholen Ordonantie dan Onderwijs Ordonantie.
Respons NU terhadap Neoliberalisme
Sulit membayangkan yang harus dilakukan NU menghadapi tantangan neoliberalisme sebagaimana sulitnya membayangkan sebuah lilin dapat mengusir kegelapan di sebuah ladang yang luas. Namun, seperti kata pepatah “lebih baik menyalakan lilin, daripada mengutuk kegelapan”, maka potensi ekonomi warga NU yang ada harus dioptimalisasi demi percepatan kesejahteraan rakyat.
Berikut yang dapat dilakukan oleh warga NU. Pertama, NU harus memperkuat sayap politiknya agar bisa secara signifikan mempengaruhi kebijakan pemerintah (syukur-syukur bisa merebut kendali pemerintahan seperti era Gus Dur) agar menghasilkan produk-produk politik ekonomi yang tidak bernafaskan neoliberalisme. Kedua, NU harus mulai melakukan langkah-langkah modernisasi organisasi untuk membiayai operasional organisasi seperti pengelolaan iuran/zakat/infak di kalangan NU. Tujuannya selain untuk menyantuni mustahik juga bisa digunakan untuk pengembangan ekonomi melalui BMT, koperasi dan lembaga keuangan mikro syariah yang pada gilirannya sebagian labanya bisa digunakan untuk optimalisasi aset-aset yang dimiliki NU seperti sekolah, lembaga pendidikan, dan instansi kesehatan. Ketiga, NU harus memobilisasi dan mengoptimalisasi asetnya untuk pemberdayaan ekonomi produktif. Keempat, NU harus memberikan perhatian yang lebih terhadap generasi muda baik di pesantren, madrasah ataupun sekolah/universitas umum. Melalui reorganisasi Banom pelajar dan pemudanya (IPNU-IPPNU, Ansor-Fatayat) NU dapat menggembleng generasi mudanya agar tetap memegang teguh nilai-nilai Aswaja, tapi juga berdaya saing tinggi untuk maju mengikuti fit and proper test perusahaan BUMN (Pertamina-red)-bukan hanya bercita-cita menjadi Menteri Agama.
Penutup
Sedikit merefleksikan eksistensi NU dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Terbesit suatu pertanyaan: “Bagaimana Islam Nusantara-nya kaum santri bisa tidak kompatibel (tidak sejalan) dengan kapitalisme neoliberal?” Pertanyaan ini dapat dijawab dengan menggarisbawahi beberapa aspek: Pertama, aspek historis. Islam Nusantara adalah suatu gugus keberislaman yang menyejarah dengan lokalitas bumi Indonesia, sementara kapitalisme neoliberal tidak menyejarah dengan lokalitas bumi Indonesia, melainkan sistem impor yang merupakan cangkokan terkini dari kolonialisme dan imperialisme yang seabad terakhir menjajah, memperbudak, dan menjarah kekayaan lokalitas bumi Indonesia.
Kedua, aspek kultural. Islam Nusantara adalah suatu gugus keberislaman yang dihidupi dari keragaman adat-istiadat, budaya, dan nilai-nilai budaya masyarakat lokal di Nusantara sepanjang berabad-abad dan dalam strateginya lebih sering mengambil jalan budaya untuk penyebaran gagasan keagamaannya (tanpa menafikan bahwa ia sesekali dapat mengambil jalan politik). Sementara itu, kapitalisme neoliberal dihidupi oleh satu sistem yang pada dirinya seragam dan tunggal, yaitu kapitalisme yang berorientasi semata-mata kepada akumulasi keuntungan. Kapitalisme neoliberal niscaya akan bertentangan dengan keragaman adat-istiadat dan budaya yang ada, karena ia akan mengambil sumber daya-sumber daya budaya itu untuk kepentingannya, bukan untuk vitalitas kebudayaan. Paling banter, kapitalisme akan memakai budaya lokal sebagai komoditasnya, tapi kebudayaan itu sendiri akan diasingkan dari komunitas pelestarinya. Hal ini menjelaskan ambiguitas, kenapa suatu rezim neoliberal di Indonesia dapat pamer busana adat di peringatan Hari Kemerdekaan-nya, namun dalam praktiknya, di Sumatera, di Kalimantan, di Sulawesi, dan di Papua, turut terlibat dalam kepunahan kelompok-kelompok adat dengan merampas ruang hidup mereka dan menjadikan lahan-lahan mereka konsesi bagi pertambangan dan penguasaan oleh perusahaan-perusahaan asing maupun swasta.
Ketiga, aspek politik. Islam Nusantara hidup dari model gerakan otonomis yang sangat jarang memiliki hasrat imperialistik dan kolonialistik untuk mengkoloni pihak-pihak lain. Otonomi ini dapat dijelaskan dari persebaran kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara, yang satu sama lain cenderung otonom dan dihidupi oleh komunitas punggawa lokalnya masing-masing. Kasus “imperialisme” Mataram mungkin satu perkecualian dari pola ini – tak lepas dari pengaruh kolonialisme Belanda yang telah mencekoki sebagian raja-raja Islam saat itu. Model otonomi itu tidak cocok dengan kapitalisme neoliberal. Kapitalisme neoliberal menuntut suatu integrasi akumulasi kapital yang terpusat. Ia akan menindas perbedaan-perbedaan di masing-masing lokal yang tidak mengikuti skemanya. Model “NKRI Harga Mati rasa neolib” ini dapat menjelaskan mengapa lokalitas yang bergejolak harus direpresi demi “stabilitas” dan “pembangunan”. Habitus represif ini bertolak belakang dengan habitus Islam Nusantara yang egaliter dan lebih mengedepankan penghormatan atas eksistensi politis masing-masing kelompok. Suatu keanehan, misalnya, apabila ada santri yang mengaku bermazhab Islam Nusantara dapat mendukung represi di Papua atau Aceh, misalnya, semata-mata atas nama “keutuhan NKRI”. Secara politis, Islam Nusantara lebih bercorak federalisme dan otonomi desentralistik.
Keempat, aspek pendidikan. Islam Nusantara adalah gugus keberislaman yang sangat menekankan pada proses pendidikan dan pembelajaran keagamaan secara bertahap, penuh kearifan, dan tidak indoktrinatif kepada masyarakat. Hal ini bertolak belakang dengan pendidikan dan model dakwah yang justru cocok untuk menindas nalar kritis masyarakat, yang dipromosikan oleh model pendidikan neoliberal, yang hari-hari ini tidak mentoleransi kebebasan berpikir dan berekspresi dan mengglorifikasi model-model pendidikan pro-pasar. Pendidikan dan dakwah ala Islam Wahhabi-Salafi yang anti-kritik, lebih mengedepankan hasutan dan “hoax”, juga tidak cocok dengan model pendidikan Islam Nusantara. Model pendidikan Wahhabi-Salafi ini sepaket dengan watak pendidikan kapitalistik-neoliberal itu sendiri.
Kelima, aspek eksistensial. Islam Nusantara memiliki kemelekatan dengan gagasan “tanah air” (“al-balad” dan “al-wathon”) yang menjadi tempat pijaknya. Seorang santri yang ber-Islam Nusantara akan memiliki rasa tak rela bila tanah-airnya diinjak-injak semena-mena. Gagasan “tanah air” ini hari ini terkait dengan ruang-ruang lokalitas di mana kita hidup, juga sumber daya-sumber daya alam yang terkandung di dalamnya. Kecintaan akan tanah air ini berarti pembelaan ketika tanah air direnggut oleh korporasi-korporasi, oleh eksploitasi, dan oleh skema-skema pembangunan yang merampas kedaulatan seseorang atau sekelompok masyarakat atas tanah dan airnya. Hal ini tidak sejalan dengan kapitalisme neoliberal yang semakin didorong untuk berekspansi untuk investasi, dan otomatis berkonflik dengan masyarakat setempat dalam perebutan sumber daya alam yang ada. Suatu hal yang aneh apabila ditemukan seorang Muslim yang mengaku berpijak pada ke-Nusantara-annya, turut melegalisir, mendukung, atau berkampanye untuk kepentingan kapitalisme neoliberal, yang bertentangan dengan ke-Nusantara-an yang dijunjungnya sendiri. Dari aspek kelima ini, kita bisa memahami potensi politis Islam Nusantara untuk melawan kapitalisme neoliberal. Minimal secara defensif, mempertahankan diri dari serangan-serangan skema pro pemodal yang hari-hari ini aktif dijalankan oleh rezim.
Referensi:
AL-FADHAT, F. 2022. Ekonomi Politik Asia Timur. Penerbit Samudera Biru. Yogyakarta
Global Times. 2021. China remains the world’s largest manufacturing power: MIIT. 13 September. Available at: https:// www.globaltimes.cn/page/202109/1234103.shtml
Global-Times. 2022. China-ASEAN two-way investment exceeds $340b by July amid active cooperation. 29 August. Available at: https://www.globaltimes.cn/page/202208/1274128.shtml#:~:text=As%20of%20 the%20end%20of,amounted%20to%20about%20%24300%20 billion.
KIMURA, K. (2019). The Burden of the Past: Problems of Historical Perception in Japan-Korea Relations. Michigan: University of Michigan Press.
KOBAYASHI, T. dan TAGO, A. 2021. Japanese Public Sentiment on South Korea: Popular Opinion and International Relations. London: Routledge.
LIN, Z. 2019. Xi Jinping’s ‘Major Country Diplomacy’: The Impacts of China’s Growing Capacity. Journal of Contemporary China, 28(115), 31-46. https://doi.org/https://doi.org/10.1080/106705 64.2018.1497909.
MOUFFE, C. 2005. On the Political: Thinking in Action. New York: Routledge.
NAKAMURA, T. 1981. The Postwar Japanese Economy: Its Development and Structure. Tokyo: University of Tokyo Press.
RIDWAN, NURKHALIK. 2008. NU dan Neoliberalisme: tantangan dan harapan menjelang satu abad. LKiS. Yogyakarta
PURBA, B. 2023. Pengantar Ilmu Politik. Yayasan Kita Menulis. Yogyakarta
TIM SHORT COURSE. 2006. Pengantar Ilmu Politik. Resist Book. Yogyakarta.
WAHID, HASYIM.1999. Telikungan Kapitalisme Global Dalam Sejarah Kebangsaan Indonesia. LKiS. Yogyakarta
WINTER, J. 2000. The Financial Crisis in Southeast Asia. In R. Robison, M. Beeson, K. Jayasuriya, & H.-R. Kim (Eds.), Politics and Markets in the Wake of the Asian Crisis (pp. 34-52). London: Routledge.
WILSON, J. dan SWYNGEDOUW, E. 2014. “Seeds of Dystopia: Post-Politics and the Return of the Political.” Dalam The Post-Political and Its Discontents: Spaces of Depoliticisation, Spectres of Radical Politics, disunting oleh Wilson, J. dan Swyngedouw, 1–24. Edinburgh (Skotlandia): Edinburgh University Press Ltd.
SerikatNews.com adalah media kritis anak bangsa. Menyajikan informasi secara akurat. Serta setia menjadi platform ruang bertukar gagasan faktual.
Menyukai ini:
Suka Memuat...